Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Terdorong Potensi Produk Lokal

Utilisasi pabrik minuman keras masih sekitar 50 persen.

3 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Produk alkohol lokal banyak yang berkualitas ekspor.

  • Nilai produk setempat akan ekonomis bila usaha minuman beralkohol berbentuk industri.

  • Selain untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, produk lokal bisa bertujuan untuk ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Besarnya potensi industri minuman beralkohol dari daerah menjadi pendorong pemerintah memberikan akses investasi baru bagi industri minuman keras lewat Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Itu sebabnya, aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja itu memasukkan ketentuan investasi minuman keras yang hanya diperbolehkan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan empat provinsi tersebut memiliki nilai kearifan lokal terhadap produk minuman beralkohol yang bisa dikembangkan. Minuman keras lokal jenis sopi di Nusa Tenggara Timur, misalnya, digunakan untuk kepentingan ritual adat dan budaya, juga untuk pengembangan ekonomi kreatif perajin minuman lokal.

"Tapi sekarang tidak bisa dimanfaatkan karena akhirnya dilarang," ujar Bahlil, kemarin. Padahal, menurut dia, kehadiran peraturan presiden itu bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengolah produk yang bisa diekspor.

Hal yang sama terjadi di Bali. Bahlil berujar, masyarakat Bali memiliki tradisi mengolah minuman beralkohol yang telah berlangsung turun-temurun. Produknya juga memiliki kualitas ekspor. Nilai produk masyarakat setempat itu akan ekonomis bila usaha pembuatan minuman beralkohol dibangun berbentuk industri. "Tapi, kalau dibangun sedikit-sedikit, apalagi dilarang, tidak mempunyai nilai ekonomi," kata Bahlil.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, menuturkan utilisasi industri minuman beralkohol nasional baru 51 persen. Padahal kapasitas yang saat ini terpasang mencapai 616 juta liter per tahun. Tertahannya utilisasi produk dipicu sifat peredaran barang yang dikendalikan dan sangat diawasi pemerintah.

"Padahal, kalau investasi dibuka, selain untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, harapannya lebih bertujuan untuk ekspor," ujar Edy.

Toko minuman beralkohol di pusat belanja di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menambahkan, sektor pariwisata memiliki segmen pasar dan kebutuhan yang berbeda-beda untuk produk minuman beralkohol. Sebab, sektor pariwisata tidak hanya menerima wisatawan lokal, tapi juga mancanegara. Kebutuhan tersebut, kata Maulana, tak sedikit dipenuhi dari produk impor.

"Pembukaan investasi industri minuman beralkohol bisa menciptakan lapangan kerja. Dari sisi lain, jika minuman beralkohol dan bahan baku ada di sini, tentu saja harganya bisa jadi lebih murah," ujar Yusran. Selama belum ada investasi, industri pariwisata akan tetap bergantung pada produk impor.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI), Ipung Nimpuno, menilai pemberian akses investasi industri minuman beralkohol bisa memberikan kepastian hukum bagi industri kecil di daerah. Selama ini, kata Ipung, pelaku industri kecil di wilayah empat provinsi itu masih berada di area abu-abu sehingga mudah sekali dijadikan sapi perah untuk pungutan liar.

"Industri baru tumbuh banyak di daerah. Mereka punya payung hukum dan kepastian hukum kalau daftar negatif investasi dibuka," ujar Ipung.

Ipung menambahkan, pembukaan akses industri lokal juga bisa menopang produksi khas daerah lewat sektor pariwisata. Hal itu bisa sekaligus mengkonversi konsumsi minuman beralkohol impor menjadi produk lokal. Menurut dia, investor juga bisa mengembangkan produksi untuk keperluan pasar Asia Tenggara. "Skema tersebut akan menguntungkan karena, dengan berinvestasi, mereka membuka lapangan kerja, mengkonversi produk impor jadi lokal, kemudian produk lebih murah juga," ujar Ipung.

LARISSA HUDA | GHOIDA RAHMAH | VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus