Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA-ADA saja kelakuan Put On. Demi bisa mendapatkan tambahan gaji, dia mengelabui bosnya. Bujangan ini mengaku sudah beranak tiga. Walhasil, saat si bos melakukan inspeksi mendadak ke rumahnya, dia kelabakan. Dia lalu mengaku-aku kenalannya, Enci, sebagai istri. Put On berdalih, dia kawin pada masa penjajahan Jepang yang tak mewajibkan pencatatan sipil untuk pernikahan. Sadar dimanfaatkan, Enci tak mau kalah. Ia memalak Put On Rp 50 per bulan. “Kalau lu kaga kasih gua, gua mau mengadu,” kata si Enci sembari menjewer kuping Put On.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pustaka Klasik, 2013. Seperti dalam kisahnya yang lain, Koh Put On selalu berkawan dengan tragedi dan humor. Ia sering tak beruntung, terlebih dalam urusan percintaan. Dalam satu cerita, dia dikisahkan naksir seorang perempuan, sampai mengalami insomnia dan tak doyan makan. Sayangnya, belum juga menyatakan cinta, dia keburu melihat perempuan itu kencan dengan lelaki lain. Lagi-lagi Put On yang hidup dengan ibu dan dua adik lelakinya itu terpaksa gigit jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencipta Put On, Kho Wan Gie, sejak kanak-kanak sudah senang menggambar. Ia belajar kepada J. Frank dan H. v. Velthuisen bersama pembuat komik Sie Djin Koei, Siauw Tik Kwie. Keseriusan mendalami dunia komik menggiring Kho melepas pekerjaan sebelumnya sebagai pegawai toko. Ia akhirnya bekerja di majalah Panorama pada 1927. Dua tahun setelahnya, dia melamar ke harian Sin Po yang dipimpin Ang Jan Goan. Media itu berkantor di Jalan Asemka, Jakarta.
Di Sin Po, Kho Wan Gie kabarnya berkenalan dengan Wage Rudolf Soepratman. “Bahkan Kho Wan Gie katanya ikut membantu proses penciptaan lagu Indonesia Raya. Soal itu sulit untuk mengkonfirmasinya, tapi memang mereka berteman baik,” ujar peneliti komik Put On, Iwan Zahar, saat dihubungi pada Sabtu, 25 Juli lalu. Ada kemungkinan keduanya dekat karena Kho bisa bermain alat musik, seperti saksofon dan piano. Kekonyolan Put On disebut Iwan tak berakar pada sosok pengarangnya. Iwan menjelaskan, Kho sebagai komikus tak hanya menyampaikan humor, tapi juga menggunakan lelucon sebagai cara membungkus kritik sosial. Sebagai seorang keturunan Cina, Kho memotret sekitarnya dengan lugas, teliti, sekaligus kritis. Ia sendiri tidak belajar di sekolah untuk para peranakan, tapi di tempat buat Cina totok, Tiong Hoa Hwee Koan.
Kho Wan Gie menggambar komik Put On. Dok. Agus Dermawan T
Menurut pengamat komik, Seno Gumira Ajidarma, Put On selalu terseret wacana dominan politik. Tak hanya dalam soal sikap yang pro-Republik Rakyat Cina, tapi juga pada pemerintahan dalam negeri. Saat Orde Lama berkuasa, Kho beberapa kali memuat program-program Presiden Sukarno dalam komiknya. Salah satunya gerakan makan jagung, bagian dari revolusi menu makan orang Indonesia ketika itu. Begitu pun saat ada Games of the New Emerging Forces alias Ganefo—pesta olahraga negara-negara berkembang—pada 1962, Kho menuangkannya dalam komik Put On.
Kebiasaan Kho itu, ucap Seno, membuat kartun berguna bukan sekadar karena lucu, tapi juga lantaran wacananya menjelaskan situasi historis. “Komik di sini menjadi situs zaman,” katanya. Kho dalam komiknya juga sangat teliti terhadap detail. Misalnya soal mode, dia menaruh perhatian pada model pakaian yang digunakan perempuan keturunan Cina, Eropa, juga pribumi. Dalam satu komiknya pula Kho sempat menggunakan urusan pakaian untuk menyindir sikap sebagian orang yang kadang menilai sesuatu hanya dari fisiknya. Dikisahkan Kho, Put On jajan di suatu restoran mengenakan setelan seadanya. Hal itu membuat pelayan restoran mengabaikannya. Sedangkan saat datang dengan pakaian keren, Put On cepat dilayani. Menurut Iwan, sekilas Kho terlihat sebagai sosok yang pro-etnis Cina.
• • •
PERGULIRAN politik juga mempengaruhi napas Put On. Pada 1965, majalah Pantjawarna dibredel dan hidup Put On berakhir. Namun Kho Wan Gie masih tetap produktif. Ia menelurkan komik baru dengan nama samaran dari bahasa Jawa, Sopoiku, yang berarti “siapa itu”. Pada waktu itu, lahir anjuran dari pemerintah Presiden Soeharto agar warga keturunan Cina berganti nama. Namun Kho memilih setia pada nama lahirnya. Begitu pula anak-anaknya, semua memakai nama Cina.
Seno Gumira menilai pilihan Kho memakai nama Sopoiku menarik karena menunjukkan karakternya yang tak konfrontatif terhadap pemerintah. “Pilihan nama Sopoiku ini getir karena menunjukkan penindasan yang enggak kira-kira. Nama (Cina) saja sampai disarankan untuk diganti,” tutur Seno. Adapun dalam suatu kesempatan Kho pernah berujar kepada komikus Ganes T.H. bahwa bila ingin menjadi pelukis yang baik sebaiknya tak menyinggung siapa pun.
Bukan hanya Sopoiku, pilihan nama atau judul komiknya yang lain juga menarik. Di antaranya Nona Agogo, Si Pengky, Djali Tokcher, dan Si Lemot. “Yang paling lucu Nona Agogo, karena Kho Wan Gie agak feminis tanpa dia sadari. Adapun untuk tokoh lain, dia menghadirkan tokoh yang seolah-olah melucu. Ini menunjukkan bagaimana dia dalam keadaan kepepet pun seperti sedang melawan,” ujar Seno.
Komikus kawakan pencipta komik Panji Tengkorak, Hans Jaladara, mengatakan Kho Wan Gie, lewat komik Put On, membuatnya bernostalgia dengan masa kanak-kanak karena mengangkat topik dan kondisi yang sedang ngetren saat itu. Contohnya saat beras sedang langka, Put On mengupayakan bahan kebutuhan pokok itu untuk tetangganya. Namun sampai akhirnya beras itu habis, Put On tak kunjung kebagian. Ada juga cerita tentang pelarangan celana jengki. Put On diceritakan sedang memakai celana baru dan kehujanan. Celana tersebut mengerut, jadi ketat, dan akhirnya ia ditangkap polisi yang menyangka itu model jengki. “Dia tajam dan kritis, tapi kadang juga menceritakan hal sederhana seperti soal rumah tangga dan temannya,” ucap Hans, Ahad, 26 Juli lalu.
Kho Wan Gie memiliki tujuh anak, tak ada satu pun yang meneruskan profesinya sebagai komikus. Salah satu putranya, Kho Goan Soei, menyebutkan sebagian kisah Put On bersumber dari pengalaman hidup bapaknya. “Kadang dari cerita teman Bapak juga. Pada masa itu, dia lebih banyak mendengar daripada bicara. Humornya (Put On) itu muncul dari dalam hati (Kho),” tuturnya.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo