Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

6 Agustus

Sampai tahun ini, 75 tahun kemudian, bumi dan seisinya berada di titik genting: sewaktu-waktu bisa meledak Hiroshima baru yang jauh lebih mengerikan.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
6 Agustus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

6 Agustus 1945. Sebuah catatan seorang dokter di Hiroshima beberapa menit sebelum bom atom meledak di kota itu:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pukul 07.29. Hari masih awal; pagi tenang, hangat, dan indah. Daun-daun tampak berpendar, memantulkan cahaya matahari dari langit yang tanpa awan....”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pukul 08.14. Para pilot Amerika dari pesawat B-29 yang diberi nama “Enola Gay” menjatuhkan bom itu—dan sejarah manusia pun berubah.

Sebuah bola api yang lebih panas ketimbang permukaan matahari menghantam. Apa saja yang terletak dalam radius 1,5 kilometer jadi abu. Ketika para ilmuwan Jepang kemudian meneliti reruntukan logam dan batu di seantero kota, mereka bisa memastikan suhu yang menyulut tanah di pusat ledakan setinggi 6.000 derajat Celsius. Di satu bagian kota yang tenang itu—tak ada sirene atau peringatan apa pun—seseorang yang sedang berjalan santai mendadak hangus dan lenyap. Yang tersisa hanya bayangannya yang tercetak hitam di atas semen trotoar. Angin kencang 650 mil per jam menggebrak. Empat puluh tujuh gerbong kereta api di stasiun dibanting.

Sekitar 80 ribu penduduk kota di atas Pulau Honshu itu mati seketika.

Beberapa hari kemudian Jepang menyerah. Perang Dunia II diakhiri. Tapi sejak itu dimulai sebuah teror. Sampai tahun ini, 75 tahun kemudian, bumi dan seisinya berada di titik genting: sewaktu-waktu bisa meledak Hiroshima baru yang jauh lebih mengerikan.

Jika itu tak ada, sampai hari ini, tak juga ada jaminan. Hiroshima menunjukkan para ilmuwan bisa mencapai prestasi yang menakjubkan, tapi mereka tak disiapkan—oleh ilmu mereka—untuk menjawab pertanyaan: memang perlukah senjata itu? Mereka tentu tahu destruksi macam apa yang akan terjadi jika bom atom digunakan. Tapi kenapa mereka tak mencegahnya?

Satu dasawarsa kemudian, Einstein disebut. Tak lama setelah ia wafat di tahun 1955, sebuah tulisan terbit dalam berkala Jerman Universitas. Penulisnya memulai dengan puji-pujian kepada prestasi ilmuwan termasyhur itu. Tapi ada paragraf yang menusuk: “Einstein, yang membenci peperangan, tentunya tergerak oleh praktik-praktik keji Naziisme hingga di tahun 1939 ia menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt, mendesak agar Amerika Serikat berusaha keras mempersiapkan diri membuat bom atom.” Bom itulah yang “membunuh ribuan perempuan dan anak-anak”.

Penulis artikel itu Heisenberg, fisikawan Jerman pemenang Nobel, salah seorang pelopor mekanika kuantum. Di tahun 1974 ia malah mengatakan, “Einstein sesekali ikut aktif bekerja dalam pelaksanaan proyek itu.”

Mengejutkan, juga menarik, bahwa kalimat itu datang dari Heisenberg. Sejak awal, Einstein baginya tauladan, Vorbild. Einstein sebaliknya melihat pada diri Heisenberg—yang dua kali lebih muda—seorang fisikawan yang luar biasa; dialah yang mencalonkan Heisenberg untuk Hadiah Nobel.

Tapi kemudian datang sesuatu yang radikal. Fisika kuantum diperkenalkan generasi muda sains Eropa, dipimpin Niels Bohr dari Denmark; Heisenberg tokoh utamanya. Fisika baru ini merombak sendi-sendi fisika klasik. Einstein, orang pertama yang menunjukkan cahaya sebagai “quanta”, ikut membuka pintu bagi fisika yang menelaah anasir alam yang super-renik ini. Tapi ia tak sepaham dengan beberapa kesimpulan Bohr dan Heisenberg—sebuah selisih pendapat yang terkenal di dunia fisika yang sampai hari ini belum sudah. Sejak 1927 sampai dengan 1954, Einstein bersikukuh. “Saya tak menyukai jenis fisikamu,” katanya kepada Heisenberg yang mengunjunginya di Princeton.

Heisenberg kecewa. Tapi agaknya bukan karena itu ia tega menuduh Einstein bertanggung jawab melahirkan bom pembinasa itu. Heisenberg agaknya tahu, tak ada bukti yang kuat. Dalam Victory and Vexation in Science, yang memperkenalkan pemikiran sains abad ke-20, Gerald Holton menunjukkan, dalam suratnya kepada Presiden Roosevelt, Einstein tak menganjurkan pembuatan senjata apa pun. Ia hanya memperingatkan adanya persiapan Hitler untuk memproduksi bom atom. Lebih penting lagi: Gedung Putih tak menjawab.

Justru Heisenberg yang tak sepenuhnya bersih—meskipun ia, sehabis perang, mencoba merevisi sejarah hidupnya. Dialah yang memimpin Uranverein, proyek nuklir Hitler yang menyiapkan pembuatan bom. Heisenberg memang bukan seorang Nazi. Ia bahkan pernah dituduh sebagai “Yahudi Putih”. Tapi ia seorang patriot Jerman—dan ia ingin Jerman menang perang. Bisa jadi itulah yang mendorongnya mengalihkan dosa kepada orang lain....

Proyek bom atom Jerman gagal karena pelbagai salah urus. Amerika sudah memproduksinya ketika Jerman diduduki Sekutu dan Heisenberg ditahan pasukan Inggris untuk direkrut ke dalam proyek pertahanan Sekutu. Dari saat itu agaknya beredar cerita, dialah yang dari dalam menyabot proyek Hitler untuk membuat bom yang akan menentukan jalannya sejarah itu

Cerita itu tak meyakinkan. Tapi Heisenberg selamat. Yang pasti ia selamat justru karena gagal—dan 6 Agustus 1945 menghentikan ilusinya tentang sains dan teknologi. Di tahun 1958 ia menulis Physics and Philosophy; ada satu kalimat yang penting buat zaman ini, ketika tekno-sains kembali dilihat sebagai janji yang serba gemilang: “Kombinasi ilmu-ilmu alam dan teknik tak dapat dipandang hanya dari tinjauan yang optimistis.”

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus