Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu pekan lalu, bertemu dengan 99 perwira tinggi TNI di markas besar TNI di Cilangkap. Dalam pertemuan itu, seperti dikatakan Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Presiden memberikan arahan agar TNI terus meningkatkan profesionalitas dan kapabilitasnya. ”Presiden juga meminta agar TNI mempertahankan loyalitas dengan menghindari keterlibatan politik praktis,” kata Sudi Silalahi.
Dalam pertemuan yang berlangsung tiga jam itu, Susilo Bambang Yudhoyono juga memaparkan empat kebijakan pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi, baik di bidang fiskal, moneter, investasi, maupun energi. Khusus kebijakan energi ini, Yudhoyono meminta TNI untuk membantu pengamanan dan penyaluran bahan bakar minyak (BBM). ”Langkah tersebut untuk menanggulangi kejahatan BBM,” kata Sudi.
Selain berbicara tentang kebijakan ekonomi, Yudhoyono juga menjelaskan kesepakatan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus lalu. Menurut Sudi, perwira TNI tidak ada yang mempersoalkan kesepakatan damai dengan GAM tersebut. Dalam pertemuan itu, hadir Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Widodo A.S., Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, dan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.
Hamid Mengaku Tak Menerima Dana ’Batil’
MENTERI Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin, membantah telah menerima dana taktis Rp 12 juta dari Komisi Pemilihan Umum. Menurut dia, kesaksian bendahara KPU Sri Ampani di ruang sidang pengadilan khusus tindak pidana korupsi Rabu dua pekan lalu itu tidak benar. ”Saya tidak menerima uang itu,” katanya kepada Tempo.
Perkara dana ”batil” itu muncul dalam sidang dengan tersangka Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin. Sri, yang menjadi saksi, bercerita bahwa Hamid menerima uang namun menolak meneken tanda terima. ”Pak Hamid menerima dana itu tapi tanda tangannya ditip-ex. Kata Ibu Sumiyanti (Kepala Bagian Gaji di Biro Keuangan KPU—Red), Pak Hamid tak mau teken karena dirinya sudah bukan lagi anggota KPU,” pengakuan Sri di depan hakim.
Cerita Sri Ampani berbeda dengan versi Hamid. Pada 6 Mei lalu, Sri menemui Hamid di kantornya di Kuningan, Jakarta. Wanita itu menyodorkan beberapa rangkap tanda terima untuk ditanda-tangani. Mengira itu berkas lama yang belum sempat dia teken, Hamid langsung membubuhkan tanda tangannya. Untung secara tak sengaja dia membaca tanggal transaksi: 8 November 2004.
Begitu tahu tanggal transaksinya, Hamid terkejut. ”Lho, saya kan sudah tidak di KPU saat itu,” katanya kepada Sri, seperti yang diceritakan orang dekat Hamid kepada Tempo. Hamid lalu minta tanda tangannya ditip-ex. ”Kalau saya teken, saya dan Anda (Sri) bisa dipenjara dua-duanya,” begitu ucapan Hamid kepada Sri saat itu. ”Bagaimana mungkin menerima uang pada tanggal itu, sementara saya sudah keluar dari KPU sejak 21 Oktober tahun lalu?” ujar Hamid kepada Tempo.
Cirebon Dilanda Campak
PEMERINTAH Daerah Kabupaten Cirebon pekan lalu menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) penyakit campak di wilayah itu. Penyebabnya, virus campak hingga pekan lalu telah menyerang 86 bayi dan merenggut nyawa Rafli, 14 bulan, yang terlambat mendapat pertolongan medis. Penyakit tersebut diketahui mulai berjangkit sejak Agustus lalu. ”Kami akan segera membahas langkah-langkah strategis untuk menanggulangi permasalahan ini,” ujar Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Haeria.
Menurut Haeria, sejauh ini campak telah menyerang enam kecamatan di wilayah itu, yakni Sumber, Winong, Klangenan, Plumbon, Astanjapura, Palaleman, Sedong, dan Cirebon Selatan. Penderita terbanyak terdapat di Desa Sampiran, Cirebon Selatan. Sejak pertengahan Agustus lalu, sudah 48 bayi di Sampiran positif terserang campak. Mula-mula 30 bayi terpaksa dirawat. Belakangan, Selasa lalu, para petugas kesehatan di Puskesmas Sampiran kembali menemukan 18 penderita lain.
Haeria mengatakan gizi buruk serta sanitasi yang jelek menjadi penyebab utama cepatnya penularan campak di sana. Sebenarnya, penularan wabah campak tak akan seburuk itu jika para bayi tersebut sudah mendapatkan imunisasi. Sayangnya, menurut dia, masih banyak anggota masyarakat Cirebon yang menolak bayinya diimunisasi.
DPR Minta Panglima TNI Diganti
PIMPINAN DPR RI mengirim sepucuk surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Isinya, mengingatkan Presiden agar segera mengganti Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. ”Saya khawatir karena kesibukan beliau, masalah penggantian Panglima TNI tidak tertangani. Makanya kita ingatkan,” ujar Ketua DPR RI Agung Laksono di Jakarta, pekan lalu.
Sebelum turun dari kursi presiden pada Oktober lalu, Megawati Soekarnoputri pernah bersurat kepada DPR agar menyetujui penggantian Endriartono dengan Jenderal Ryamizard Ryacudu. Tapi, hanya beberapa hari setelah dilantik, Yudhoyono membatalkan surat Mega. DPR beranggapan, rencana yang tertunda itu harus segera dilaksanakan. Menurut Agung, mereka menunggu nama-nama calon panglima selambat-lambatnya akhir bulan ini.
Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra membenarkan ada surat dari pimpinan DPR, dan itu sudah dia sampaikan ke Presiden. Namun, menurut Yusril, pemerintah baru akan membahas pergantian Panglima TNI setelah Presiden kembali dari kunjungan dua minggu ke Amerika Serikat dan Timur Tengah, yang dimulai sejak Sabtu pekan lalu.
Yusril memastikan calon panglima TNI pasti dipilih dari kepala staf angkatan atau mantan kepala staf angkatan yang masih aktif. Menurut sumber Tempo, ada dua kepala staf yang menjadi calon kuat: Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso dan Kepala Staf Angkat Udara Marsekal Djoko Suyanto. ”Kemungkinan besar Djoko Suyanto yang dipilih,” kata sumber itu.
Majelis PK Kasus Depok Terbentuk
MAHKAMAH Agung, Kamis pekan lalu, membentuk majelis peninjauan kembali (PK) kasus sengketa pemilihan Wali Kota Depok, Jawa Barat. Majelis PK itu berasal dari tim panel yang pernah dibentuk MA untuk memeriksa hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. ”Tim panel lebih tahu kasusnya,” kata Hakim Agung Gunanto Suryono.
Pembentukan majelis PK kasus Depok tersebut berdasarkan hasil rapat pimpinan MA. ”Rapat menerima permintaan PK dari KPUD Depok,” kata Gunanto. Alasannya, MA tidak boleh menolak perkara yang diajukan pemohon. Selain itu, selaku pengawas peradilan, MA tidak lepas tangan jika ada penyelewengan hukum. ”Konskuensinya, PK ini bisa menjadi preseden kasus serupa di masa datang,” kata Gunanto. Anehnya, Ketua MA Bagir Manan membantah bahwa Majelis PK sudah terbentuk. ”Hal itu masih dibicarakan,” katanya Jumat pekan lalu.
Kasus Depok bermula ketika KPUD Depok yang menetapkan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, pasangan dari Partai Keadilan Sejahtera, sebagai pemenang pemilihan Wali Kota Depok. Pesaingnya, pasangan Badrul Kamal-Syihabudin Ahmad dari Golkar, tidak puas dan mengajukan gugatan terhadap hasil pemilihan itu ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dalam gugatan ini, Badrul dimenangkan. Hakim menganulir kemenangan Nurmahmudi dan menetapkan Badrul sebagai Wali Kota Depok.
Putusan tersebut menimbulkan polemik politik, dan akhirnya MA membentuk tim panel untuk memeriksa putusan tersebut. Agustus lalu, tim panel MA menyatakan hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang memenangkan Badrul Kamal tidak profesional (unprofessional conduct) dan bertindak di luar kewenangannya.
Terdakwa Kasus Abepura Bebas
PROSES pengadilan pelaku pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di Abepura, Brigadir Jenderal Johny Wainal Usma, 49 tahun, berakhir Kamis pekan lalu. Pengadilan hak asasi manusia Makassar, Sulawesi Selatan, memutus Johny bebas dari semua tuntutan. Menurut ketua majelis hakim, Jalaluddin, tak ada bukti Johny melakukan pelanggaran di Abepura, Papua, seperti tuduhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Johny diseret ke pengadilan karena kasus Abepura pada 7 Desember 2000. Di markas kepolisian sektor setempat, sejumlah polisi menyiksa penduduk hingga menewaskan dua orang. Pemberi perintah adalah Johny, yang saat itu Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya, dan Komisaris Besar Polisi Daud Sihombing, Kepala Polisi Resor Jayapura. Keduanya marah karena pada pagi yang sama, sekelompok orang bersenjata menyatroni Polsek Abepura. Johny dan Daud menduga gerombolan itu bersembunyi di Abepura.
Merasa telah terjadi pelanggaran hak asasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia lalu membawa kasus ini ke pengadilan. Sidang pertama digelar pada Mei lalu. Vonis hakim pekan lalu ternyata mengecewakan. Para korban yang hadir di ruang sidang pun tak kuasa membendung emosi. ”Kami rakyat Papua diperlakukan tidak adil. Papua akan merdeka,” ujar Raga Putri Kogoya, salah satu korban, setelah beberapa kali jatuh pingsan.
Toh pengacara terdakwa dari Divisi Hukum Mabes Polri, Soeyitno, mendukung hakim. Menurut dia, pengadilan harus lebih dulu membuktikan ada bawahan yang telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi, sebelum memvonis bersalah Johny sebagai pemberi komando.
Di Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia menyayangkan vonis yang bertentangan dengan rasa keadilan itu. ”Korban adalah warga sipil yang merupakan korban kekerasan aparat,” tulis ketua organisasi ini, Jhonson Panjaitan, dalam siaran persnya.
Mengenang Munir, Menuntut BIN
MEMPERINGATI satu tahun meninggalnya aktivis hak asasi manusia, Munir, Rabu pekan lalu ratusan aktivis dari Kesatuan Aksi Solidaritas untuk Munir (KSAM) berunjuk rasa di depan kantor Badan Intelijen Negara (BIN) dan Istana Merdeka di Jakarta.
Dalam unjuk rasa itu, para aktivis mengecam BIN dengan membentangkan spanduk yang bertulisan ”Tangkap Dalang Pembunuh Munir, Bukan Bonekanya”. Saat unjuk rasa, Suciwati, istri Munir, menyatakan kekesalannya karena pemerintah lamban dalam mengungkap kematian suaminya itu. ”Saya yakin, Pollycarpus hanya boneka yang menjalankan perintah dalang,” kata Suciwati. Pollycarpus adalah pilot Garuda yang kini menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir. Kasusnya sedang disidangkan di pengadilan.
Puncak peringatan setahun kematian aktivis hak asasi Munir juga diisi dengan renungan malam di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Turut hadir anggota tim pencari fakta kasus Munir, dan para tokoh agama, di antaranya Frans Magnis Suseno. Dalam acara ini, para aktivis hak asasi juga mencanangkan hari terbunuhnya Munir sebagai Hari Pembela HAM.
Munir tewas dalam penerbangan GA 974 Garuda Indonesia rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, 7 September tahun lalu. Polisi Belanda memastikan, mantan Direktur Eksekutif Imparsial itu tewas karena racun arsenik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo