Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pintu ke Negeri Lain

Karya-karya penulis Indonesia dikenal di mancanegara berkat campur tangan agen sastra. Novel lebih disukai.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

P

ERJALANAN novel Intan Paramaditha di mancanegara bermula pada Oktober 2017. Dalam acara Ubud Writers Festival di Bali pada tahun itu, penulis novel Sihir Perempuan dan Gentayangan: Pilih Sendiri- Petualangan- Sepatu Merahmu ini bersua dengan pendiri agensi sastra Asia Literary Agency, Kelly Falconer.

Pada saat yang sama, Intan baru saja mendapat penerbit untuk buku kumpulan cerita pendeknya yang diterjemahkan Stephen J. Epstein dengan judul Apple and Knife.- Rencananya buku itu diterbitkan Brow Books, divisi penerbitan dari The Lifted Brow, majalah sastra di Melbourne, Australia. Intan menyebut Apple and Knife sebagai proyek kecil-kecilannya dengan Epstein.- “Ketika itu Apple and Knife masih tanpa agen sastra,” kata Intan, pengajar studi film dan media di Macquarie University, Sydney, Australia.

Kelly Falconer, yang telah membaca sejumlah cerpen Intan, mengetahui kontrak perempuan kelahiran Bandung itu dengan Brow Books. Karena itu, ia melamar untuk menjadi agen sastra Intan buat Apple and Knife di luar Australia dan karya-karya terjemahan Intan selanjutnya. Pinangan itu tak langsung diterima.

Intan butuh dua bulan menimbangnya sampai akhirnya menandatangani kontrak dengan Asia Literary Agency. “Saya ragu apakah butuh agen, mengingat novel Gentayangan ketika itu baru terbit dan belum diterjemahkan,” ujarnya. Namun kesibukannya sebagai dosen mendorong Intan menerima lamaran itu. “Mencari waktu untuk menulis saja sudah sulit, apalagi membaca kontrak dan mencari penerbit.”

Tahun lalu negosiasi agen Intan berbuah hasil. Penerbit dari Inggris, Harvill Secker--Penguin Random House, tertarik menerbitkan Apple and Knife. Adapun novel Intan, Gentayangan, bakal diterbitkan Harvill -Secker tahun depan di Britania Raya, Australia,- dan Selandia Baru. Sementara itu, penerbitan buku Intan di negara lain di Amerika dan Eropa masih dalam penjajakan.

Lain halnya dengan Dewi Lestari. Pengarang Supernova dan Perahu Kertas ini lebih dulu bekerja sama dengan penerbit imprint Amazon Crossing sebelum berurusan dengan agen sastra. Dewi menuturkan, Amazon Crossing berminat menerjemahkan -Perahu Kertas (Paper Boats) setelah Indonesia mendapat sorotan sebagai tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015.

Setelah meneken kontrak dengan Dewi, barulah Amazon Crossing menggandeng Jacaranda Literary Agency, agensi yang berfokus menggarap karya penulis Asia. Dalam kurun empat tahun setelah kontrak dengan Amazon Crossing, setidaknya ada dua agen sastra yang menghubungi Dewi. “Namun sejauh ini kontrak saya dengan agen sastra hanya dengan Jacaranda,” ucapnya. Kontrak tersebut di antaranya mencakup besaran dan pembagian royalti, lingkup kerja sama, serta pembayaran.

Keterlibatan agensi sastra ini meringankan beban Dewi. Mereka tak hanya membantu Dewi dan para penulis lain memoles naskah agar menarik di mata penerbit, tapi juga meriset dan melobi penerbit yang berpeluang menjadi mitra. “Kami yang melakukan negosiasi dan memediasi penulis dengan penerbit,” kata Jayapriya Vasudevan,- pendiri Jacaranda.

Setelah penerbit sepakat bekerja sama, Jacaranda memastikan sejumlah aspek beres. Misalnya soal hak cipta, jangka waktu kontrak, royalti, serta hak alih wahana ke film dan e-book. “Jacaranda memastikan penulis menandatangani kontrak yang adil serta melindungi hak dan pekerjaan mereka,” ujar Jayapriya. Jacaranda tak mengutip biaya untuk tugas-tugas tersebut. Bayaran mereka peroleh berdasarkan komisi dari penjualan buku, yang berkisar 15-20 persen.

Dewi Lestari dalam diskusi The English Pen Literary Salon dI London Book Fair, 12 Maret 2019 (bawah)./IFS-NOC Indonesia Market Country LBF 2019

Jacaranda, yang dirintis Jayapriya pada 1997, menjadi agen literasi pertama di India. Pada 2013, mereka disokong agen sastra Inggris, Helen Mangham, yang berbasis di London dan Singapura. Jacaranda tercatat menaungi 58 penulis dari berbagai negara. Tiga di antaranya dari Indonesia, yakni Ahmad Fuadi, Laksmi Pamuntjak, dan Dewi Lestari.

Menurut Jayapriya, sering kali penulis dari berbagai ceruk bumi yang lebih dulu menghubungi agensinya. Namun tak jarang pula dia dan Helen Mangham berburu karya sastra yang mereka sukai. Dengan catatan, penulisnya mumpuni dan karyanya di negara asal laris terjual. Pameran seperti London Book Fair dan Frankfurt Book Fair menjadi penting bagi agensi seperti Jacaranda “Kami jadi tahu kebutuhan penerbit sekaligus menawarkan apa yang Jacaranda punya,” katanya.

Pameran buku juga mempertemukan penulis novel Pulang dan 9 dari Nadira, Leila S. Chudori, dengan Jérôme Bouchaud dari Astier-Pécher Literary Agency. Keduanya berjumpa di Penang, Malaysia, dalam Georgetown Literary Festival, November 2018. “Leila sedang mencari agen untuk novel barunya yang baru saja diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh John McGlynn, sedangkan saya tengah mencari suara sastra yang kuat dari Asia Tenggara,” ucap Bouchaud, satu dari tiga agen di Astier-Pécher.

Namun ini bukan agen literasi pertama Leila. Sebelumnya, penerbitan novel Pulang di luar negeri ditangani Pontas Agency,- agen literasi berbasis di Barcelona, Spanyol. Pontas mengegolkan buku itu terbit dalam lima bahasa, yakni Jerman oleh penerbit Weidle Verlag, Belanda oleh De Geus, Italia oleh Atmosphere Libri, dan Inggris oleh Deep Vellum. Pontas kini menjadi agen Eka Kurniawan, pengarang novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan Lelaki Harimau.

Menurut Bouchaud, pameran buku seperti London Book Fair adalah kesempatan agensinya untuk membuat gebrakan dan menemui banyak penerbit internasional sekaligus. Para agen Pontas juga rutin menghadiri pasar buku, seperti London Book Fair dan Frankfurt Book Fair.

Judul-judul buku yang komersial dan karya dari pengarang-pengarang tersohor, kata Bouchaud, biasanya laku keras dalam tiga hari pameran. Tapi kebanyakan karya sastra, terutama yang non-Barat, biasanya butuh waktu evaluasi dan seleksi lebih lama.

Menurut Bouchaud, penerbit internasional biasanya hanya sudi merilis karya yang ditangani agensi karena agensi seakan-akan sudah melakukan kurasi atas karya sastra. Perihal ini, Jayapriya Vasudevan mengklaim agensinya sangat selektif. Dalam seleksi karya fiksi, tulisan yang indah saja tak cukup. Naskah itu, menurut Jayapriya, juga harus mengandung narasi yang dahsyat, makna mendalam, karakter kuat, dan struktur yang baik.

Itu pula yang melatari Jacaranda menjumput novel Laksmi Pamuntjak, Dewi Lestari, dan Ahmad Fuadi. Menurut Jayapriya, nama Dewi dan Laksmi direkomendasikan oleh salah satu penulis Jacaranda, Tiffany Tsao. Baru kemudian Dewi mengenalkan mereka kepada Ahmad Fuadi. “Mereka semua menulis dengan indah,” ucap Jayapriya.

Jayapriya mengakui bahwa agensinya lebih tertarik pada novel ketimbang, misalnya, buku puisi atau kumpulan cerpen. Itu karena hanya ada sedikit penerbit yang mau menerbitkan puisi. Begitu pun kumpulan cerpen, yang, menurut Jayapriya, agak sulit dijual.

Astier-Pécher mengakui hal itu. Menurut Jérôme Bouchaud, novel memang lebih laku di negara-negara Barat. Tapi ia menyebutkan kondisi ini mesti “dikacaukan” dengan mempromosikan bentuk tulisan lain, seperti kumpulan cerpen. “Sebagai agen sastra, kami bertanggung jawab untuk tak menyuapi pembaca dengan novel berkualitas saja, tapi juga membuka mata mereka terhadap gaya penulisan lain,” ujarnya.

Karya fiksi dan nonfiksi yang dilirik Astier--Pécher pun lebih banyak dari negara berkembang. Itu karena mereka memilih untuk menjual “suara-suara” baru di dunia sastra, seperti dari Senegal, Latvia, Kuba, Vietnam, Tunisia, Kroasia, Peru, dan Indonesia. Komitmen mereka ini diakui di London Book Fair 2019 lewat International Excellence Awards untuk kategori agen literasi.-

Minat agen sastra terhadap karya penulis Indonesia dianggap Dewi Lestari sebagai pintu masuk bagi dunia internasional melirik aset naskah negeri ini. Bukan hanya karya sastra, tapi juga buku anak-anak, nonfiksi, bahkan kuliner dan seni rupa. “Sastra hanya sebagian dari kekayaan naskah kita,” katanya.

Intan Paramaditha pun menganggap ini hanya langkah awal. Ia menilai pemerintah, komite buku, ataupun agen sastra mesti tahu karya-karya penulis Indonesia yang dibicarakan di mancanegara. Baru kemudian mereka memikirkan strategi agar karya penulis negeri ini bisa mengintervensi di lanskap sastra global.

Terus Tumbuh,TUMBUH TERUS

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus