Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK pagi, Alex Waisimon sudah sibuk. Setiap hari ada saja yang dia kerjakan. Salah satu rutinitas yang dia lakukan adalah memantau kawanan burung di hutan sekitar Isyo Lodge, pondok penginapan yang ia kelola di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernah suatu kali Alex mengganti tangkai kayu yang biasa dihinggapi burung cenderawasih karena sudah lapuk dan nyaris patah dengan tangkai kayu baru buatan. Saat tangkai kayu lama sudah lapuk, burung khas Papua itu enggan menghinggapinya dan akan pergi ke tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agar sang cenderawasih tetap berada di hutan sekitar Isyo Lodge, Alex pun menyiapkan mainan baru untuk burung tersebut. “Burung itu punya rutinitas sendiri. Ia tahu kayu mana yang biasa ia hinggapi hingga jadwal ia makan dan bertemu dengan pasangannya,” kata Alex ketika berbincang dengan Tempo, Rabu, 4 September 2024.
Alex adalah warga Papua yang terus berupaya merawat hutan adat di kampung halamannya di Distrik Nimbokrang. Ia juga gigih menjaga satwa-satwa endemis yang hidup di dalamnya, terutama cenderawasih.
Langkah Alex itu menjadi bagian dari upayanya melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati di Papua. Ia ingin ikut serta menjaga keberlangsungan hutan di sana dari ancaman pembalakan liar dan perburuan satwa yang terus mengintai.
Salah satu upaya Alex menjaga hutan di kampung halamannya adalah menginisiasi ekowisata pemantauan burung pada 2015. Melalui wisata alam ramah lingkungan tersebut, perlahan ia meyakinkan masyarakat setempat tentang betapa pentingnya menjaga hutan.
Lewat ekowisata bernama Isyo Hill’s Bird Watching itu, Alex juga memberdayakan masyarakat di kampungnya. Wisata alam pemantauan burung tersebut berperan menumbuhkan ekonomi warga lokal.
Selama sekitar sembilan tahun mengelola ekowisata itu, Alex yang terampil berbahasa Inggris dan Jawa itu telah menjamu para wisatawan domestik dan mancanegara.
Para wisatawan itu biasanya membawa kamera besar dengan lensa panjang untuk memotret beragam jenis burung yang hidup di kawasan hutan di Kampung Rhepang Muaif. Selain memotret keindahan satwa itu, para tamu merekam berbagai nyanyian burung yang hidup di kawasan tersebut.
•••
SEBELUM mengelola ekowisata di kampung halamannya di Distrik Nimbokrang, sejak masih muda, Alex Waisimon telah puluhan tahun merantau ke berbagai tempat di luar Papua. Pria yang telah menginjak usia 60-an tahun tapi masih energetik itu pernah bekerja di sejumlah tempat, dari lembaga internasional hingga biro perjalanan dan wisata di Bali.
Setelah lama tinggal di Bali bersama istri dan anaknya, Alex memutuskan pulang kampung pada 2015. Saat itu fenomena penebangan kayu di hutan dan perburuan satwa liar, termasuk cenderawasih, sedang marak di Papua. Ia pun kemudian tergerak mencari cara menjaga hutan dan satwa bersama masyarakat setempat.
Dari pengalamannya bekerja di bidang pariwisata kemudian muncul ide membangun ekowisata pemantauan burung. Ada beberapa alasan yang mendorong Alex membuat ekowisata tersebut di kampungnya. Saat itu wisata pemantauan burung belum populer di Papua.
Padahal kawasan Distrik Nimbokrang memiliki potensi alam yang luar biasa. Hutan di kawasan itu merupakan rumah bagi 84 spesies burung dari 30-an keluarga satwa. Kawasan itu bahkan masuk daerah penting burung karena menyediakan perlindungan bagi lima spesies yang terancam punah.
Kawasan hutan di sana juga populer sebagai rumah bagi burung cenderawasih. Enam spesies burung cenderawasih dari keluarga Paradisaeidae dapat ditemukan di daerah tersebut.
Selain itu, Alex menjelaskan, pengetahuan soal burung tersebut sebenarnya sudah dimiliki masyarakat lokal di kampungnya. Misalnya Alex sendiri. Sejak kecil, ia sering diajak ayahnya berburu di hutan. Dari situ ia belajar membedakan macam-macam suara burung. Ia pun bisa mengenal berbagai jejak hewan hingga kebiasaan hewan lain di dalam hutan.
Burung cenderawasih 12 kawat di Nimbokrang, Papua. Instagram @isyolodgepapua
Alex juga kemudian memahami berbagai kebiasaan unik burung, seperti kapan ia mencari makan, berjemur, tidur, hingga bermain dengan pasangannya. “Orang asing mempelajarinya bertahun-tahun di bangku sekolah. Warga lokal kami yang banyak tidak duduk di bangku sekolah sudah diajarkan secara turun-temurun oleh orang tua kami soal alam ini,” tutur pria yang sempat kuliah ini.
Namun, Alex menambahkan, pengetahuan soal seluk-beluk burung saja tentu tidak cukup untuk membangun ekowisata yang baik. Faktor pendukung lain, seperti pelayanan untuk para wisatawan yang datang, menjadi nilai utama.
Alex pun menemui banyak tantangan ketika hendak mulai membangun ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat setempat tersebut. Ia harus bersusah payah mengubah berbagai kebiasaan warga di kampungnya.
Salah satu contoh kebiasaan yang perlu dia ubah adalah bangun siang. “Dulu, setiap pagi, saya harus mengetuk satu per satu rumah mereka untuk membangunkan masyarakat di sini demi bangun pagi,” ujar Alex.
Dia menambahkan, ketika menawarkan layanan wisata pemantauan burung, petugas pondok penginapannya harus bangun dinihari untuk menyiapkan berbagai peralatan hingga sarapan. Tujuannya, agar tamu bisa melihat burung mulai pukul 07.00 di dalam hutan.
Menurut Alex, masyarakat di daerahnya tak biasa bangun pagi. Mereka juga terbiasa dengan kehidupan yang santai karena tidak ada target khusus. “Istilahnya, aku enggak kerja atau bangun siang enggak apa-apa, yang penting selama ada di hutan aku bisa makan (selama ada hutan),” ucapnya.
Boleh dibilang, Alex menerangkan, mereka sudah berdiam di zona nyaman karena ada hutan sebagai kekayaan mereka. “Hutan masih menjadi sumber utama penghidupan masyarakat. Ketika makanan habis, mereka akan ke hutan untuk berburu hewan atau memanen sagu.”
Selain membiasakan mereka bangun pagi, Alex mencontohkan berbagai tata cara membersihkan kamar penginapan di kawasan ekowisata yang dia kelola. Ia juga mengajarkan cara memasak hingga berkisah soal burung kepada stafnya. Hal ini merupakan bekal mereka ketika menjadi pemandu para wisatawan yang melakukan pemantauan burung.
•••
TANTANGAN lain yang Alex Waisimon hadapi ketika memberdayakan masyarakat dalam ekowisatanya adalah membangun kesadaran akan konservasi. Melalui sekolah alam yang ia dirikan, Alex berupaya menyadarkan warga agar menghentikan kebiasaan berburu burung di kawasan itu. “Biasanya perburuan burung dilakukan dengan menembak atau menjaringnya. Lalu burung itu dijual,” kata Alex.
Selain perburuan burung, ada ancaman perusakan hutan yang Alex hadapi. Dia mengungkapkan, sudah ada beberapa perusahaan sawit yang mulai merayu warga lokal untuk menjual tanah ulayatnya demi kepentingan perusahaan.
Warga lokal yang tidak paham, Alex memaparkan, mungkin akan senang karena mendapatkan uang yang banyak. Padahal, ketika hutan sudah berubah menjadi kebun sawit, burung dan hewan lain pun akan kesulitan mencari rumah pengganti.
“Masalah lain datang ketika masih banyak pula warga yang tidak bisa mengelola keuangan dengan baik. Jadi seberapa pun uang yang dimiliki akan cepat pula habis,” ujarnya.
Alex Waisimon (kiri) memandu para wisatawan di hutan. Instagram @isyolodgepapua
Alex mengakui hutan di daerahnya adalah kekayaan terbesar yang dimiliki masyarakat. Hutan itu pula yang selama ini memberikan penghidupan bagi masyarakat, dari alam hingga keanekaragaman hayati. Karena itu, hutan yang berada di tanah ulayat pun diharapkan memberikan manfaat untuk anak dan cucu hingga cicit mereka.
Namun, bila tidak baik mengolahnya, Alex menambahkan, hutan pun akan habis sehingga masyarakat akan merana di samping hutan yang penuh “harta karun” itu. “Jika kami terbuai dengan kekayaan hutan kami, bisa-bisa kami seperti ‘tikus mati di lumbung padi’ atau seperti ‘tikus mati di atas pelepah sagu’,” ucapnya.
Alex pun berusaha mengubah pola pikir masyarakat. Ia mengingatkan masyarakat justru bisa mendapat manfaat dari keanekaragaman hayati yang ditawarkan hutan dengan cara yang berbeda.
Menurut dia, banyak orang yang mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk melihat hewan di hutan atau merasakan kehidupan alam serta mendengar kicauan burung secara langsung. Hal itu bisa menjadi mata pencarian baru bagi warga lokal. “Saya ini mengajarkan cara ‘berburu’ yang baru bagi masyarakat,” tuturnya.
Bila kegiatan ekowisata pemantauan burung itu terus populer, Alex yakin bukan hanya individu yang akan mendapat manfaat, melainkan juga para kepala adat kampung.
Ia mengatakan berbagai upacara adat dari beragam suku masih kental dilakukan. Kepala adat perlu menyiapkan bahan kebutuhan pokok untuk upacara adat itu serta memastikan masyarakat adat yang dia pimpin tercukupi kebutuhan primernya. Salah satu caranya adalah melalui manfaat ekowisata tersebut.
Upaya Alex menjaga hutan dan segala isinya melalui ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat itu mendapat berbagai penghargaan. Pada 2017, ia menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia juga memperoleh penghargaan Kick Andy Heroes 2017.
Setahun kemudian, Alex meraih penghargaan The ASEAN Biodiversity Heroes dari ASEAN Center for Biodiversity. Penghargaan ini diberikan kepada tokoh dari negara ASEAN yang berjasa dalam upaya konservasi dan advokasi keanekaragaman hayati di negara masing-masing.
Saat ini Alex juga kerap dimintai pendapat soal pengelolaan ekowisata di daerahnya. Ia juga memberi berbagai saran untuk pengembangan ekowisata di sejumlah daerah lain. Salah satunya pengelolaan ekowisata Kali Biru di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang.
“Ekowisata itu bukan hanya bisnis, ada juga sisi kemanusiaannya,” kata Alex tentang sejumlah manfaat ekowisata bagi masyarakat dan kebaikan alam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menjaga Hutan Papua Lewat Ekowisata"