Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Politik Ali Baba di Tanah Jawa

Dari pengusaha farmasi, Yap mengawali karier politiknya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Mendobrak tabu peranakan di Partai Nasional Indonesia.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buku Meretas Jalan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSAMA seratusan pemuda Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Yap Tjwan Bing datang ke Gedung Komedi di Pasar Baru. Malam itu, 29 Agustus 1945, pria kelahiran Slompretan, Solo, tersebut hendak mendengarkan pidato Sukarno. Mereka berbondong-bondong memadati Gedung Komedi, yang kini menjadi Gedung Kesenian Jakarta. Barisan Pelopor—sayap pemuda Jawa Hokokai—menjaga rapat pintu gedung.

Tak lama setelah pukul sembilan malam, Sukarno dan Mohammad Hatta, yang baru dua pekan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, tiba di sana. Lagu Indonesia Raya pun berkumandang, dinyanyikan semua yang -datang.


 

Bagi Yap, Sartono adalah guru politiknya. Priayi Mangkunegaran itu kebetulan pernah sama-sama mengenyam pendidikan di Belanda. Yap kuliah di Amsterdam, sementara Sartono kuliah hukum di Leiden dan lulus pada 1925. Saat kuliah di Belanda itulah Yap mengunyah buku-buku politik. Dia juga ikut persidangan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda yang memperjuangkan kemerdekaan. “Berdasarkan pengalaman ini, saya menceburkan diri ke arena politik di bawah bimbingan Sartono,” ujar Yap dalam otobiografinya.

 


Sukarno lalu menyampaikan pidatonya. Menurut dia, sebelum ada majelis permusyawaratan rakyat dan majelis perwakilan rakyat, kekuasaan di tangan presiden. Itulah yang disebut masa peralihan. “Saya sangat bergirang hati, Komite Nasional Pusat sekarang bisa berkumpul,” Sukarno menambahkan, seperti dikutip harian Asia Raya edisi 30 Agustus 1945, koran bentukan Jepang. “Kini Komite Nasional telah tersusun. Bangsa Indonesia bisa mewujudkan persatuan yang sebulat-bulatnya.”

Selepas pidato, Sukarno-Hatta meninggalkan ruangan. Sebanyak 137 anggota KNIP melanjutkan rapat untuk memilih ketua dan wakil ketua, lalu mengucap janji setia. Yap Tjwan Bing, saat itu berusia 34 tahun, ikut rapat sampai tuntas.

Menurut otobiografinya, Meretas Jalan Kemerdekaan, yang terbit pada 1988, Yap diangkat menjadi anggota KNIP—cikal-bakal parlemen—pada malam itu. Seperti di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sang apoteker mewakili kelompok Tionghoa. Sementara di PPKI Yap sendiri yang mewakili kelompok Tionghoa, di KNIP dia berduet dengan Siauw Giok Tjhan. “Kami berdua diangkat menjadi anggota KNIP sebagai wakil dari golongan minoritas,” kata Yap.

Yap masih bermukim di Bandung ketika dilantik menjadi anggota KNIP. Ia kemudian pindah ke Yogyakarta saat ibu kota boyongan ke tanah Sultan. Sembari menjadi anggota KNIP, Yap membuka apotek di Jalan Malioboro, persis di seberang kantor KNIP. Dalam catatan sejarah, KNIP -menempati kantor tersebut sepanjang 1948-1950.

Yap menjalin hubungan dengan sejumlah partai politik demi menyokong republik baru. Pria yang pernah kuliah di Belanda ini menghimpun sokongan kelompok Tionghoa dari Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya, Kediri, Salatiga, Parakan, Magelang, dan daerah lain.

Lulusan farmasi ini kerap menerima tamu Tionghoa selama tinggal di -Yogyakarta. Yap mengingat, tetamu dari golongan Tionghoa itu selalu menanyakan bagaimana mereka bisa membantu Republik.

Menjawab pertanyaan tetamunya itu, Yap menyodorkan dua opsi. Pertama, menjadi serdadu di medan pertempuran. Satu lagi di belakang medan tempur dengan melancarkan perekonomian. Yap meminta mereka memilih jalan yang -kedua.

Kepindahan ke Yogyakarta juga yang membuat Yap makin dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sartono yang mula-mula mengajak Yap ikut rapat-rapat PNI. Dari situ, Yap mengenal Sarmidi Mangunsarkoro dan Sidik Djojosukarto. Tiga serangkai pentolan PNI itu juga sempat menginap di rumah Yap di Jalan Cipaganti 23, Bandung.

Bagi Yap, Sartono adalah guru politiknya. Priayi Mangkunegaran itu kebetulan pernah sama-sama mengenyam pendidikan di Belanda. Yap kuliah di Amsterdam, sementara Sartono kuliah hukum di Leiden dan lulus pada 1925. Saat kuliah di Belanda itulah Yap mengunyah buku-buku politik. Dia juga ikut persidangan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda yang memperjuangkan kemerdekaan. “Berdasarkan pengalaman ini, saya menceburkan diri ke arena politik di bawah bimbingan Sartono,” ujar Yap dalam otobiografinya.

Anak kedua Yap, Yap Gwat Lee alias Dewi, mengaku tak tahu banyak karier politik ayahnya, baik di parlemen maupun PNI. Dewi, yang lahir pada 1942, masih kecil ketika orang-orang penting republik kerap berkunjung ke rumahnya di Bandung. “Tapi dia terus-menerus berhubungan dengan Tony Wen dan Dr Tjoa Sik Ien sebelum sekolah ke Belanda,” kata Dewi dengan bahasa Indonesia campur Inggris lewat sambungan telepon, Rabu, 7 Agustus lalu. “Hanya itu yang dia ceritakan kepada saya.”

Menurut Dewi, Tjoa Sik Ien belakangan menjadi perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adapun Dewi, 77 tahun, kini tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat.

Setelah pindah ke Jakarta, Yap diangkat menjadi anggota dewan pimpinan partai di bawah Ketua Umum Sidik Djojosukarto. Dewan pimpinan partai menunjuk Yap mengepalai bidang ekonomi. Ia menolak. “Tapi penolakan saya tidak dapat diterima,” ucap Yap.

Dari posisi itulah konflik kepentingan Yap bermula. Yap adalah seorang Tiong-hoa, pengusaha farmasi, pemilik pabrik pastiles, dan tokoh yang dihormati di kelompoknya.

Ketika dewan pimpinan partai mendiskusikan perkara nivellering, yakni redistribusi pendapatan dan kekayaan antara pribumi dan nonpribumi, Yap terjepit antara kepentingan kelompok dan kepentingan partai. “Saya merasakan konflik kepentingan di dalam diri saya mulai menjadi kenyataan,” ujarnya.

Akhirnya Yap mengusulkan partai tetap mengusung nivellering di sektor perdagangan antara pribumi dan nonpribumi. Caranya: perdagangan dan perekonomian pribumi dinaikkan lebih cepat, sementara perekonomian nonpribumi diperlambat. Dengan begitu, akan ada pertemuan di level yang sama antara pribumi dan nonpribumi.

PNI menerima usul itu. Menteri Perekonomian saat itu, Iskak Tjokroadisurjo (1953-1955), politikus PNI dan sahabat Yap, menerjemahkan usul Yap menjadi Sistem Ekonomi Ali Baba. Maksudnya, penggalangan kerja sama pengusaha pribumi alias Ali dan pengusaha Tionghoa alias Baba.

Muhammad Amsal Sahban dalam bukunya yang terbit pada 2018, Kolaborasi Pembangunan Ekonomi di Negara Berkembang, menyebutkan program Ali Baba itu berupa pengusaha Tionghoa wajib melatih pengusaha pribumi. Pemerintah juga menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Sayang, program itu tak mampu melahirkan pengusaha nasional swasta jempolan.

Bukannya bergabung atau mendirikan partai berbasis Tionghoa, Yap tetap bergabung dengan PNI, partai yang diakuinya sangat “Jawa”. Yap mengakui dia bisa diterima di PNI karena lahir di Jawa dan fasih berbahasa Jawa. “Meskipun saya warga negara Republik Indonesia keturunan Cina,” kata Yap dalam buku -otobiografinya.

Yap Tjwan Bing (keempat dari kanan) pada 1940-an/Arsip Nasional Republik Indonesia

Yap bisa masuk PNI karena haluan partai itu telah berubah setelah Proklamasi. Leo Suryadinata dalam artikel yang berjudul “Pre-War Indonesian Nationalism and The Peranakan Chinese” di Jurnal Indonesia terbitan Cornell University, New York, Amerika Serikat, menyebutkan PNI sebelum Proklamasi alias PNI 1927—merujuk pada tahun pendirian partai oleh Sukarno—jelas mencantumkan bahwa yang bisa menjadi anggota partai hanyalah orang Indonesia “asli”. Sementara itu, orang-orang bangsa Asia lain hanya dapat menjadi anggota asosiasi.

Haluan itu berubah setelah Proklamasi, ketika PNI lahir kembali di Kediri, Jawa Timur, pada 1946. Pakar sejarah PNI, J. Eliseo Rocamora, dalam artikelnya, “The Partai Nasional Indonesia, 1963-1965”, di jurnal yang sama menuliskan kiblat partai makin “nasional radikal” sejak tiga serangkai Sartono, Sidik Djojosukarto, dan Sarmidi Mangunsarkoro mendominasi partai.

Pilihan Yap masuk PNI itu membuat dia bertahan lama di pentas politik nasional. Ketika KNIP berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat pada 15 Februari 1950, Yap mewakili kelompok Tionghoa. Namun, ketika parlemen berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara pada 17 Agustus 1950 (1950-1956), Yap beralih menjadi anggota Dewan mewakili PNI. “Mula-mula saya duduk di seksi kehakiman mewakili fraksi PNI,” ujar Yap.

Lantaran kurang cocok, Yap minta -pindah ke seksi keuangan. Adapun -Sartono, guru politik Yap, menjadi Ketua DPR.

Yap juga mengaku pernah ditawari menjadi menteri oleh Sidik, Ketua Umum PNI saat itu. Namun, atas masukan sang istri, Yap menolak. Ia memilih tetap di parlemen. “Di legislatif, saya masih punya waktu sebagai anggota dewan pimpinan partai,” katanya.

Berkat keanggotaannya di PNI dan di parlemen itulah Yap tetap bisa berkomunikasi beberapa kali dengan Sukarno, presiden sekaligus pemimpin kehormatan PNI setelah Proklamasi.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus