Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumitnya Mengurus SIM
Rasa hormat saya kepada polisi kini sudah pupus. Ini gara-gara kejadian yang saya alami saat mengurusi surat izin mengemudi (SIM) di Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 9 Oktober lalu. Ketika itu saya bermaksud mendapatkan SIM baru karena SIM saya yang dikeluarkan oleh Polda Riau akan habis masa berlakunya.
Semula, hampir semua tahapan—tes kesehatan, membayar administrasi dan asuransi—saya jalani dengan lancar, kendati banyak pembayaran tanpa ada tanda terima atau kuitansi. Namun, ketika hendak mengikuti prosedur perpanjangan SIM, saya tidak bisa. SIM saya tidak dapat diperpanjang karena dikeluarkan bukan oleh Polda Metro Jaya, dan saya tidak mempunyai surat mutasi. Saya sudah berpindah-pindah tempat ke luar negeri setelah saya pindah dari Riau, dan saya berpikir di zaman yang serba cepat ini pengurusan surat seperti itu sudah tidak diperlukan. Tapi saya masih bisa menerima persyaratan tersebut.
Saya akhirnya mengikuti prosedur pembuatan SIM baru. Sampai di loket pendaftaran ujian tertulis, rasa hormat saya kepada polisi mulai berkurang. Seorang bapak petugas di loket menawarkan diri untuk membantu pengurusan SIM dengan biaya Rp 200 ribu. Saya berpikir ini hanya satu oknum, saya akan lewatkan saja dan meng-ikuti prosedur dengan benar. Dengan sopan, saya katakan akan mengikuti prosedur yang benar. Bapak tersebut menyayangkan sikap saya dan menakut-nakuti bahwa saya kemungkinan akan gagal.
Ujian tertulis saya ikuti dengan lancar, dilanjutkan ujian praktek. Di sini kembali rasa hormat saya kepada polisi menjadi sirna. Saya dinyatakan gagal. Alasannya? Kaki saya selalu berada di kopling selama berjalan dan saya tidak memperhatikan tanda berhenti (stop). Saya berargumen bahwa dengan jarak tempuh yang dekat, kaki saya perlu bersiaga di atas kopling. Mengenai tanda stop, karena jalan bercabang dua dan tanda stop hanya ditempatkan di cabang yang satu lagi, kita tidak perlu stop.
Argumen saya tidak didengar, dan saya tetap dinyatakan gagal. Padahal, saya sudah lima tahun mengendarai mobil tanpa pernah mengalami kecelakaan yang besar. Dengan tes itu, saya dinyatakan tidak layak mengemudi.
Karena waktu yang saya habiskan di tempat itu sudah hampir 5 jam, saya tidak melanjutkan debat. Akhirnya saya memilih membayar oknum polisi Rp 200 ribu agar memperoleh SIM, meskipun beberapa orang biasanya membayar Rp 350 ribu.
Saya yakin masih banyak polisi lain yang masih mengerjakan tugasnya dengan mulia. Tapi, karena ulah sejumlah oknum polisi nakal, polisi-polisi lain mendapat citra buruk dari masyarakat.
SUSI P. Cipinang, Jakarta
Memanfaatkan Data KPU
Kesimpang-siuran identitas pekerja Indonesia yang disandera di Irak beberapa waktu lalu merupakan contoh semrawutnya data kependudukan kita. Itu sebabnya saya mengusulkan hal yang sederhana, yakni memanfaatkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) semaksimal mungkin bagi keperluan pendataan penduduk yang benar.
Saat ini data sebagian besar penduduk Indonesia (berumur di atas 17 tahun atau sudah menikah) sudah dimiliki oleh KPU. Paling tidak dua data pertiga dari jumlah penduduk RI sudah ada di KPU. Lalu, mau diapakan data tersebut, yang sangat berarti dan dikumpulkan dengan biaya, waktu, dan tenaga yang banyak? Ada baiknya data di KPU itu dimanfaatkan oleh instansi lain, misalnya untuk menyiapkan KTP nasional dengan satu nomor untuk seorang WNI.
Data sistem KTP nasional dapat diakses untuk keperluan apa pun seperti paspor, SIM, STNK, kelakuan baik di polisi, akad nikah, pelayanan di rumah sakit, pengajuan kredit bank, mengurus sertifikat tanah di BPN, dan sebagainya. Sehingga, tidak setiap kali warga berurusan dengan instansi pemerintah maupun non-pemerintah selalu ditanyai berbagai macam surat termasuk permintaan fotokopi KTP.
Dengan adanya KTP nasional, diharapkan tidak ada lagi satu orang yang memiliki banyak KTP atau banyak paspor atau SIM dan lain-lain. Bilamana perlu, catatan kejahatan seseorang juga dapat dimasukkan dalam file KTP nasional yang dapat diakses oleh instansi lain hanya dengan kode tertentu.
Untuk pemilu lima tahun mendatang, 2009, mungkin tidak perlu lagi keluar dana besar untuk pendataan warga pemilih, tetapi cukup menggunakan KTP nasional yang sudah diperbarui setiap tahun, bahkan setiap bulan.
Pengelolaan data itu tidak membutuhkan data yang besar karena tinggal meng-update dari data pemilih di KPU. Kalau KPU dan BPS bisa melaksanakan, kenapa birokrasi tidak bisa? Tidak ada kata tidak bisa dilakukan sejauh niatnya tulus demi kepentingan efektivitas, efisiensi, dan kontrol administrasi. Pemerintahan yang baru seharusnya bisa melaksanakan hal ini.
MASKURUN MULYOSUKARTO [email protected] Jalan Puri Pesanggrahan III No. 12 Cinere, Limo, Depok 16514
Foto Martin Aleida
Sekitar setahun yang lalu, saya menyerahkan foto-foto perjalanan saya ke wilayah Danau Toba kepada redaktur foto harian Koran Tempo, dengan harapan bisa dimuat di harian terkemuka tersebut. Setelah ditunggu selama setahun (artinya saya membeli Koran Tempo saban hari selama lebih dari 350 hari), ternyata foto-foto saya itu rupanya hanya pantas untuk keranjang sampah. Tak ada berita, dan saya berhenti membeli Koran Tempo. Beginilah nasib tukang foto, rupanya.
Kurang dari sebulan lalu, entah siapa yang mendorong hatinya, seorang teman bercerita bahwa majalah Tempo memuat tulisan mengenai pencemaran yang terjadi di Porsea. Saya kebetulan sedang menulis novel (yang sekarang alhamdulillah sudah rampung) dengan, antara lain, setting Porsea. Teman itu meminjamkan Tempo edisi 11 Juli 2004. Di situ saya lihat, menyertai tulisan tentang pabrik bubur kayu itu, terpampanglah foto seorang pastor yang sedang menenangkan pelajar yang berdemonstrasi menentang pabrik itu, dengan kredit foto atas nama saya.
Kemudian, dalam ukuran lebih kecil, ada lagi satu foto tentang massa yang sedang berdemonstrasi damai di Simpang Sigura-gura. Saya yakin keringat saya ada di belakang foto itu, walau nama saya tak disebut, entah mengapa. Apakah karena saya pernah bekerja 13 tahun di majalah Tempo maka saya tak pantas dapat kredit untuk jerih-payah saya? Saya tak pernah diberi tahu bahwa foto yang saya jual ke Koran Tempo akan dimuat di majalah Tempo.
MARTIN ALEIDA Jalan Mujair II No. 39 Rawa Bambu, Pasar Minggu Jakarta 12520
— Kami mohon maaf atas keteledoran tidak mencantumkan kreditasi pada foto saudara Martin, dan masalah ini sudah diselesaikan oleh redaktur foto kami dengan yang bersangkutan.
Koreksi Fatma Amilia
Melalui surat ini, saya ingin meluruskan tulisan di majalah Tempo edisi 11-17 Oktober 2004, berjudul Poligami No, Kawin Kontrak Yes, tepatnya pada halaman 118. Pertama, nama saya yang benar adalah Fatma Amilia bukan Fatimah Amelia.
Kedua, dalam tulisan tersebut dikutip Fatimah Amelia mengkhawatirkan draf Kompilasi Hukum Islam HI memunculkan tirani baru. Seharusnya tidak demikian. Saya mengatakan ada sebagian orang yang mengkhawatirkan ”KHI Gender” ini memunculkan tirani baru. Ada orang yang mengatakan hal ini kepada saya secara langsung. Karenanya, menurut saya, masih perlu pembahasan dan diskusi lebih dalam lagi dengan ditambah dukungan data hasil penelitian, sehingga kekhawatiran seperti ini tidak muncul.
FATMA AMILIA Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bukan Paten, melainkan Hak Cipta
KAMI ingin meluruskan tulisan Tempo edisi 11-17 Oktober 2004, halaman 136, rubrik Ekonomi dan Bisnis. Dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa Pemda Solo akan mematenkan batik. Yang betul adalah mengajukan hak cipta batik. Di samping itu, kami tidak pernah menuding Malaysia.
DRS. SUDARYONO Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal Kota Surakarta
— Terima kasih atas koreksi Anda.
Pelayanan Giant Cimanggis
Saya seorang ibu rumah tangga yang biasa berbelanja di Giant Cimanggis, Jakarta Timur. Hampir tiap minggu saya berbelanja susu dan keperluan lain di hipermarket tersebut. Tetapi saya sungguh jengkel dan kecewa ketika pada hari Jumat, 8 Oktober 2004, pukul 23.30 WIB, saya mendapatkan pelayanan yang tidak seperti biasanya. Biasanya pelayanan yang diberikan cukup baik, tetapi hari itu sangat kasar dan tidak sopan.
Dengan pertimbangan Giant Cimanggis setiap hari Jumat dan Sabtu buka sampai pukul 24.00 WIB, saya berbelanja agak malam. Tapi, ketika saya sedang berada di counter penjualan ayam dan daging, saya dilayani dengan sangat kasar dan tidak sopan. Saya membeli 20 ekor ayam broiler dalam kemasan, kemudian saya meminta petugas di counter pemotongan daging untuk memotong ayam tersebut. Tak saya sangka ternyata karyawan tersebut, yang tidak bisa saya lihat namanya, melayani dengan muka masam dan sikap yang tidak sopan.
Dengan maksud membantu karyawan tersebut, saya meletakkan ayam-ayam tersebut di atas bagian seperti meja pada counter tersebut, tapi si karyawan menjatuhkan ayam yang sudah saya letakkan, tanpa permintaan ”maaf” ataupun senyum sebagai permintaan maaf. Setelah itu, si karyawan memotong ayam belanjaan saya dengan cara membanting-banting pisau seakan-akan memperlihatkan bahwa dia kesal karena saya berbelanja terlalu malam.
Tak cukup sampai di situ. Setelah selesai, hasil potongan ayam saya dimasukkan dalam plastik besar yang sebelumnya digunakan sebagai pengalas meja potong. Dan yang paling menjengkelkan, setelah selesai membungkus hasil potongan ayam saya, si karyawan membereskan tray-tray yang berisi daging dengan cara yang sangat kasar dan dibanting-banting di depan saya. Apakah memang begini training yang diberikan manajemen Giant Cimanggis untuk melayani pelanggan?
Saya sangat kecewa dengan kejadian itu. Saya harap pihak manajemen Giant Ci-manggis memperbaiki karyawan yang memiliki sikap seperti itu dengan cara menegurnya, kalau perlu memberhentikannya.
ASTERIDA I.K. Pasar Rebo, Jakarta Timur
Rakyatlah yang Berdaulat
Pemilihan pimpinan DPR dan MPR telah menghasilkan polarisasi dua kutub yang berbeda. DPR dipimpin oleh sebuah paket yang berkubu pada Koalisi Kebangsaan, yang dilahirkan oleh Akbar Tandjung dan Megawati Soekarnoputri. Sedangkan MPR dipimpin oleh paket pimpinan yang berkubu pada Koalisi Kerakyatan, yang lahir sebagai penyeimbang Koalisi Kebangsaan. Ketua DPR adalah Agung Laksono dari Partai Golkar, sedangkan Ketua MPR adalah Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera.
Maka, sebuah peta awal, pertarungan antara oposisi dan pemerintah baru sedikit atau banyak telah dapat dibaca sejak sekarang. Pemerintah baru akan mendapatkan oposisi yang keras di DPR. Bahkan, apabila konsisten sepanjang lima tahun, inilah pertama kali bangsa kita menghadapi sebuah era politik dengan oposisi yang sangat kuat di DPR. Oposisi sendiri sangat diperlukan sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, agar kekuasaan eksekutif tidak berjalan otoriter. Tapi, yang sebaliknya pun jangan sampai terjadi, yaitu oposisi yang berlebihan, yang eksesif, yang bisa membuat macetnya berbagai langkah perubahan yang akan diambil pemerintah baru.
Kendati begitu, tidaklah gampang untuk menjatuhkan presiden. Sebab, presiden yang baru adalah hasil pilihan rakyat secara langsung. Karena itu, menjegal program-program presiden terpilih, yang telah dijanjikan dalam kampanye pemilu, akan menjadi bumerang yang dahsyat bagi DPR. Partai-partai yang berkelakuan negatif, yang mengambil sikap oposisi hanya untuk mengganggu jalannya pemerintahan baru agar kinerjanya buruk, akan memetik hasil yang buruk pula pada Pemilu 2009.
Maka, ingatlah mereka yang duduk di DPR dan MPR adalah mewakili rakyat, bukan mewakili koalisi yang dibentuk para elite. Presiden pun tidak boleh lupa bahwa dia dipilih oleh rakyat, bukan kalangan elite. Siapa pun elite politik, harus diingatkan agar tidak lupa diri bahwa kekuasaannya berasal dari rakyat.
WORO SEMBODHRO Jalan Mawar 54A, Baciro Yogyakarta
Menanti Kabinet Cikeas
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla telah memenangi pemilu presiden secara mutlak dan meyakinkan. Ini berarti mereka bisa membentuk suatu pemerintahan yang kuat tepercaya. Prestasi ini patut dibanggakan karena rakyat Indonesia ternyata sudah sangat matang dalam menghayati arti demokrasi.
Terpilihnya SBY-JK juga mengindikasikan besarnya harapan rakyat terhadap pemerintah baru. Mereka mesti menunjukkan kemampuan dan kesungguhannya untuk paling kurang menciptakan suasana yang antikorupsi, dan menggairahkan perekonomian. Pemerintah baru juga diharapkan mampu menegakkan hukum. Dengan kata lain, dalam seratus hari pertama, pemerintah SBY-JK perlu menampilkan diri sebagai pemerintah yang bertanggung jawab.
Karena itu, SBY-JK harus jeli memilih figur-figur menteri agar kabinet baru yang dipimpinnya dapat mewujudkan harapan rakyat. Hanya kabinet yang berkualitas yang dapat mengakhiri krisis multidimensi yang mendera bangsa sejak tujuh tahun yang lalu.
FACHRI RIFALDI Bondongan, Bogor
Pemkot Bandung dan Nasib Punclut
Kawasan Punclut di Bandung Utara kembali menjadi berita. Beritanya tentu saja bukan kabar baik tetapi kabar buruk bagi warga Bandung pada umumnya. Bukit Punclut akan disulap menjadi tempat wisata mewah. Yaitu akan dibangun sejumlah rumah kebun, hotel, green house, fasilitas olahraga outdoor, pasar seni, spa dan country club, cottages, dan kebun binatang mini seluas 30 hektare. Berita buruknya adalah yang pasti pembangunan itu bukan diperuntukan bagi rakyat. Lalu, Punclut sebagai kawasan yang dilindungi karena fungsinya sebagai daerah resapan air serta kawasan penyangga bagi observatorium Boscha, siap-siap menjadi hutan beton yang semarak dengan kilau cahaya lampu. Artinya, sebagai daerah resapan air Punclut sudah tidak berfungsi maksimal lagi karena tanahnya sudah tertutup tembok. Observatorium Boscha juga harus siap-siap angkat kaki karena cahaya lampu tentu saja akan mengganggu fungsi peneropongan bintang. Padahal, stasiun penelitian peninggalan Belanda itu termasuk aset warisan dunia yang harus dilindungi karena faktor keunikan dan kesejarahannya.
Tapi apa lacur, serigala rakus berbulu domba yang bernama investor dan Pemerintah Kota Bandung tetap pada keinginannya untuk segera membangun di kawasan itu. Nafsu terhadap keuntungan yang besar telah membutakan hati terhadap bahaya dan kerugian yang akan ditimbulkan oleh pembangunan kawasan wisata itu. Pihak Investor dan Pemerintah Kota Bandung tidak pernah berpikir bahwa rakyat banyaklah yang paling menanggung akibatnya. Kesulitan air di musim kemarau serta banjir besar di musim hujan sudah menjadi rutinitas. Belum lagi soal polusi udara dan hujan asam yang menjadi ancaman kesehatan nomor satu bagi warga Bandung.
Cekungan Bandung memang rawan. Kontur lahan yang mirip katel raksasa telah membuat kawasan ini menjadi rawan bencana. Ibarat di penggorengan, penduduk Bandung seperti masakan yang terpanggang dikala panas dan terendam jika tersiram air. Bentang alam yang dikelilingi gunung membuat polusi udara terkurung dan berputar-putar tak terurai angin.
Jika para pejabat kota Bandung punya nalar di kawasan Punclut pasti akan dibangun hutan kota, memperluas penghijauan dan memperbaiki kualitas lingkungan agar warga Bandung bisa hidup lebih nyaman dan sehat. Itulah pembangunan yang dibutuhkan rakyat. Bukan membangun fasilitas kemewahan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya dengan mengorbankan lingkungan dan rakyat banyak.
Selain itu, Gubernur Jawa Barat sudah menerbitkan surat edaran yang menyatakan bahwa pembangunan fisik di kawasan Bandung Utara harus dihentikan (status quo), sampai lahirnya Rencana Tata Ruang Wilayah Bandung Metropolitan yang menjadi acuan bersama membangun di kawasan cekungan Bandung.
Wahdi Djatnika Geger Kalong Hilir, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo