Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Prosesi Pemakaman Soe Hok Gie, dari Gunung Semeru Bersemayam di Museum Taman Prasasti

Soe Hok Gie menjadi ikon idealisme aktivis mahasiswa meninggal pada 16 Desember 1969 akibat menghirup gas beracun di Gunung Semeru.

17 Desember 2023 | 18.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Prasasti mengenang Soe Hok Gie dan Idhan Lubis di puncak Gunung Semeru. Foto: Dokumentasi Gimbal Alas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis sekaligus ikon idealisme aktivis mahasiswa, Soe Hok Gie mengembuskan napas terakhirnya kala mendaki Gunung Semeru, 54 tahun lalu. Gie, sapaan akrabnya, diduga meninggal karena menghirup terlalu banyak asap beracun dari kawah Gunung Semeru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semasa hidupnya, Gie merupakan sosok yang tenar di kalangan aktivis mahasiswa angkatan 1960-an, Gie yang merupakan mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Indonesia kerap kali melontarkan kritik pedas baik terhadap rezim maupun terhadap kawan seperjuangannya yang pada saat itu menjadi representasi di DPR-GR. Bahkan, Gie merupakan sosok sentral yang berperan dalam pelengseran rezim Orde Lama Sukarno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari Terakhir Soe Hok Gie

Gie meninggal karena menghirup gas beracun saat berada di puncak Gunung Semeru, sebelumnya Gie yang memiliki kegemaran mendaki gunung tersebut memang melakukan pendakian Gunung Semeru bersama rombongan yang terdiri dari kawan-kawan.

Saat mencapai puncak, Gie meninggal bersama dengan Idhan Dhanvantari, seperti dirangkum dari tesis John R. Maxwell tentang biografi Soe Hok Gie, berikut detik-detik meninggal Gie dan prosesi pemakamannya.

Pada 15 Desember 1969, Gie bersama dengan rombongannya yang terdiri dari Idhan Dhanvantari Lubis, Abdurrachman, Herman Onesimus Lantang atau Herman Lantang, Anton Wijaya, Rudy Badil, dan Freddy Lodewijk Lasut, serta seorang wartawan Sinar Harapan, Aristides Katoppo. Selain menaklukkan puncak tertinggi Pulau Jawa, Gie juga hendak merayakan ulang tahunnya yang ke-27 tahun pada 17 Desember mendatang. 

Berangkat dari Stasiun Gambir, Gie dan rombongan tiba di Stasiun Gubeng Surabaya dengan menumpang gerbong barang, setelah tiba di Surabaya, rombongan pun langsung berangkat ke Malang untuk berikutnya menuju ke Semeru. Saat mendaki, rombongan juga membawa buku panduan mendaki Gunung Semeru yang diterbitkan oleh Belanda pada 1930, tepat 40 tahun pada saat itu.

Jalur Tidak Lazim

Kendati demikian, saat memulai pendakian ke Gunung Semeru, rombongan disebut mengambil jalur yang tidak umum, yakni dengan melewati Kali Amprong kemudian mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek hingga turun ke Oro Oro Ombo. Meskipun demikian, saat mencapai Ranu Kumbolo, rombongan terbagi menjadi dua tim dan keduanya berhasil mencapai Puncak Mahameru menjelang sore.

Namun demikian, sesampainya di sana, Gie dan Idham duduk bersama, tetapi kawannya yang lain yakni Herman memutuskan untuk tetap berdiri. Menurut kesaksian Herman, Gie yang awalnya duduk terdiam, kemudian secara mengejutkan menggelapar dan sempat mengalami kejang, beberapa jam kemudian Gie dan Idham dinyatakan meninggal.

Proses Evakuasi

Setelah dinyatakan meninggal, jenazah Soe Hok Gie dan Idhan sementara disemayamkan di Puncak Mahameru hampir selama seminggu. Tepat pada Senin, 22 Desember 1969, rombongan menjemput jenazah Gie dan Idhan di Puncak Mahameru, saat ditemukan kedua jenazah dalam kondisi yang bagus tidak ada bekas gangguan apapun.

Pada 24 Desember, jenazah keduanya tiba di rumah duka masing-masing, kemudian disemayamkan di Fakultas Sastra UI Rawamangun. Setelah penghormatan terakhir, jenazah Gie disemayamkan di Menteng Pulo, kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober yang terletak di Tanah Abang.

Namun demikian, pada 1975, Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober, tetapi keluarga dan kerabat menolak pemindahan kuburan Gie. Pada awalnya, jasad Gie rencananya akan dikremasi dan kemudian abunya ditebar di Gunung Pangrango, tetapi kemudian Gie dimakamkan di tempat yang saat ini menjadi lokasi Museum Taman Prasasti.

RENO EZA MAHENDRA MAGANG  | HENDRIK KHOIRUL MUHID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus