Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Poso Tidak Boleh Ditinggalkan

25 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM genap sepekan dilantik sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian mendapat kado penyambutan istimewa. Santoso, buron teroris nomor satu yang diburu sejak satu setengah tahun lalu, ditembak mati di Poso, Sulawesi Tengah, Senin pekan lalu.

Namun mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini mengatakan penangkapan Santoso sudah diprediksi. Menurut dia, penyergap­an terhadap otak sejumlah aksi teror di Poso itu hanya masalah waktu. ”It’s just a matter of time,” ujarnya.

Tito mengatakan tewasnya Santoso belum mengakhiri perlawanan sisa kelompok teroris yang telah berbaiat ke Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS itu. Menurut dia, perlawanan terhadap jaringan teroris tidak boleh kendur. Justru saat ini aparat harus mengikis keras mereka agar tidak merekrut anggota baru dan menebarkan serangan teror lagi.

Menjelaskan soal Santoso dan operasi pemberantasan terorisme, Tito, yang ditemani Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, menerima Budi Setyarso, Sunudyantoro, Anton Aprianto, Abdul Manan, Ananda Teresia, Dewi Suci Rahayu, dan fotografer Dian Triyuli Handoko dari Tempo di ruang kerjanya untuk sebuah wawancara khusus, Jumat pekan lalu.

Mengapa Santoso baru tertangkap sekarang?

Kami merespons teror yang dilakukan Santoso dan kelompoknya dengan sejumlah operasi. Dimulai dengan operasi Camar Maleo, yang disusul Operasi Tinombala. Targetnya melemahkan kelompok Santoso yang terus menebarkan teror. Ada sebagian masyarakat yang mempersepsikan operasi di Poso untuk menekan kelompok muslim di sana. Jangan dibalik itu. Mereka melakukan aksi teror lebih dulu, baru kami merespons dengan melancarkan operasi.

Kenapa menghabiskan waktu cukup lama?

Sejak polisi berpisah dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Tentara Nasional Indonesia) pada 2000, polisi yang semula menjadi bagian dari militer harus menjadi polisi sipil. Maka unsur yang berbau militer direduksi, yang berakibat pada kemampuan Brigade Mobil sebagai kesatuan paramiliter kita. Brimob dulu memiliki kemampuan berperang di hutan dan menjadi bagian dari perang merebut kemerdekaan. Dulu Brimob memiliki kemampuan gerilya antigerilya yang pintar berperang di hutan dan gunung.

Maksudnya, sekarang polisi tidak punya kesatuan paramiliter yang memiliki kemampuan perang di hutan dan gunung?

Sejak 2000, kemampuan gerilya antigerilya ini direduksi. Brimob lebih mengutamakan perang kota seperti search and rescue, reserse mobile, penjinak bahan peledak, dan kemampuan melawan teror. Kemampuan itu kami tunjukkan ketika menangkap Dr Azahari dan Noor Din M. Top serta menangani serangan teror di dalam wilayah Kota Poso pada 2005-2007. Kami bisa bermain di kota. Situasi berubah, kelompok teror Santoso bergerak di hutan dan gunung. Bagi kami, cara yang paling cepat dan efektif untuk mendapatkan tim yang kuat berperang di hutan adalah menggandeng TNI, yang mendidik dan memelihara kemampuan tersebut.

Apa strategi yang dipakai dalam mengejar Santoso?

Kami menjalankan operasi dengan melakukan penyekatan. Kami bagi dalam empat sektor: sektor satu, dua, tiga, dan empat, dari daerah kota, perkampungan, perkebunan, hingga hutan di gunung. Kami menyekat, lalu menusuk ke wilayah dalam, dengan teknologi pendukung operasi, alat manual, untuk mengetahui posisi mereka. Posisi mereka susah dideteksi.

Penduduk mendukung kelompok Santoso sehingga mereka sukar dilumpuhkan?

Kalau main di bawah, mereka didukung simpatisannya. Mereka bukan teroris biasa. Mereka adalah pejuang yang ketika terjadi konflik Poso, Santoso dan Basri misalnya, berada di garis depan berhadapan dengan kelompok Nasrani. Ketika Poso Pesisir yang penduduknya mayoritas muslim diserang, Santoso dan Basri cs menjadi pahlawan buat masyarakat di sana. Masyarakat di kampung itu tidak melupakan jasa-jasa mereka karena mereka melindunginya. Jadi, meski mereka salah arah secara ideologi, masih banyak yang menaruh respek pada Santoso cs.

Apa strategi yang dipakai Operasi Tinombala dalam menekan kelompok Santoso?

Dulu mereka mendikte kami dengan cara leluasa memilih serangan. Ada penduduk asal Bali, misalnya, yang dipotong lehernya. Mereka mendikte, serang, lalu hilang masuk ke hutan. Begitu kami melakukan Operasi Tinombala bersama TNI dengan menyekat, mengepung, dan menusuk, mereka tidak mudah melakukan serangan. Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tertangkap satu per satu, meski belum menyentuh Santoso, sebelumnya. Dari pengalaman saya, dalam perburuan tersangka, kerja keras menentukan 40 persen. Kalau tidak bekerja keras, lima persen. Sisanya, itu urusan Tuhan. Maka teman di Poso banyak yang berdoa, menggelar pengajian dengan membaca surat Yasin, dan berpuasa. Banyak juga yang bernazar.

Dalam pengalaman polisi, apakah operasi di Poso masuk kategori operasi besar?

Besar. Kami melihat aksi kelompok Santoso sangat meresahkan masyarakat dan membahayakan.

Selama operasi, bagaimana hubungan TNI dan Polri?

Mulus, bagus sekali.

Ada informasi sulitnya penangkapan Santoso karena ada yang sengaja melindungi?

Tidak ada yang melindungi. Cuma, persoalannya, biasalah terjadi kompetisi secara sehat. Ingin menangkap, ya, wajar. Di kalangan internal polisi juga kan ada kompetisi secara sehat, ingin menangkap. Semua kan ingin berprestasi.

Bagaimana Anda melihat Basri, yang disebut-sebut sebagai penerus Santoso?

Basri lebih berani. Tapi Santoso sedikit lebih berwibawa. Basri orangnya celelekan. Dia tidak mengerti agama. Ditanya ayat saja dia tidak bisa. Dia pemabuk. Basri dendam karena anggota keluarganya banyak yang dibunuh dalam konflik Poso. Sewaktu dia motong kepala korbannya, itu bukan karena jihad, tapi karena dendam.

Seperti apa peta kekuatan kelompok Poso ini setelah Santoso tewas?

Poso tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Banyak kelompok radikal di sana, sehingga mereka harus didekati. Petanya sudah ada. Harus ada penggalangan intelijen, menyalurkan mereka untuk bekerja atau hal lain yang positif, sembari melakukan kontra-ideologi guna menetralisasi ideologi radikal yang sudah telanjur masuk ke otak mereka. BNPT, Kepolisian, dan Panglima TNI perlu bekerja sama membentuk sinergi.

Ke depan, penindakan terorisme akan selalu melibatkan operasi militer?

Operasi ini masuk kerangka penegakan hukum, operasi Kepolisian yang didukung TNI. Operasi ini bukan operasi militer. Kerangka penegakan hukum yang terbaik dapat melindungi petugas yang terlibat. Selama dalam kerangka penegakan hukum, kalau mau dibawa ke mana pun, seperti diperiksa Komnas HAM atau dijadikan pelanggaran hak asasi dan dibawa ke Mahkamah Internasional, kami akan terlindung dengan operasi penegakan hukum. Kalau operasi militer murni, akan sangat bergantung pada situasi politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus