Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADRODIN Haiti tidak akan pernah melupakan Muhammad Basri alias Bagong. Orang kepercayaan Santoso yang lolos dari operasi penyergapan tim Operasi Tinombala II di pegunungan Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Senin petang pekan lalu, itu pernah memberikan kado penyambutan istimewa kepada Badrodin. Kado itu berupa teror bom termos beberapa jam setelah Badrodin resmi menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, 6 September 2006.
Teror bom tersebut terjadi di Desa Tangkura, Poso Pesisir Selatan, 24 kilometer dari Kota Poso. Peristiwa ini menewaskan Jhon Thobeli, warga Kristen asal Desa Sangginora, Poso Pesisir Selatan. Sebelumnya, Badrodin mengaku mendengar selentingan akan ada ”pesta sambutan” dari Basri pada hari ketika serah-terima jabatan Kepala Polda Sulawesi Tengah digelar. ”Ternyata informasi itu benar. Paginya serah-terima jabatan, siangnya ada bom,” kata mantan Kepala Kepolisian RI ini kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Badrodin menjadi Kepala Polda Sulawesi Tengah menggantikan Brigadir Jenderal Oegroseno. Awal menjabat, dia mendapat tugas khusus dari Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto untuk menangani kasus-kasus terorisme, kekerasan, dan pembunuhan di Poso. Saat itu, ada 29 nama yang masuk daftar pencarian orang (DPO) yang berkeliaran di Poso dan kerap membuat teror. Mereka menjadi buron setelah ditetapkan sebagai tersangka belasan kasus terorisme, kekerasan, dan pembunuhan di Poso. ”Basri ini panglima mereka yang setiap hari menebar teror bom dan penembakan,” ujar Badrodin.
Bukan hal mudah, kata Badrodin, menaklukkan Basri dan kelompoknya. Semula Badrodin menempuh upaya negosiasi melalui pendekatan tokoh masyarakat dan keluarga agar Basri mau menyerahkan diri dan keluar dari persembunyiannya di Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso. Namun upaya ini gagal. Badrodin akhirnya mengambil opsi berikutnya. Pada pagi hari, 22 Januari 2007, ia memimpin 600 polisi menyergap Basri dan kelompoknya di Tanah Runtuh dan perkampungan sekitar Kelurahan Gebang Rejo.
Basri melakukan perlawanan dibantu 300 anak buah dan orang di luar yang direkrut serta dipersenjatai senapan laras panjang dan pendek. Sempat terjadi perang kota selama delapan jam di kawasan tersebut sebelum polisi berhasil menguasai kawasan itu dan menangkap puluhan pengikut Basri. Dalam peristiwa tersebut, 16 pengikut Basri dan satu polisi tewas. ”Basri sendiri melarikan diri dalam kondisi tertembak,” ujar Badrodin.
Basri, dalam wawancara dengan Tempo pada Februari 2007, mengaku saat peristiwa perang kota di Tanah Runtuh tertembak di pinggang. Ia lalu dibawa lari dua buron lain ke bidan terdekat. Keesokan harinya, dengan kondisi pinggang masih diperban, ia menuju rumah Haikal, teman sesama buron, di Kayamanya, Kota Poso. Di rumah ini, pelariannya berakhir setelah petugas Detasemen 88 Antiteror Markas Besar Polri datang ke tempat itu dan langsung menembak. Basri kemudian bersembunyi di bawah tempat tidur di salah satu kamar. Ketika digeledah, ia tak berkutik. ”Saya menyerah, Pak.”
Kendati perbuatan pidananya di Poso, untuk alasan keamanan, Basri diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 11 Desember 2007, ia divonis 19 tahun penjara karena terbukti terlibat sejumlah kasus. Di antaranya penembakan Pendeta Susianti Tinulele pada 18 Juli 2004, mutilasi tiga siswi SMA Kristen Poso pada 29 Oktober 2005, dan perlawanan terhadap aparat kepolisian saat dibekuk pada 22 Januari 2007.
Pria kelahiran 1975 itu kemudian dibui di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ampana, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Belum genap enam tahun mendekam di sel, Basri melarikan diri dengan dalih menjenguk istrinya yang sedang sakit parah di Poso. Sejak itu, ia diburu polisi. ”Ada informasi ia kabur ke hutan Poso untuk bergabung dengan Santoso,” kata Badrodin. Ada versi lain: ia lebih dulu ke Bima dan menikah dengan Nurmi Usman, perempuan asli daerah itu. Selanjutnya, ia mengajak istrinya ke Poso untuk bergabung dengan Santoso alias Abu Wardah. Pada 2014, kelompok ini berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Sejak itu, Basri bersama Santoso dan 37 pengikutnya bergerilya di wilayah Gunung Biru, yang membentang dari kawasan Napu di Kabupaten Poso hingga Sausu di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, seluas 2.400 hektare. Hingga akhirnya, ia bersama Santoso dan tiga orang lain disergap tim Alfa 29 Batalion Infanteri Raider 515 Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat, yang tergabung dalam tim Operasi Tinombala II, di Desa Tambarana, Senin petang pekan lalu. Ketiga orang lain itu adalah Mukhtar, pengikut Santoso; istri Basir, Nurmi Usman; dan istri Santoso, Jumiatun Muslim. Dalam peristiwa ini, Santoso dan Mukhtar tewas. Basri dan dua perempuan itu melarikan diri.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengatakan Basri bisa menjadi ancaman baru karena menjadi orang kedua, setelah Santoso, di Mujahidin Indonesia Timur. Ia juga dianggap punya keahlian yang sama dengan Santoso dalam perang gerilya karena pernah sama-sama dilatih Daeng Koro.
Menurut Tito, Basri dan sisa-sisa kelompok Santoso yang bergerilya di hutan harus ditumpas habis. Upaya ini guna mencegah mereka berkembang demi mewujudkan Poso sebagai qoidah aminah atau surga bagi teroris untuk membangun kekuatan. Badrodin memiliki kekhawatiran yang sama. ”Dia bisa membangun kembali jaringan dengan Bahrun Naim, pentolan ISIS di Suriah,” ujarnya.
Arifuddin Lako, bekas terpidana terorisme di Poso, mengatakan Basri penerus kepemimpinan Santoso karena pengalaman dan reputasinya sudah teruji. Arifuddin adalah bekas pengikut Basri yang juga ikut dalam perang kota pada 2007 dan ketika itu masuk daftar 29 orang yang dicari polisi. Ia juga teman ngeband bareng Basri saat remaja. Sebelum kerusuhan Poso, Basri adalah gitaris Seledri Rock Band, kelompok musik yang selalu menjadi juara lomba band di Poso. Menurut dia, Basri sangat menyukai lagu-lagu dari band luar negeri, Genesis, serta dua band Tanah Air, Jamrud dan Boomerang.
Saat remaja, Basri menato tubuhnya dan kerap menenggak minuman keras, seperti Cap Tikus. ”Tapi, soal jihad, dia punya reputasi,” kata Arifuddin. Ketika ditanya Tempo, apakah ia menunaikan ibadah salat, Basri menjawab enteng, ”Enggak. Kerjaan saya minum dan mabuk-mabukan sampai pagi.” Ia mengaku melakukan teror karena anggota keluarganya dan orang Islam banyak dibunuh dalam kerusuhan Poso (majalah Tempo, 12 Februari 2007).
Tito Karnavian juga menyebut nama Ali Kalora sebagai orang yang harus diwaspadai sebagai calon pentolan Mujahidin Indonesia Timur, kendati Ali masih satu kelas di bawah Basri. Ali saat ini memimpin 15 pengikut Santoso dan masih berkeliaran di Gunung Biru, Poso. Ia memisahkan diri dari rombongan Santoso dan Basri. Karena menjadi orang kepercayaan Santoso, Ali diizinkan membawa istrinya bergerilya. ”Kalau dibiarkan, akan berkembang,” ujar Tito.
Badrodin mengatakan, sepanjang masih ada Basri, Ali Kalora tidak akan menjadi Amir Mujahidin Indonesia Timur menggantikan Santoso. Ali adalah pengikut loyal Basri. Dia juga ikut perang kota bersama polisi pada 2007 dan salah satu nama yang masuk daftar 29 orang yang dicari polisi bersama Basri. ”Sejak 2005, dia anak buah Basri,” ujarnya. Anton Aprianto, Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo