Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah manis Anissa Witjaksono bersinar cerah. Langkah kakinya ringan ke arah kerumunan siswa di depan salah satu kelas di SMA Labschool Jakarta. Kehadiran gadis berkacamata ini disambut hangat. Seorang teman putra langsung merebut jaket kuning berlogo Universitas Indonesia (UI) dari kempitannya. Tidak protes, dia langsung berbaur dan bercanda ria dengan kawan-kawannya. ”Rasanya saya masih pingin belajar di SMA lagi,” katanya, Rabu dua pekan lalu.
Dia merasa terlalu cepat meninggalkan SMA. Apalagi, teman-teman seangkatannya masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Kendati baru berusia 16 tahun, Anissa sudah menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Gadis berambut sebahu ini lulus lebih dulu karena mengikuti program percepatan belajar alias akselerasi.
Adanya program akselerasi membuat siswa yang bernasib baik seperti Anissa semakin banyak. Bahkan belakangan ada siswa yang bisa masuk universitas dalam usia 14 tahun. Inilah yang dialami Adian Muhamad al-Raisuli yang tahun ini diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Anak pasangan Agustian Purnama dan Intan Permani Safitri itu sebelumnya menjalani dua kali program akselerasi. Setelah masuk kelas percepatan di SMP Labschool Kebayoran, Jakarta, ia juga masuk kelas akselerasi di SMA Al-Azhar, Pejaten, Jakarta. Walau masih belia, Adian merasa tidak ada hambatan kuliah di ITB. ”Hanya canggung saja, tapi saya enggak minder,” ujarnya.
Kelas akselerasi memang sudah banyak di Jakarta. Jumlah sekolah yang menyelenggarakannya mencapai 28, terdiri dari 5 SD, 12 SMP, dan 11 SMA. Di antara sekolah-sekolah yang merintisnya adalah SMA Al-Azhar dan SMA Labschool Jakarta di Rawamangun, Jakarta Timur.
SMA Labschool telah membuka kelas percepatan sejak tujuh tahun lalu. Dari sekitar 250 siswa yang diterima setiap tahun, hanya belasan yang bisa masuk kelas akselerasi. Jika dihitung-hitung, hingga sekarang kelas ini telah meluluskan 108 siswa dan semuanya diterima di perguruan tinggi negeri. ”Bahkan ada siswa dari kelas itu yang diterima di perguruan tinggi di luar negeri,” ujar Ulya Latifah, Kepala Sekolah SMA Labschool Jakarta.
Di kelas akselerasi, siswa belajar dengan materi yang dipadatkan. Jadwal belajarnya pun khusus. Satu semester hanya makan waktu tiga bulan. Cara mengajarnya juga berbeda dengan kelas biasa. Ambil contoh pelajaran matematika. Jika di kelas reguler guru masih memberikan contoh soal, pada kelas akselerasi siswa diminta memperdalam sendiri. Hal itu pula yang dialami oleh Anissa sehingga hanya memerlukan waktu dua tahun belajar di SMA.
Direktur Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional, Zamroni, mengungkapkan, kelas akselerasi muncul karena adanya kemampuan yang berbeda pada siswa. Ada kelompok anak yang amat cerdas dibanding anak-anak lainnya sehingga perlu dididik secara khusus. Kini program percepatan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak semua sekolah di Indonesia bisa menyelenggarakan kelas akselerasi. Selain mesti memiliki anak-anak yang cerdas, sekolah harus mempunyai fasilitas yang lengkap. Guru-gurunya pun minimal lulusan strata satu dan mengajar sesuai dengan bidangnya. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan mengenai kelas akselerasi diatur oleh masing-masing provinsi. ”Biasanya, sekolah selalu berkoordinasi dengan dinas pendidikan,” ujar Yusmaryadi, juru bicara Departemen Pendidikan Nasional.
Jawa Barat termasuk provinsi yang telah membuka kelas akselerasi. Program ini digelar antara lain di SMA Negeri III Sukabumi, Jawa Barat. Diselenggarakan sejak tiga tahun lalu, sekolah ini setiap tahun menerima 25-30 siswa untuk kelas akselerasi atau sekitar 7 persen dari keseluruhan siswanya. ”Yang masuk ke kelas itu adalah siswa yang mempunyai kemampuan akademik di atas rata-rata siswa reguler,” ujar Mohammad Effendy, Kepala SMA 3 Sukabumi.
Umumnya anak-anak yang masuk kelas akselerasi memiliki IQ di atas 125. Mereka juga punya prestasi akademis yang baik, nilainya tak boleh kurang dari 8, dan ditunjang dengan stabilitas emosi dan komitmen yang bagus dalam menjalani tugas.
Guru-gurunya pun tidak sembarangan. Asep Burdah, guru kimia di SMA Negeri III Sukabumi, mengatakan, mereka harus memiliki kemampuan lebih dibanding guru kelas reguler. ”Yang utama, guru itu harus stabil secara emosional,” ujarnya. Soalnya, siswa akselerasi cepat bereaksi jika gurunya tidak cocok baginya, apalagi jika cepat marah atau galak.
Selama ini program akselerasi di SMA Negeri III Sukabumi telah berjalan baik. Semua lulusannya diterima di perguruan tinggi negeri. Salah satunya Riana Helmi, yang diterima di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, tahun ini. ”Dia lulus dalam usia 14 tahun karena sejak SD hingga SMA ikut kelas akselerasi,” kata Effendy.
Sampai saat ini, pemerintah belum melakukan evaluasi menyeluruh atas program kelas akselerasi. Menurut pengamatan Zamroni, program ini cukup berhasil dan mampu memenuhi keinginan masyarakat. Buktinya, banyak lulusannya yang diterima di perguruan tinggi negeri.
Lis Yuliawati, Deden Abdul Azis (Sukabumi), Endang Purwanti (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo