Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan di rubrik Selingan khusus ini kami sajikan untuk memenuhi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers yang ditetapkan pada 17 September lalu dan melayani hak jawab serta hak koreksi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Manajemen pabrik di Porsea itu keberatan dengan tiga berita dan foto Tempo di rubrik Selingan pada edisi 5-11 Juli 2004?yaitu Selembar Ulos yang Sobek, Royan di Bona Ni Pasogit, dan Kisah si Pongah dan Lapo Tuak?yang dianggap mengandung kesalahan dan ketidakakuratan yang bisa menyebabkan kerugian.
TPL, sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999, menyampaikan keberatan itu kepada Dewan Pers. Setelah serangkaian dialog untuk mendengar keberatan TPL dan penjelasan Tempo, Dewan Pers menyampaikan penilaian dan rekomendasi setebal 24 halaman?yang dibacakan di depan kedua pihak dan disampaikan kepada masyarakat melalui media massa.
Kami menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Dewan Pers atas upayanya untuk menyelesaikan permasalahan ini, dan juga kepada PT Toba Pulp Lestari, yang telah ikut mematuhi ketentuan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999. Aturan hukum yang disebut terakhir itu, antara lain, mengatur bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers adalah dengan cara menyelesaikannya melalui mekanisme pemberitaan. Majalah Tempo sangat berbesar hati dengan adanya kontrol dan koreksi terhadap pemberitaan ini, dan merasa yakin itulah cara yang baik untuk meningkatkan mutu pemberitaan majalah ini.
Dengan tulisan ini, sekaligus kami mengoreksi beberapa bagian dari tiga tulisan dan foto di rubrik Selingan edisi 5-11 Juli 2004 itu. Atas kesalahan, kekuranglengkapan, dan ketidakakuratan data dan foto itu kami mohon maaf kepada pembaca dan juga pihak PT Toba Pulp Lestari.
Tulisan kali ini merupakan hasil liputan wartawan Tempo Rommy Fibri, I G.G. Maha Adi, dan fotografer Agung Chandra pada akhir September silam. Tulisan ini dilengkapi reportase koresponden Tempo di Medan, Bambang Soedjiartono, yang mengunjungi TPL pada Juni lalu.
Jemari Nelson Siahaan sangat cekatan menuangkan cairan biru ke dalam tabung kaca. Dengan saksama dia kocok-kocok sejenak tabung tersebut, senyampang mengamati kepekatan larutan. Bersama sekitar 15 orang staf yang bekerja di Bagian Laboratorium Baku Mutu, lelaki 36 tahun itu setiap hari akrab dengan larutan dan senyawa kimia. ?Sehari-hari kami melakukan penelitian laboratorium,? kata Nelson.
Alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Kimia Universitas Sumatera Utara (USU) ini bergabung sejak 1997. Tempat awalnya bekerja itu masih bernama PT Inti Indorayon Utama dan belum berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Putra daerah ini mengaku paham betul dengan konsep baru TPL. Perusahaan baru itu tengah memperbaiki citra: dari pabrik yang banyak dikecam merusak lingkungan menjadi perusahaan yang ramah lingkungan.
Usaha perbaikan citra ini, antara lain, menurut Nelson, dilakukan dengan menekan emisi. ?Manajemen sudah berupaya maksimal memperbaiki sistem pembuangan limbah,? kata ayah empat anak, penduduk Balige, ibu kota Kabupaten Toba Samosir, ini. Nelson adalah seorang dari sekitar 800 orang suku Batak (78 persen dari total karyawan pada akhir 2003) seputar pabrik yang bekerja di Toba.
Sistem pembuangan limbah ini soal penting. Masalahnya, pada zaman Indorayon, tangki penampung limbah sempat bocor dan mencemari Sungai Asahan.
Maka, perbaikan dilakukan menyeluruh. Itulah yang kini terlihat di Porsea, kota kecamatan di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Sejak Indorayon ditutup pada 1998, pemerintah mengizinkan Toba Pulp yang berlokasi di Desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, Sumatera Utara, itu beroperasi pada 16 Mei 2002. Pihak manajemen Toba mengusung slogan ?Paradigma Baru?. Hal ini, misalnya, dibuktikan dalam sistem pengolahan dan pembuangan limbah. Toba sudah mengantongi sertifikat ISO 14001 sebagai standar ramah lingkungan.
Tak mudah mengubah persepsi yang telanjur menancap di benak warga. Sebagian penduduk masih menganggap pabrik baru ini sebagai kepanjangan tangan Indorayon. Situmorang, warga Desa Siraituruk, yang sebagian warganya termasuk yang menentang pabrik pulp itu, tetap menganggap Toba merugikan. ?Kami masih trauma dengan bau klorin, juga ternak dan pertanian kami yang hancur,? katanya.
Padahal, asap putih yang mengepul terus-menerus dari sebuah cerobong pabrik itu, menurut Wilim, Deputi Manajer Produksi, adalah asap sisa pembakaran. ?Tidak berbahaya sama sekali,? katanya. Menurut dia, Toba saat ini menggunakan sistem elemental chlorine free (ECF). ?Kami tak lagi memakai gas klorin,? katanya. Wartawan Tempo pun mengecek hal-ihwal bau ini dengan berkeliling dalam radius sekitar 5 kilometer dari pabrik. Memang tak ada bau yang menusuk hidung.
Hanya ada satu lokasi yang membuat wartawan Tempo terbatuk-batuk: di pipa indikator limbah. Di lokasi ini tercium gas yang sangat menyengat kendati indikator keasaman menunjukkan angka 7,2. Jangan-jangan, gas beracun? Wilim membantah. ?Anda mencium gas sisa asam yang tersemprot ke luar. Memang sangat pekat, tapi tidak beracun.?
Selain persoalan manajemen limbah dan teknologi pabrik, pihak Toba juga menawarkan konsep siklus pertanian terpadu. Mereka tak hanya memanen pohon eucalyptus sebagai bahan baku pulp, melainkan juga mengembangkan sistem kloning. Dahan eucalyptus dipotong dengan ukuran tujuh sentimeter, kemudian ditanam dalam kantong pembibitan. Makmur Damanik, Manajer Nursery, mengatakan, ?Setelah tumbuh akar, bibit itu dibawa ke hutan tanaman industri untuk ditanam kembali.?
Di bagian pembibitan ini, tak sedikit penduduk setempat yang bekerja sebagai buruh lepas. Jeti Boru Butar-butar, penduduk Desa Tangga Batu II, salah satu contohnya. Janda sejak 12 tahun lalu ini mengaku tak punya penghasilan lain kecuali bertani. Dengan mengadu nasib sebagai buruh lepas, ia mampu bertahan hidup dan merawat kelima anaknya. Kendati ia berniat baik, toh tetangga kampung menanggapinya dengan cacian dan cemoohan. ?Mereka marah karena saya dianggap berkhianat dan mendukung Toba,? katanya.
Walhasil, sekali waktu, warga desa berkerumun dan bersiap membakar rumah Jeti. Dalam keadaan ketakutan, Jeti dan anak-anaknya mengungsi ke rumah orang tuanya. Beruntung, ibunya tergolong kelompok masyarakat yang anti-Toba, sehingga tak satu pun warga yang berani mengusiknya.
Drama ihwal perpecahan internal keluarga di Porsea bukanlah cerita baru. Pasang-surut hubungan kekerabatan di Batak ini menjelma sejak kemunculan Indorayon hingga Toba. Tengoklah penuturan Hitler Sihombing, petani Desa Lumban Gurning, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Selain bertani, ayah satu anak ini tadinya memiliki kedai makan yang terletak sekitar dua kilometer dari pabrik.
Suatu hari pada 1998, pada zaman Indorayon, ada sejumlah aparat polisi yang jajan di kedainya. Sedetik berselang, Hitler didatangi puluhan tetangga yang berniat mengusir mereka. Karena menampik keinginan warga, akhirnya Hitler dikucilkan seluruh masyarakat desa. ?Daripada dikucilkan, padahal saya tidak ikut apa-apa, mendingan saya mendukung Indorayon sekalian.? Tak hanya anak dan istrinya, ia mengajak serta seluruh marga Sihombing yang tinggal di kampungnya untuk mendukung Indorayon.
Tetangga kampung Hitler, Latas Gurning, 42 tahun, punya pengalaman serupa. Ketika zaman Indorayon, ?Saya menentang dan pernah memblokade jalan.? Tapi kondisi dan suasana berubah. Ketika pada Juli lalu Toba menawarkan program kemitraan masyarakat, Latas tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Akibatnya, penduduk sekampung mengucilkannya. ?Setiap bertemu muka di jalan, mereka memicingkan mata dan menuduh saya penjilat,? kata Latas. Tadinya ia sempat keder, tapi, ?Lama-lama saya hadapi tantangan dan ancaman dari mereka.?
Ketabahan Hitler dan Latas pun agaknya tak sia-sia. Kini mereka bisa beternak sapi, mengolah sawah ikan emas, dan juga kebun rumput gajah. Malah pada saat pelatihan petani terpadu?ketika ia dikirim Toba Pulp ke Riau?Latas terpilih sebagai peserta pelatihan terbaik.
Nasib mereka yang pro-Toba Pulp boleh jadi jauh lebih mujur daripada nestapa yang dialami Musa Gurning, 77 tahun, aktivis Suara Rakyat Bersama, di Desa Siraituruk. Kakek yang juga pengusaha angkutan ini dihukum penjara 2 tahun 3 bulan. Musa didakwa merusak Kantor Camat Porsea dan menghasut massa untuk melakukan demonstrasi pada November 2002. Dia ditangkap bersama 13 orang penduduk lain.
Musa sempat ditemui Tempo. ?Sikap saya masih sama, tolak Toba Pulp Lestari,? katanya jelas. Tapi sikap kerasnya bukan tanpa jalan keluar, ?Kami bisa saja menerima pabrik itu, asal mereka beroperasi dengan kemanusiaan.? Sebelum ditangkap, Musa mengaku sempat membuat kesepakatan lisan dengan Toba. Menurut dia, mereka bisa beroperasi jika memenuhi empat syarat: meminta maaf kepada alam di Porsea, melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat, mengganti semua fasilitas yang rusak karena Toba, dan menampung putra daerah bekerja di pabrik.
Apakah semua kesepakatan lisan itu sudah dipenuhi Toba? Presiden Direktur Toba Pulp Lestari, Owen Ronald Downie, mengatakan, ?Kami akan selalu mendengarkan keluhan dari masyarakat.? Apalagi, sejak 17 Februari 2004, Gubernur Sumatera Utara telah membentuk tim independen untuk mengawasi pelaksanaan paradigma baru Toba. Selain memonitor, tim ini juga menampung keluhan dan pengaduan masyarakat, kemudian merekomendasikan saran-saran perbaikan.
Pengaduan masyarakat yang pada zaman Indorayon dulu sempat terdengar adalah bahwa tanaman padi pernah gagal panen akibat pencemaran. Benarkah? Bupati Toba Samosir, Sahala Tampubolon, menyatakan sampai saat ini belum ada bukti adanya padi rusak karena pencemaran. ?Kalau terkena hama wereng memang pernah terjadi,? katanya.
Pabrik, di mana pun tempatnya, selalu memunculkan pendapat pro dan kontra dari masyarakat sekitarnya. Yang mendapat manfaat akan selalu pro, yang tidak menerima manfaat?langsung atau tak langsung?akan bersikap anti. Agar manfaat pabrik bagi masyarakat sekeliling semakin hari semakin terasa, Toba perlu terus-menerus mendengar suara masyarakat sekelilingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo