Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari pada 1924. Sejumlah pedagang Belanda dari perusahaan Jacobson Borsumij, Semarang, Jawa Tengah, mendatangi rumah Yap Yoe Dhiam, pedagang Hindia Belanda keturunan Tiong-hoa, di Madiun, Jawa Timur, untuk melakukan perundingan dagang. Saat masuk ke rumah, para pedagang itu tak mau membuka topi. Mereka juga duduk dengan mengangkat kaki dan meletakkannya di atas meja.
Yap Yoe Dhiam tak ambil pusing dengan sikap itu lantaran menganggapnya sebagai cara orang Belanda menunjukkan diri bahwa mereka penguasa Hindia Belanda. Tapi sang anak, Yap Tjwan Bing, berbeda reaksi. Yap remaja, yang saat itu berusia 14 tahun, tersinggung melihat sikap arogan tersebut. Ia lantas membuka topi para pedagang itu dan menurunkan kaki mereka dari atas meja. “Mereka terkejut melihat tindakan saya, namun saya sendiri tetap tenang,” kata Yap Tjwan Bing dalam otobiografinya, Yap Tjwan Bing: Meretas Jalan Kemerdekaan, Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan, yang terbit pada 1988.
Tindakan Yap remaja itu sebagai protes terhadap penjajahan Belanda. Ia menganggap penjajahan membuat rakyat Hindia Belanda selalu hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Apalagi diskriminasi sosial kerap ditunjukkan pemerintah kolonial dan orang-orang Belanda terhadap penduduk pribumi dan warga pendatang di Hindia Belanda. Perasaan sebagai orang yang tertindas di bawah penguasa kolonial Belanda juga dirasakan Yap kendati ia bukan pribumi asli, melainkan warga keturunan Tionghoa di Hindia Belanda.
Yap Tjwan Bing lahir di Slompretan, Solo, Jawa Tengah, pada 31 Oktober 1910. Kini wilayah Slompretan telah berubah menjadi Pasar Klewer, pasar tekstil terbesar di Solo yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta. Tempo mencoba menelusuri rumah masa kecil Yap di sekitar Pasar Klewer. Tapi jejaknya tak tersisa. Tokoh masyarakat Solo, Sumartono Hadinoto, justru meyakini keluarga tersebut tinggal di sekitar kawasan Coyudan, wilayah permukiman di sebelah barat Pasar Klewer. “Pada masa lalu, kawasan itu banyak ditinggali warga dari etnis Tionghoa,” ujarnya.
Lahir dari pasangan suami-istri Yap Yoe Dhiam dan Tan Tien Nio, Yap Tjwan Bing memiliki empat saudara kandung, yakni Yap Giok Nio, Yap Swan Nio, Yap Tjoen Sing, dan Yap Tjoen Hoei. Ayahnya yang pedagang telah memperkenalkan tata cara berdagang kepada dia dan saudara-saudaranya sejak kecil. Aktivitas berdagang kemudian membuat keluarga itu mengenal kebutuhan dan tata cara hidup masyarakat di Hindia Belanda. “Dengan demikian, saya dapat memahami keinginan masyarakat yang hidup di bawah penindasan pemerintah penjajahan,” ucap Yap Tjwan Bing.
Rapat Perhimpunan Indonesia di Den Haag pada 1929/KITLV, Koleksi Perpustakaan Nasional
Saat berusia 7 tahun, Yap tinggal bersama keluarga Belanda bernama Kilian untuk belajar bahasa Belanda dan bersekolah di Hollandsch-Chineesche School (HCS) Kristen di Glembegan, Solo. Setahun kemudian, ia ikut keluarganya pindah ke Madiun. Yap melanjutkan pendidikan di Institute KOOT, sekolah dasar partikelir di Madiun. Tapi ia menganggap mutu sekolah itu kurang baik dibanding sekolah swasta lain. Lalu Yap muda pindah ke Tweede Europeesche School, sekolah kelas dua untuk orang Eropa dan anak orang terpandang di Hindia Belanda. Ia satu-satunya murid dari golongan Tionghoa. Di sekolah itu, Yap belajar mengenal dan bergaul dengan teman-teman berkebangsaan Belanda. “Saya melihat mereka seperti manusia biasa dan tidak ada keistimewaannya,” kata Yap.
Dari Tweede Europeesche School, Yap meneruskan studinya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, di Madiun. Lulus MULO pada 1928, ia berniat melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool (HBS), sekolah menengah atas untuk orang Belanda, Eropa, dan elite pribumi pada masa kolonial. Tapi Yap tak bisa masuk HBS lantaran ia bukan berasal dari keluarga ambtenaar—pegawai atau pamong praja—dengan pangkat mayor atau kapten dari golongan Tionghoa. Kenyataan pahit itu membawa kesan yang mendalam bagi Yap muda. “Saya mulai merasakan adanya diskriminasi sosial terhadap bangsa Indonesia dan golongan Cina,” ujarnya.
Lalu Yap memilih masuk ke Algemene Middelbare School (AMS), sekolah menengah atas untuk pribumi pada masa penjajahan Belanda, di Malang, Jawa Timur. Ia masuk ke AMS-B atau AMS afdeeling B yang khusus untuk jurusan ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam. Ketika Yap bersekolah di AMS-B, ayahnya mengalami kerugian besar dalam berdagang sehingga tidak bisa membiayai pendidikannya. Toh, ia bisa melanjutkan dan menyelesaikan tiga tahun masa studi di AMS-B lantaran mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial Belanda.
Sejak tinggal di Madiun, Yap sudah gemar berolahraga, antara lain sepak bola, tenis, angkat besi, dan bela diri kungfu. Hobi itu ia teruskan saat bersekolah di AMS-B. Di sana, ia menjadi anggota perhimpunan sepak bola Hak Sing Hwee dan bermain sebagai gelandang kanan. Perhimpunan itu kerap menjadi juara dalam setiap pertandingan di Malang. Hak Sing Hwee juga menjalin hubungan baik dengan perhimpunan sepak bola Arjuna, yang para pemainnya adalah pribumi asli Indonesia. “Ayah saya memang rajin bermain sepak bola,” ucap Yap Gwat Lee alias Dewi, 77 tahun, anak bungsu Yap Tjwan Bing.
Yap kemudian pindah dari AMS-B Malang ke AMS-B di Batavia—sekarang Jakarta. Langkah itu dilakukan lantaran keluarganya pindah rumah dari Madiun ke Garut, Jawa Barat. Di Batavia, ia tinggal di rumah seorang sahabat. Menurut Yap, penerangan rumah itu hanya 30 watt, sehingga tak cukup terang untuk membaca. Kesulitan ekonomi yang masih mengimpit keluarganya membuat Yap berjualan parfum Eau de Cologne setiap Ahad untuk menutup biaya hidup dan sekolah. Periode itu ia rasakan sebagai masa yang sangat sengsara. “Kalau kita tidak mempunyai tekad yang kuat untuk melanjutkan sekolah, sudah dipastikan kita akan gagal,” -katanya.
Setelah kehidupan keluarganya membaik, Yap pindah ke asrama Kristen di Jalan Kramat Raya. Di situ ia mulai dapat belajar dengan baik. Di situ pula ia berkenalan dengan Amir Sjarifuddin, yang kala itu sedang kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Batavia. Kelak Amir menduduki sejumlah posisi penting dalam pemerintahan Indonesia, yakni menteri penerangan (1945-1946), menteri pertahanan (1945-1948), dan perdana menteri (1947-1948). Amir tewas ditembak lantaran diduga terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948.'
Lulus dari AMS-B Batavia pada 1932, Yap Tjwan Bing kemudian mendapat kesempatan melanjutkan studi ke jurusan matematika dan fisika Fakultas Farmasi Universiteit van Amsterdam. Bagi dia, kesempatan itu ibarat mimpi yang menjadi kenyataan. Latar belakangnya adalah rasa simpati Yap terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin Sukarno dan Mohammad Hatta. Sejak berusia 18 tahun, ia telah menaruh simpati itu. Tapi, lantaran usianya masih muda, Yap tak bergabung dengan partai politik di Hindia Belanda. Ia juga menyadari pengetahuannya tentang politik belum banyak. Ini tak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial yang melarang buku politik dan buku perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia di Hindia Belanda.
Situasi itu membuat Yap muda berangan-angan melanjutkan sekolah di salah satu universitas di Belanda. Harapannya, ia bisa banyak membaca buku politik di sana untuk menambah pengetahuan. “Angan-angan saya ini akhirnya terwujud,” ujar Yap. Sebelum berangkat ke Belanda, ia menikahi perempuan keturunan Tionghoa, Tjien Giok Yap, pada Juni 1932. Mereka dikaruniai dua anak. Selain Yap Gwat Lee, ada seorang putra bernama Yap Siong Hoei, yang belakangan menderita poliomyelitis. Dalam perjalanan, Yap Tjwan Bing selalu mendapat dorongan dari istrinya untuk aktif bergiat di bidang politik, sosial, kegerejaan, dan pendidikan. “Saya tidak akan mendapat kemajuan dalam empat bidang pergerakan itu seandainya tidak mendapat bantuan dari istri saya.”
Pria Slompretan di Pusaran Politik
Saat genap satu tahun kuliah di Belanda, Yap dipilih teman-temannya menjadi ketua kelas. Ia satu-satunya ketua kelas dari golongan Tionghoa Indonesia di sana. Ia juga aktif menjadi anggota pengurus perhimpunan mahasiswa farmasi, Luctor Et Emergo, di Amsterdam. Selama tinggal di Belanda, ia melihat orang-orang di negara itu sangat baik dan ramah. “Berbeda sekali dengan orang-orang Belanda di Indonesia,” ucapnya.
Semasa kuliah, Yap yang mahasiswa farmasi itu juga berusaha sebanyak mungkin membaca buku politik dengan berbagai bahasa, dari Belanda, Inggris, Jerman, hingga Prancis. Mahasiswa asal Hindia Belanda—termasuk Yap—memang memiliki kesempatan yang luas dan terbuka untuk membaca buku-buku politik di Belanda. Mereka juga lebih bebas memperdalam ilmu politik, mengeluarkan pendapat, memperjuangkan kemerdekaan, dan terlibat dalam politik praktis tanpa ancaman hukuman.
Atmosfer kebebasan di Belanda kemudian mengantarkan Yap mengenal Mohammad Hatta, yang kala itu kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam. Hatta aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Belanda. Dalam upayanya itu, ia mendapat dukungan penuh dari mahasiswa pribumi Hindia Belanda dan keturunan Tionghoa. Hatta juga aktif dalam Perhimpunan Hindia atau Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging), organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda. Ia menjadi ketua organisasi itu pada 1926-1930. Belakangan, Hatta, bersama Sukarno, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Selain mengenal Hatta, Yap Tjwan Bing mengenal sejumlah mahasiswa asal Hindia Belanda yang aktif memperjuangkan kemerdekaan, antara lain Kusumo Utojo, Tjoa Sek Ien, Kwee Tien Lan, Abdul Madjid, dan Ie King Hing. Dari mereka, calon apoteker itu banyak mendapat bimbingan dalam memperdalam ilmu politik. Yap kerap ikut dalam persidangan mahasiswa asal Hindia Belanda yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan ia mendapat kesempatan menghadiri sidang-sidang partai politik di Belanda yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Hindia Belanda.
Yap bisa menyelesaikan kuliahnya dalam enam setengah tahun, dari waktu belajar normal tujuh-sembilan tahun. Pada 1939, ia resmi bergelar doktorandus. Mulanya Yap ingin melanjutkan studi di Belanda untuk mendapat gelar doktor ilmu mikrobiologi. Tapi niat itu ia urungkan lantaran kapal SS Baluran milik perusahaan perkapalan Rotterdamsche Lloyd akan segera berangkat ke Hindia Belanda. Kapal itu menjadi yang terakhir berangkat ke Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II meletus di Eropa. Yap memilih ikut pulang dengan menumpang kapal itu agar segera bisa menemui istrinya ketimbang terjebak dalam perang di daratan Eropa.
Sekembali dari Belanda, Yap tinggal di Bandung. Ia bekerja sebagai apoteker di Apotek Suniaraja, Jalan Pasar Baru, Bandung, lalu menjadi direktur di sana. Kemudian apotek itu bermerger dengan Apotek Cikakak milik tiga Tionghoa bersaudara, yakni Ong Gek Lian, Tan Tjong Kheng, dan Tan Gek Hok. Yap diangkat menjadi direktur apotek merger tersebut. Kendati berprofesi sebagai apoteker, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap politik dan perjuangan kemerdekaan. Belakangan, sang apoteker terjun ke arena politik di bawah bimbingan Sartono, salah seorang tokoh terkemuka Partai Nasional Indonesia (PNI). “Yap Tjwan Bing sudah bergaul dengan anggota PNI sebelum meletus Perang Dunia II. Ia berteman juga dengan Sartono,” kata Leo Suryadinata, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institue, Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo