Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pengarang dari Jatiniskala

Penulis, kritikus sastra, pendidik, dan publisis Ajip Rosidi wafat pada usia 82 tahun di Magelang. Menggembleng diri secara otodidaktik, ia mewariskan banyak karya dalam bahasa Indonesia dan Sunda.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ajip Rosidi di Jakarta, Maret 2011. TEMPO/Arnold Simanjuntak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ajip Rosidi mewariskan banyak karya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.

  • Ajip memprakarsai Hadiah Sastra Rancagé pada 1989.

  • Ajip memperkenalkan kekayaan rohani masyarakat Sunda ke lingkungan sastra Indonesia.

JENIS “pekerjaan” yang tercantum pada kartu tanda penduduk Ajip Rosidi adalah “pengarang”. Dalam lampiran memoarnya, ia membeberkan buktinya: 9 kumpulan sajak, 5 kumpulan cerita pendek, 2 roman, 2 drama, 8 adaptasi cerita rakyat, 2 cerita wayang, 5 bacaan kanak-kanak, 2 kumpulan humor, 3 memoar, 3 biografi, serta 52 kumpulan esai dan kritik sastra. Itu belum meliputi terjemahan, bunga rampai, suntingan, dan hasil penelitian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang pengarang menulis saban hari. Catatan hariannya dari 1995-2016 diketik pada kertas A4, mencapai 48 jilid. Ia menamainya “tapak meri”, idiom dari rajah carita pantun Sunda yang secara harfiah berarti “jejak itik”. Baru tiga jilid yang sudah dibukukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah dan ragam karangan itu memang minta ampun banyaknya. Sempat saya curiga, jangan-jangan Ajip bekerja dengan bantuan jin, macam Sangkuriang sewaktu membendung Sipatahunan. Ternyata kuncinya adalah disiplin. Selagi orang lain masih terlelap, ia bangun sekitar pukul dua atau tiga dinihari. Sehabis tahajud, ia akan duduk membaca atau menulis apa saja hingga subuh.

Ketika pagi tiba, dia berolahraga. Mengenakan kaus oblong, celana pendek, dan sandal jepit, juga arloji Seiko 5, dia berjalan kaki mengitari rumahnya sekian putaran. Kalau di pagi hari ada gangguan, olahraga sore pun jadi. Memang Ajip senang makan, tapi dia tidak pernah tergoda menghentikan puasa Daud.

Kalau Ajip punya prakarsa, program dijamin terlaksana. Lagi pula, siapa yang sanggup menolak ajakannya? Tahun 1969: ayo kita rekam dan transkripsikan folklor dan cerita pantun Sunda! Tahun 1990: mari kita susun ensiklopedia Sunda, Cirebon, dan Betawi! Tahun 2001: inilah saatnya kita selenggarakan konferensi internasional budaya Sunda!

Buat rapat dan ngobrol selalu ada waktu, tak terkecuali di hari Minggu. Di akhir liburan, ia memang akan kembali ke Jepang, tempatnya bermukim sejak 1981 hingga 2003, tapi itu tidak berarti orang bisa tidur tenang. Dari Osaka akan selalu datang surat, bahkan kalau perlu dering telepon, buat memastikan kemajuan program.

Program yang dia jalankan sendirian tak kurang pula banyaknya. Yang sangat menonjol adalah penelusuran karya-karya pujangga sufistik Sunda terkemuka, Haji Hasan Mustapa, empat tahun lamanya sejak 1984. Sejak 1960-an hingga 1994, dialah orangnya yang telaten menyusun antologi Puisi Sunda hingga tiga jilid, sekitar 1.700 halaman, mewadahi warisan tradisi lisan hingga hasil kreativitas mutakhir.

Ajip menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Sunda, sama fasihnya, sebanding produktifnya. Di depan Ajip, sebaiknya kita jangan memakai istilah “bahasa daerah”. Jangan mentang-mentang ada “bahasa nasional” lantas bahasa-bahasa dari Nusantara dianggap rendah. Jauh lebih aman kalau kita pakai istilah “bahasa ibu”. Lagi pula, dalam kasus Ajip, bahasa ibu (Sunda) dan bahasa persatuan (Indonesia) memang berbeda tapi sama pentingnya. Ia pasti mengoreksi orang yang keliru mengutip Sumpah Pemuda: bukan “berbahasa satu”, melainkan “menjunjung tinggi bahasa persatuan”.

Ia buktikan dengan memprakarsai Hadiah Sastra Rancagé pada 1989. Mulanya hadiah tahunan ini dialamatkan ke lingkungan sastra Sunda, kemudian Jawa dan Bali serta belakangan Lampung, Batak, Banjar, dan Madura. Bagi Ajip, ini pelembagaan kritik sastra yang tak boleh berhenti apa pun yang terjadi. Tujuan utamanya adalah mendorong kelangsungan kerja menulis dan membaca buku-buku dalam beragam bahasa ibu di seantero Nusantara.

Di lingkungan sastra Sunda, terutama sejak Rancagé, Ajip adalah jangkar bagi semacam keluarga besar, meski tak sedikit anggota keluarga yang kurang nyaman dengan kritiknya. Orang memanggilnya dengan sebutan akang alias abang. Si Akang menyerukan apa yang disebutnya “renaisans Sunda”: menggali lagi warisan sastra buhun (kuno), dari carita pantun hingga manuskrip, seraya meniupkan “kesadaran” ke dalam sastra Sunda kini. Kalau perlu, tingkat-tingkat kesantunan berbahasa yang pelik pun disederhanakan saja, biar kaum muda tidak tersiksa. Dia orang penting di balik Lembaga Basa jeung Sastra Sunda sejak 1952 dan Paguyuban Pangarang Sastra Sunda sejak 1966.

Keberagaman bahasa sudah nyata sejak dini. Tanah kelahiran Ajip, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Barat, adalah tempat berlangsungnya silang-susup antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa yang hanya dirintangi oleh segaris rel kereta. Dari Jatiwangi, ketika ia masih remaja, “anak tanah air” ini melesat ke Jakarta, mengolah potensinya di bidang bahasa dan sastra, bersinggungan dengan beragam kawan yang “ketemu di jalan”, dari kiri ataupun kanan. Ia menyerap keberagaman Indonesia, dan berupaya ikut mewarnainya. Di Jakarta dia tidak melupakan Jatiwangi, dalam renungan keindonesiaan ia selalu mengindahkan elemen kedaerahan.

Sewaktu masuk ke Jakarta, Ajip duduk di Taman Siswa, dan segera menyadari bahwa dia toh bisa belajar sendiri, tak usah tamat sekolah. Hingga akhir hayatnya, dia membuktikan kepada diri sendiri dan lingkungan sekelilingnya bahwa ia “hidup tanpa ijazah” meski, dalam kasus Ajip, hidup seperti itu mencakup pula kegiatan mengajar di universitas.

Mengarang, menerbitkan karangan, dan mengelola lembaga kesenian saling bertaut. Sejak 1968 hingga 1981 ia mengelola majalah Budaya Jayaterutama buat mewadahi esai. Penerbit Pustaka Jaya yang dia kelola sejak 1971 menyediakan banyak terjemahan sastra klasik di samping hasil penelitian sarjana Indonesia. Ia juga ikut menulis pengantar sejarah kesusastraan Indonesia selain getol menulis kritik, dan turut melancarkan kegiatan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Siapa pula yang lupa pada kiprahnya di Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta. Di lingkungan asosiasi penerbit (Ikapi), dia bukan orang asing pula.

Kalau menulis, Ajip menghindari spekulasi. Senantiasa dia berpikir lurus, menulis jelas, dan berbicara terus terang. Ia tidak suka berhias, dan tidak sering berkias. Ketimbang main filsafat, dia lebih cenderung memperhatikan fakta. Ajip terutama menulis tentang apa yang dia lakukan sambil berupaya melakukan apa yang ia tulis. Kalau menulis fiksi, tipenya cenderung autobiografis. Apa pasal? Katanya, biar karyamu terhindar dari kemungkinan mirip karya orang lain. Bukankah hidupmu berbeda dari siapa pun?

Ke lingkungan sastra Indonesia, Ajip memperkenalkan kekayaan rohani masyarakat Sunda. Sedikitnya ada delapan judul buku yang diangkat dari cerita rakyat. Ke lingkungan sastra Sunda, Ajip antara lain memperkenalkan lagi warisan tradisi lisan. Ada 30 rekaman carita pantun, 21 di antaranya sudah ditranskripsi, dan 16 judul telah diterbitkan dalam bentuk buku, hasil risetnya pada 1969-1974. Ensiklopedi Sunda (2000) adalah hasil kerja yang dimotorinya dari 1991.

Ajip mencintai Indonesia. Saya lihat air matanya menitik waktu Merah Putih berkibar dalam sebuah film dokumenter yang kami tonton dalam acara Festival Sastra Winternachten di Den Haag, Belanda, pada 2007. Ajip mencintai Tatar Sunda, tanah kelahiran yang mengilhami sejumlah sajaknya dalam bahasa Sunda. Dengan citra diri yang segagah Janté Arkidam, Ajip mencintai dirinya sendiri. Bagian-bagian penting dari pengalamannya ia dokumentasikan dengan baik dalam memoar dan catatan harian. 

Di Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, pada 2002, menjelang pensiun, Ajip membangun “sebuah rumah buat hari tua”. Sebelum bagian rumah dibangun, dia mendahulukan perpustakaan untuk sedikitnya 12 ribu judul buku, di samping bundel majalah, catatan harian, kumpulan surat, album foto, rekaman video, dan sekian banyak lukisan karya para maestro Indonesia.

Pada gerbangnya ada tulisan “jatiniskala”, istilah yang dipetik dari manuskrip Sunda Kuno. Saya cenderung mengartikan istilah itu sebagai “purnawaktu”: suatu situasi tatkala sejarah seperti menemukan sublimasinya. Tak jauh dari gerbang itulah Ajip berkubur pada usia 82 tahun di hari yang baik menjelang Idul Adha. Hebat dia.

HAWE SETIAWAN, PENULIS LEPAS, MENGAJAR DI FAKULTAS ILMU SENI DAN SASTRA UNIVERSITAS PASUNDAN, BANDUNG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus