Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKIK “merdeka” bersahutan di pelbagai penjuru Kota Bandung. Kabar pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno-Mohammad Hatta sampai ke Kota Kembang, Jumat siang, 17 Agustus 1945. Yap Tjwan Bing, dalam buku Meretas Jalan Kemerdekaan, menggambarkan wajah semua orang yang ia temui di sana begitu sumringah.
Yap merayakan kemerdekaan dengan sebotol sampanye di rumahnya di Jalan Naripan Nomor 31, Bandung, malam harinya. Ia mengajak teman-temannya, seperti Abdul Haris Nasution, yang kala itu dikenal sebagai tokoh di Barisan Pelopor; Kepala Polisi Parahyangan RM Soeparto; Direktur Bank Bumi Putera Gondo Kusumo; dan dokter Erwin. “Kami gembira karena Indonesia akhirnya merdeka,” begitu Yap menulis di bukunya yang terbit pada 1988 itu.
Perayaan kemerdekaan tak berlangsung lama. Sekitar pukul 23.00, Yap menerima panggilan telepon dari seorang koleganya di Jakarta. Ia diminta menghadiri rapat perdana Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Gedung Pejambon—kini Gedung Pancasila, bagian dari kantor Kementerian Luar Negeri—pukul 11.00, Sabtu, 18 Agustus 1945. Agenda rapat sangat penting: pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Yap pergi ke Jakarta bersama RM Soeparto. Dia anggota termuda di PPKI karena usianya baru 34 tahun dan satu-satunya perwakilan peranakan Tionghoa. Koran Asia Raya yang terbit pada 15 Agustus 1945 mencatat Yap Tjwan Bing sebagai perwakilan PPKI dari Pulau Jawa. Ia merasa terhormat bisa bergabung dengan PPKI. “Dia bisa bergabung ke PPKI karena kedekatan dengan Bung Karno dan Hatta,” kata Leo Suryadinata, peneliti -ISEAS--Yusof Ishak Institute, Singapura, Senin, 5 Agustus lalu.
PPKI beranggotakan 27 tokoh pergerakan lintas agama, suku, dan etnis. Lembaga ini dipimpin Sukarno, yang saat itu berusia 44 tahun, dan Wakil Ketua Mohammad Hatta, 43 tahun. Jepang membentuk PPKI atau Dokuritsu Junbi Inkai pada 7 Agustus 1945. Jepang kala itu tengah terdesak menghadapi sekutu pimpinan Amerika Serikat dan berjanji memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Sebelumnya, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai pada 29 April 1945, persis di hari kelahiran Kaisar Hirohito. BPUPKI bertugas menyiapkan fondasi, seperti ketatanegaraan dan konsep undang-undang dasar, untuk kemerdekaan Indonesia. Badan itu dibubarkan ketika PPKI terbentuk.
Oei Tjong Hauw, Ketua Chung Hua Hui, partai dan komunitas kaum peranakan yang dibentuk pada 1928, sempat menyebut nama Yap Tjwan Bing di sidang BPUPKI. Ia ketika itu tengah berpidato soal tingginya rasa nasionalisme warga Tionghoa di Indonesia. “Saudara Yap Tjwan Bing mengemukakan, jika ada seorang yang berbuat salah, jangan (suku) bangsanya dipersalahkan,” kata Oei seperti dikutip dalam risalah sidang BPUPKI.
Yap Tjwan Bing menyampaikan pendapatnya itu saat berpidato di sidang Chuo Sangi Iin atau Tyuoo Sangiin kedelapan di Jakarta. Ia menjadi anggota lembaga itu. Pidato Yap dimuat di koran Kung Yung Pao pada 22 Juni 1945. Chuo Sangi Iin adalah lembaga setingkat Dewan Pertimbangan Pusat bentukan Jepang untuk mengakomodasi kaum intelektual Indonesia.
Yap menjadi anggota Chuo Sangi Iin karena aktif dalam berbagai organisasi sejak mahasiswa. Di Indonesia, ia sempat berlabuh di Partai Nasional Indonesia (PNI). “Ayah saya memang sangat aktif berorganisasi,” ujar anak Yap, Yap Gwat Lee alias Dewi, 77 tahun. Dewi menetap di California dan menjadi warga negara Amerika Serikat mengikuti sang ayah.
Dewi mengingat ayahnya sering menerima tamu dari berbagai tokoh. Belakangan, ia baru mengetahui para tamu itu tokoh pergerakan nasional. “Ayah juga bersama dokter Setiabudi (dokter Danudir-dja Setiabudi alias Douwes Dekker) berjuang demi kemerdekaan Indonesia,” kata Dewi.
Yap bergabung dengan PNI karena tertarik pada asas partai itu yang berorientasi nasionalisme dan kerakyatan dengan Marhaenisme ala Sukarno. “Yap Tjwan Bing dekat dengan Sukarno sejak di PNI,” ucap Leo.
Dari PPKI, karier politik Yap mulai menanjak. Ia kemudian bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah berakhirnya masa tugas PPKI. Sejak itu, Yap mulai dikenal sebagai tokoh pergerakan hingga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari kalangan peranakan.
Yap Tjwan Bing (keempat dari kanan) pada 1940-an/Arsip Nasional Republik Indonesia
TIBA di Gedung Pejambon pada Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, Yap Tjwan Bing segera berbaur dengan anggota PPKI yang lain untuk mengikuti sidang perdana. Mereka di antaranya Ki Hadjar Dewantara, Wahid Hasyim, Oto Iskandar Dinata, Soepomo, dan Iwa Kusumasumantri.
Yap bergegas menemui Sukarno dan Mohammad Hatta, yang juga sudah sampai, untuk memberikan ucapan selamat atas keberanian mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rapat yang semestinya dimulai pada pukul 09.30 molor hingga dua jam karena para peserta masih larut membincangkan kegembiraan Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sebenarnya PPKI mengagendakan sidang perdana pada Kamis, 16 Agustus 1945. Rapat batal karena kelompok pemuda, di antaranya Soekarni dan Wikana, “menculik” Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Mereka mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok.
Yap Tjwan Bing mendapat kehormatan dengan duduk persis di depan Sukarno. Sebelum rapat dimulai, Yap menyaksikan Sukarno dan Hatta bergerilya mendekati peserta agar tidak bertele-tele sehingga Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 segera disahkan. “Saya minta kepada Tuan-tuan sekalian supaya kita bertindak di dalam sidang dengan kecepatan kilat,” ucap Sukarno dalam pidato pembukaan sidang, seperti dikutip dari risalah sidang PPKI.
Pidato Sukarno ampuh. Sidang berlangsung ringkas. Risalah sidang PPKI mencatat tak ada perdebatan panjang saat -membahas pasal demi pasal. Pembahasan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 selesai pada pukul 13.50. Sukarno kembali membuka sidang pada pukul 15.15 untuk membahas berbagai aturan peralihan. Sidang hari itu berakhir pada pukul 16.12.
Yap Tjwan Bing menuliskan dalam buku memoar betapa ia menikmati masa-masa bersidang PPKI. Sebagai anggota termuda, ia memanfaatkan rapat-rapat bersama PPKI untuk mengasah kemampuan dan meluaskan pergaulan. Salah satu anggota yang ia dekati adalah Radjiman Wedyodiningrat, anggota tertua yang berusia 70 tahun. Yap juga berkenalan dengan Sam Ratulangi dan Johannes Latuharhary, tokoh pergerakan dari timur Indonesia yang juga anggota PPKI. “Saya banyak menerima ide perjuangan politik dari mereka,” ujar Yap.
Berkat menjadi anggota PPKI, Yap pernah selamat dari amuk massa. Setelah rapat PPKI ditutup, ia meminta izin kepada Sukarno untuk segera pulang ke Bandung. Yap mendengar kabar suasana kota tengah memanas setelah proklamasi.
Menjelang tengah malam saat dalam perjalanan, persisnya di sekitar Gunung Mesigit, yang berjarak 15 kilometer dari Kota Bandung, ban mobil Yap pecah. Ia dikepung sekitar seratus penduduk yang bersenjatakan bambu runcing. Mereka menginterogasi Yap dan RM Soeparto, yang ikut menemani dalam perjalanan itu.
Wajah penduduk yang sebelumnya terlihat marah berubah jadi sumringah saat mendengar penjelasan Yap bahwa ia anggota PPKI dan baru saja mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Mereka bahkan membantu dengan menambal ban mobil Yap. “Merdeka, Pak, dan selamat jalan,” kata Yap menirukan kalimat penduduk saat keduanya meninggalkan lokasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo