Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANNY Njoman, 53 tahun, masih ingat pertama kali ia berkenalan dengan buku cerita silat (cersil) karangan penulis Kho Ping Hoo alias Asmaraman Sukowati. Saat itu, pada 1980-an, Danny yang masih duduk di kelas I sekolah menengah pertama melihat ada kerabat di rumahnya yang membawa buku Kho Ping Hoo. Namun ia tak dibolehkan mengintip isinya. “Orang tua takut saya ketagihan baca itu. Apalagi saya dianggap masih kecil, sedangkan cersilnya bacaan dewasa,” ujarnya, lalu terkekeh, saat dihubungi pada Rabu, 31 Maret lalu. Dasar berjodoh dengan Kho Ping Hoo, kawan sebangku Danny di sekolah ternyata memiliki sejumlah cersilnya. Danny pun meminjam koleksi sang kawan dan mulai melahap satu per satu jilid buku tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betul kiranya, Danny kecanduan membaca cerita silat Kho Ping Hoo. Ia akhirnya menyisihkan uang saku sekolah demi bisa membeli satu per satu jilid cersil tersebut. Para tokoh pendekar dalam cersil Kho Ping Hoo dianggap Danny tak kalah kerennya dari superhero idolanya yang lain, seperti Godam dan Gundala. Kecintaannya pada cersil Kho Ping Hoo terbawa hingga dewasa. Setelah bekerja, Danny yang seorang tenaga presale itu pun mulai memburu jilid cersil terbitan pertama pengarang kelahiran Sragen, Jawa Tengah, tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sama seperti Danny, Erwan Sofyan sudah lama kepincut pada kisah cersil Kho Ping Hoo. Saking tergila-gilanya, selama dua tahun ia melacak rilisan pertama buku Kho Ping Hoo di komunitas penggemar cersil dan kios-kios buku. Pencariannya berakhir setelah satu demi satu jilid buku Kho Ping Hoo ada di tangannya, termasuk dari koleganya di komunitas pencinta cersil. Buku-buku lawas itu dihargai hingga enam kali lipat dari harga aslinya, atau mencapai Rp 100 ribu per jilid. Namun, atas nama cinta, Erwan tak mempersoalkan. Yang penting koleksinya lengkap, katanya.
Roman berjudul Goda Remaja karya Kho Ping Hoo.
Erwan, 59 tahun, mulai membaca cerita silat Kho Ping Hoo pada 1973 atau saat masih duduk di kelas I SMP. Saat itu, karya Kho Ping Hoo lumayan populer. Terlebih pemerintah sempat melarang buku-buku luar negeri beredar di Indonesia. “Kho Ping Hoo mengisi kekosongan itu sehingga karyanya lebih mudah menjangkau pembaca,” ujar Erwan melalui telepon, 31 Maret lalu. Menurut dia, banyak orang akhirnya naksir pada cersil Kho Ping Hoo karena cara bertuturnya yang gurih. Plot ceritanya pun seru dan penuh kejutan. Ditambah, di tengah karier menulisnya, Kho Ping Hoo mulai membalurkan unsur filosofi ke dalam cersilnya. “Bahkan banyak petuah di cersil-cersil itu yang saya ingat sampai sekarang.”
Jejak Kho Ping Hoo dalam literasi Indonesia terbentang lebar pada 1952-1980-an. Peneliti cerita silat dari Yusof Ishak Institute, Singapura, Leo Suryadinata, menilai Kho Ping Hoo berperan besar dalam cerita silat berlatar Cina di Indonesia. Sebelum kemunculan karya Kho Ping Hoo, cersil di Tanah Air didominasi saduran kisah penulis Mandarin oleh penerjemah Jin Yong dan Liang Yusheng. Kho Ping Hoo menuliskan fantasinya sendiri karena ia sejatinya tak paham aksara dan bahasa Cina.
Namun hal itu dinilai Leo sebagai kekuatan karya Kho Ping Hoo. Walau saat menulis cerita silat belum pernah mengunjungi Cina secara langsung, Kho Ping Hoo percaya diri membuat lebih dari seratus kisah berlatar negara itu. “Ini unik karena cersil terjemahan betul-betul berlatar budaya Cina, sementara tulisan-tulisan Kho Ping Hoo justru dipengaruhi kebudayaan Jawa karena ia lahir dan besar di Sragen, Jawa Tengah,” kata Leo, yang pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo. Leo menyebutkan ada 118 karya Kho Ping Hoo yang berlatar Cina dan 30 judul berkisah di Jawa.
Cersil Bu Kek Siansu karya Kho Ping Hoo.
Fakta bahwa Kho Ping Hoo belum pernah menjejakkan kaki di Cina saat periode awal kariernya sebagai penulis mempengaruhi akurasi kisahnya. Banyak yang mengkritik Kho Ping Hoo melakukan sejumlah kekeliruan dalam geografi dan sejarah mengenai Cina. Namun, ihwal perkara ini, Leo menilai wajar karena ketika itu tak mudah bagi Kho Ping Hoo mendapatkan informasi yang ia cari. Erwan Sofyan berpendapat senada. “Dia bukan sejarawan dan yang ditulis kan fiksi. Jadi wajar kalau ada kesalahan. Terlebih saat itu belum ada Google untuk mendalami riset,” ujarnya.
Leo menyebutkan produktivitas dan popularitas Kho Ping Hoo sebagai penulis cerita silat Mandarin jauh lebih menarik untuk disorot ketimbang persoalan akurasinya. Ia menduga salah satu faktornya adalah Kho Ping Hoo memakai bahasa yang mudah dipahami masyarakat dari beragam latar belakang etnis. Ini beda dengan cersil terjemahan yang masih banyak menggunakan istilah bahasa Cina. Sejumlah karya Kho Ping Hoo juga dinilai Leo monumental dalam sejarah cersil Indonesia, seperti serial Bu Kek Siansu dan Pendekar Suling Emas.
Kho Ping Hoo mendapat penghargaan seni sastra dari Bupati Sragen pada 2005 dan anugerah kesusastraan dari Perkumpulan Masyarakat Surakarta pada 2012. Pada 2014, ia mendapat penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari presiden. Karena dia dianggap berkontribusi dalam sejarah cerita silat, sempat muncul ide untuk membuat museum Kho Ping Hoo di Sragen. Namun hingga kini rencana itu belum dieksekusi oleh pemerintah daerah setempat.
•••
KHO Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati lahir di Sragen, 17 Agustus 1926. Ayahnya, Kho Kiem Poo, seorang guru silat. Sementara itu, ibunya, Sri Welas Asih, berdagang di pasar. Kho Ping Hoo adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Ia anak lelaki tertua. Sejak kecil, hidup Kho Ping Hoo susah. Putri keempat Kho Ping Hoo, Tina Asmaraman, mengungkapkan, semula kakeknya jatuh sakit karena stres memikirkan nasib saudara mereka yang tak bisa ia tolong. Namun, demi tetap bisa menghidupi keluarganya, sang kakek hendak bekerja sebagai tukang becak.
Kho Ping Hoo tak sampai hati membiarkan ayahnya yang sedang sakit memaksakan diri bekerja. Walhasil, ia yang saat itu berumur 14 tahun memutuskan untuk keluar dari sekolah. Hanya setahun mencicipi Hollandsch-Inlandsche School, Kho Ping Hoo akhirnya bekerja serabutan demi menjadi tulang punggung keluarga. “Sebelum jadi penulis, hidupnya susah,” ucap Tina. Pada zaman penjajahan Jepang, Kho Ping Hoo pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat. Tina masih kecil saat itu. Di sana Kho Ping Hoo bekerja sebagai juru tulis sebuah perusahaan angkutan bernama TSH dan mulai merambah dunia penulisan.
Cersil Si Teratai Merah karya Kho Ping Hoo yang diterbitkan oleh Penerbit Jelita di Tasikmalaya.
Kepiawaiannya merangkai kata terasah sejak 1952. Ketika itu, Kho Ping Hoo mulai menulis cerita pendek tentang romansa dan mengirimkan naskahnya ke sejumlah majalah, misalnya Selecta, Star Weekly, dan Pancawarna. Tokoh cerita pendeknya bernama Han Liong, yang diambil dari nama anak lelaki pertamanya. Tak hanya menulis, di Tasikmalaya, Kho Ping Hoo juga mendirikan majalah Teratai. Majalah itu dulu dirancang memuat cerita silat yang pada zamannya punya banyak penggemar. Pada 1960-an, kebanyakan surat kabar dan majalah--terutama terbitan Jakarta--memuat cersil bersambung.
Untuk memperkuat konten Teratai, Kho Ping Hoo pun meminta karibnya yang bisa berbahasa Mandarin menyumbang tulisan cerita silat saduran. Namun sang kawan menepis tawaran tersebut. Mau tak mau Kho Ping Hoo menulis cersil sendiri untuk mengisi majalah Teratai. Saat menulis cersil, dia menuangkan imajinasinya sendiri. Ia tak paham bahasa Mandarin sehingga tak mungkin menyadur naskah penulis Cina. Inspirasi ia serap dari kisah film-film silat Hong Kong dan Taiwan yang sering ditontonnya. Dari situasi kepepet itulah lahir cerita silat pertama Kho Ping Hoo yang berjudul Pedang Pusaka Naga Putih. Di luar dugaannya, cersil itu melambung tinggi. Banyak penikmat cersil terpikat sehingga memicu Kho Ping Hoo untuk makin produktif. Ia bahkan membuat penerbitan sendiri yang dinamainya Jelita. Buku-buku terbitan Jelita lalu diedarkan Kho Ping Hoo ke berbagai toko dan kios rental komik.
Serial Detektif Bharoto karya Kho Ping Hoo yang diterbitkan oleh Penerbit Gema.
Saat kariernya tengah menanjak, pada 1963 terjadi huru-hara di Tasikmalaya. Kerusuhan melentik dari Bandung, baru ke kota lain di Jawa Barat. Ketika itu, banyak properti dan aset milik orang keturunan Cina dibakar dan dirusak. Rumah Kho Ping Hoo tak luput dari sasaran. Menghadapi kondisi itu, Kho Ping Hoo patah hati sampai terpikir pindah ke Cina. Namun niat itu akhirnya dikubur karena ia memikirkan nasib anak-anaknya yang masih kecil. “Papa sakit hati diperlakukan seperti ini, tapi ia juga tidak tega membawa kami naik kapal untuk perjalanan jauh ke Cina,” kata Tina. Menurut Tina, Kho Ping Hoo sering mendapat perlakuan rasialis. Sebelum peristiwa kerusuhan, sang ayah juga kadang dicemooh karena logat Jawanya yang kental.
Dengan berbagai pertimbangan, Kho Ping Hoo memutuskan pindah ke Solo dan menetap di sana. Penerbit Jelita terpaksa gulung tikar, digantikan CV Gema yang ia dirikan pada 1964 di daerah Mertokusuman. Lelaki yang bisa berbahasa Sunda dan Jawa kromo halus itu juga mulai mendalami filsafat, termasuk petuah Jawa. Walau berumah di Mertokusuman, Kho Ping Hoo lebih banyak menghabiskan waktunya di Tawangmangu, sekitar 40 meter dari Solo. Tempat yang berlokasi di lereng Gunung Lawu itu dikenal dengan udaranya yang sejuk dan lanskap pemandangan nan indah.
Tina mengungkapkan ayahnya biasa tinggal di Tawangmangu sejak Senin hingga Jumat untuk berfokus menulis. Di meja kerjanya, suami Ong Rose Hwa itu merentangkan peta Cina sebagai rujukannya dalam menulis. Saat sudah berhadapan dengan mesin tik, daya menulis Kho Ping Hoo seperti meruah. Tanpa mempersiapkan konsep sebelumnya pun ia dapat melahirkan cerita utuh dengan karakter-karakter tokoh yang kuat.
Kho Ping Hoo di rumahnya, pada 1972. Dok. Keluarga
Barulah, saat akhir pekan, Kho Ping Hoo kembali ke rumahnya di Solo. Namun berada di rumah tak lantas membuat ayah 11 anak itu berleha-leha. Tina menyebutkan sang ayah tetap saja sering menulis dan membaca saat di rumah. Saking produktifnya, dalam satu waktu Kho Ping Hoo bisa menyiapkan dua-tiga judul sekaligus. Namun situasi itu membuat Kho Ping Hoo cukup berjarak dengan putra-putrinya. Terlebih ia sosok ayah yang amat berdisiplin dan protektif. “Kami juga bete karena beliau sukanya ngomongin filsafat. Itu enggak masuk ke obrolan kami yang saat itu masih remaja,” tutur Tina.
Kho Ping Hoo amat mengagumi Konfusius dan mendalami ajaran filsuf India, Jiddu Krishnamurti. Itu sebabnya, di pertengahan kariernya sebagai penulis, tepatnya dalam serial Bu Kek Siansu, Kho Ping Hoo menyelipkan banyak ajaran bijaksana. Bukan hanya soal kehidupan, cinta, dan kematian, tapi juga alam dan nasionalisme. Bumbu itu diramu Kho Ping Hoo dengan halus, sehingga membuatnya tetap padu dengan kisah seru para tokoh pendekar di bukunya.
Namun ada kalanya cerita silat juga melipat jarak Kho Ping Hoo dengan anak-anaknya. Menurut Tina, sang ayah yang bisa berbahasa Inggris dan Belanda itu senang meminta anaknya mengecek naskah cersil yang akan dicetak. “Kalau ada salah tik, biasa kami membetulkan. Atau kalau ada kemiripan alur cerita dengan judul cersil lain, kami mengingatkan. Kakak saya juga kadang membuat ringkasan cersil Ayah,” ucap Tina mengenang.
Kho Ping Hoo bersama istri dan anak-aknaknya, pada pertengahan 1950-an. Dok. Keluarga
Pada 1967, setelah Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 diteken, Kho Ping Hoo memilih Asmaraman Sukowati sebagai nama Indonesianya. Tina menduga ayahnya memilih nama itu karena sangat mengagungkan cinta. Dalam cerita silatnya pun Kho Ping Hoo banyak bertutur tentang kisah percintaan, termasuk pernikahan beda etnis dan agama. “Mungkin karena itu pakai nama ‘asmara’. Sedangkan imbuhan -man bisa jadi diambil dari bahasa Inggris yang artinya pria,” ujar Tina.
Walau pamornya sebagai penulis cerita silat makin naik, Kho Ping Hoo diklaim Tina selalu merespons penggemarnya dengan baik. Selain meladeni korespondensi, Kho Ping Hoo bahkan pernah bertandang ke Padang, Sumatera Barat, untuk menghadiri pernikahan seorang penggemar yang sudah ia anggap sebagai anak angkatnya. Dengan tetangganya di kampung pun Kho Ping Hoo dikenal murah hati. Saban Natal, ia biasa membagikan bahan pangan pokok kepada tetangganya. Pernah juga satu kali ada seorang tetangga datang ke rumah Kho Ping Hoo. Ia berkeluh-kesah tentang kondisi keuangannya, sementara istrinya tengah hamil tua. Mendengar cerita itu, Kho Ping Hoo akhirnya membantu seluruh biaya persalinan si tetangga.
Pengarang cerita-cerita silat, Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo, di meja kerjanya, pada 1980. Dok.TEMPO/Afrizal Anoda
Saking populernya Kho Ping Hoo, cerita silatnya sampai juga ke radar orang dekat presiden saat itu, Soeharto. Suatu kali, kata Tina, rumah Kho Ping Hoo disatroni “orang Pak Harto”. Orang itu menyelidiki cerita dalam buku Kho Ping Hoo tentang seorang kaisar yang lalim dan korup. Rupanya, sang tamu menaruh curiga pada iktikad Kho Ping Hoo dalam menggambarkan tokoh kaisar tersebut. Namun tuduhan itu mental karena tak dilandasi bukti yang kuat. “Lagian ayah saya kan mengambil latar belakang ceritanya di Cina,” ucap Tina. Sampai akhirnya meninggal pada 22 Juli 1994 karena penyakit jantung, hanya Kho Ping Hoo dan Tuhan yang mengetahui rahasia itu.
Tina menyebutkan, untuk sementara, CV Gema tidak lagi mencetak sendiri cerita silat Kho Ping Hoo. Pandemi membuat mereka merumahkan sejumlah karyawan dan memilih mencetak buku di penerbit lain. Terlebih kini permintaan akan buku Kho Ping Hoo tak seperti dulu. Kebanyakan anak muda sekarang tak mengenal Kho Ping Hoo. Di dunia maya pun bertebaran buku Kho Ping Hoo yang bisa diunduh secara gratis. Awalnya, kata Tina, keluarga sempat berkeberatan terhadap hal itu. “Masak, orang bisa membaca buku tanpa membayar ke penulisnya?” ucapnya. Namun akhirnya keluarga legawa. Terlebih Kho Ping Hoo pernah berujar bahwa keinginannya sebagai penulis adalah membuat bukunya dinikmati sebanyak mungkin orang. “Dia ingin karyanya dibaca seluruh orang Indonesia.”
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo