Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIRUK-pikuk terjadi di ruang rapat Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Sebagian anggota menyebar ke sejumlah sudut sembari menenteng secarik kertas putih. Mereka hilir-mudik mencari kolega dari fraksi lain. Rapat yang seharusnya dimulai pada pukul 18.30 molor hampir satu jam dari jadwal. Malam itu Dewan bakal memilih sembilan nama anggota Komisi Penyiaran Indonesia.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Evita Nursanty, mondar-mandir mendatangi anggota fraksi lain. Di kertas yang dia pegang, nama Obsatar Sinaga berada di urutan teratas. Beberapa kali dia memanggil nama politikus Partai Golkar, Meutya Viada Hafid. Sejurus kemudian, bersama politikus Partai Persatuan Pembangunan, Syaifullah Tamliha, ketiganya masuk ke ruang pimpinan. Lima belas menit berlalu, Meutya keluar dengan wajah mengerut. ”Alot, euy,” katanya sembari berjalan cepat.
Setiap fraksi mengkaveling satu titik di sekitar ruang rapat untuk melobi fraksi lain. Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, memilih ruang makan untuk menegosiasikan calon unggulan mereka. Politikus PPP, Arwani Thomafi, sempat ditarik ke ruangan tersebut. Adapun Fraksi Partai Golkar memilih ruang tunggu Badan Anggaran sebagai tempat konsolidasi. Sempat berkumpul sejenak, anggota Fraksi Golkar pun menyebar ke banyak sudut.
Sempat meninggalkan arena lobi, Meutya Hafid kembali masuk ke ruangan pimpinan. Kali ini politikus Partai Gerindra, Rachel Maryam, dan politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Ida Fauziah, menyertai kedatangannya. Seorang peserta pertemuan menuturkan, lobi lintas fraksi bertujuan mencocokkan sejumlah nama. Sebenarnya, menurut politikus ini, mayoritas nama sudah disepakati. ”Yang berbeda tinggal satu-dua nama,” ujar politikus ini.
Hampir dua jam menggelar lobi, para politikus ini tak menemukan kata sepakat. Mekanisme pemilihan yang awalnya direncanakan lewat musyawarah menemui jalan buntu. Pemilihan sembilan nama Komisioner KPI pun dilakukan melalui mekanisme pemilihan secara tertutup. ”Alot, setiap fraksi memiliki pandangan berbeda dan tak ketemu,” kata Evita Nursanty.
Melalui voting tertutup, Komisi Informasi akhirnya memilih sembilan nama, yakni Nuning Rodiyah, Sudarwanto Rahmat Arifin, Yuliandrie Darwis, Ubaidillah, Dewi Setyarini, H. Obsatar Sinaga, Mayong Suryo Laksono, Hardly Stefano Fenelon Pariela, dan Agung Suprio. Tiga nama menjadi cadangan, yaitu Mulyo Hadi Purnomo, Surokhim, dan Ade Bujaerimi. Nuning satu-satunya calon yang dipilih semua anggota Komisi Informasi DPR dengan 54 suara.
Komisi Informasi DPR justru mendepak sejumlah calon berpengalaman di sektor penyiaran, misalnya Ignatius Haryanto, Redemptus Kristiawan, Maulana Arief, dan Agus Sudibyo. Seorang politikus menuturkan, Ignatius dianggap sebagai pendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Saat uji kelayakan, Ignatius mengatakan, ”Media semestinya menjadi ruang dialog. Yang harus diperhatikan adalah karya, bukan orientasi seksual seseorang.”
Penolakan Ignatius datang dari partai Islam. Politikus Partai Amanat Nasional, Alimin Abdullah, mengatakan pengawas lembaga penyiaran tak seharusnya berasal dari mereka yang mengkampanyekan LGBT. ”Tidak ada orang terdidik yang mendukung itu,” ujar Alimin.
Nama lain yang mendapat penolakan adalah Redemptus Kristiawan, Manajer Program Yayasan Tifa. Nasionalisme Redemptus sempat dipertanyakan karena ia bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat yang dibiayai donor asing. Politikus PDI Perjuangan, Irine Yusiana Roba Putri, sempat bertanya, ”Anda sering mengkritik dunia penyiaran tapi Anda bekerja didanai asing.”
Redemptus menampik hal ini. Sebab, kata dia, posisi penting di Yayasan Tifa dijabat warga negara Indonesia. Lagi pula, menurut Redemptus, ”Rencana strategis lembaganya selalu berdasarkan kepentingan nasional.” Penolakan terhadap Ignatius dan Redemptus pun tecermin dari hasil akhir. Keduanya tak dipilih oleh satu pun anggota Komisi Informasi DPR.
Politikus Partai Golkar, Tantowi Yahya, mengatakan setiap fraksi memiliki sejumlah parameter untuk memilih nama calon. Misalnya profesi, jenis kelamin, pengalaman, kompetensi, dan faktor kewilayahan. Adapun Evita Nursanty memastikan lembaganya memilih calon yang mengedepankan kepentingan publik dan tidak mewakili industri televisi. ”KPI lalu tak berdaya ketika pemilu presiden,” ucap Evita.
Sejumlah nama yang terpilih justru diragukan pengalamannya di bidang penyiaran. Misalnya Obsatar Sinaga, calon yang diusung PDI Perjuangan. Obsatar adalah ketua tim promotor penganugerahan doctor honoris causa Universitas Padjadjaran, Bandung, kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Dia juga menjadi promotor Evita saat meraih gelar doktor di universitas yang sama.
Di dunia media, Obsatar pernah menjadi Pemimpin Umum Harian Bandung Pos hingga 2004 dan wartawan harian Mandala Bandung. Dia juga menjadi Sekretaris Program Pascasarjana Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Menurut Evita, terpilihnya Obsatar murni karena kompetensi. ”Bukan karena beliau menjadi promotor saya,” ujar Evita.
Nama lain yang disorongkan PDI Perjuangan adalah Hardly Stefano Fenelon Pariela, alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Dalam daftar riwayat hidupnya, Hardly tak pernah bersentuhan dengan dunia penyiaran. Dia pernah menjadi Sekretaris Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Regional Surabaya 2003-2006. Selain menjadi konsultan manajemen dan kebijakan publik, Hardly menjadi anggota Komisi Pelayanan Publik Jawa Timur 2012-2016. Politikus Partai Gerindra, Elnino Husein Mohi, mengatakan Hardly dipilih karena berasal dari Indonesia timur.
Nama lain yang menjadi sorotan adalah Mayong Suryo Laksono. Mayong adalah suami Nurul Arifin, Ketua Partai Golkar. Sejak awal nama Mayong ditenteng sejumlah politikus Golkar tatkala melobi fraksi lain. Mayong sebelumnya wartawan tabloid Monitor, redaktur majalah Intisari, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Citra. Di dunia televisi, Mayong pernah menjadi produser acara berita Fokus Indosiar pada 1996-1997.
Tantowi Yahya mengakui Mayong adalah salah satu jagoan fraksinya. Hanya, menurut dia, Mayong menunjukkan performa bagus saat uji kelayakan dan kepatutan. Apalagi, kata Tantowi, Mayong memiliki rekam jejak yang baik di dunia media. ”Jadi tak terlalu sulit meyakinkan fraksi lain agar memilihnya,” ujar Tantowi.
Fraksi Partai Gerindra mendorong Agung Suprio, dosen Universitas Kristen Indonesia. Saat pemilihan presiden, Agung memberikan banyak pujian positif kepada Prabowo Subianto. Saat perolehan suara Partai Gerindra naik di parlemen, Direktur Sosialisasi dan Advokasi Center for Civil Military Studies ini mengatakan kenaikan itu karena faktor Prabowo. Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani mengakui partainya mendukung Agung. ”Itu salah satu,” kata Muzani.
Elnino Husein meminta komisioner terpilih menepis keraguan publik. Menurut dia, ada dua pekerjaan rumah menanti KPI periode ini. Pertama, perpanjangan izin sepuluh televisi swasta. Pekerjaan rumah berikutnya adalah keberanian KPI mengaudit permodalan televisi lokal berjaringan. ”Kami lihat apakah mereka nanti masuk angin atau tidak,” ujar Elnino. WAYAN AGUS PURNOMO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo