Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesuji, Kabupaten Lampung Utara. Berulang kali sejak 1990-an terjadi sengketa lahan antara warga desa dan perusahaan kelapa sawit. Bantai-membantai pecah. Tiga puluh orang telah terhitung tewas. Terakhir, April 2011, bentrokan memakan tujuh korban, baik dari masyarakat maupun aparat yang disewa perusahaan plasma.
Tak terbayangkan suasana kekerasan itu menjadi setting bagi sebuah naskah karya dramawan kontemporer Amerika Serikat, Sam Shepard. Tapi itu yang terjadi di tangan Teater Satu Lampung. Teater Satu membongkar habis lakon Buried Child (Anak yang Dikuburkan) karya Shepard, yang bercerita tentang sebuah keluarga petani Amerika yang mentalnya rontok. Negara itu pada 1970-an banyak menggusur lahan pertanian, yang digantikan pabrik-pabrik bermesin.
Dalam adaptasinya, secara berani Teater Satu mengubah keluarga Amerika itu menjadi keluarga petani di Mesuji. Teater Satu menyuguhkan bagaimana konflik-konflik akibat pemekaran wilayah perkebunan di Lampung itu sampai memporak-porandakan psikologi masyarakat kecil, mengacaukan kejiwaan mereka.
Naskah Buried Child ini sesungguhnya bukan naskah asing dalam jagat teater kita. Pada 1990-an, naskah ini diterjemahkan dramawan asal Surabaya, Akhudiat, kemudian disadur Afrizal Malna untuk dipentaskan Teater SAE dengan sutradara Boedi S. Otong. Tempo, yang menyaksikan pertunjukan Teater SAE itu, melihat pentasnya seratus persen berbeda dengan Teater Satu. Di tangan Teater SAE, tontonan menjadi sangat murung. Seorang aktor terlihat menatap televisi tanpa ada televisi sesungguhnya. Seorang aktor lain tiba-tiba muncul di panggung sambil menyikat gigi.
Pertunjukan itu harus diakui berenergi. Kesan utama yang didapat adalah Teater SAE ingin menampilkan keterbelahan dan keperihan jiwa manusia-manusia modern yang terkena dampak globalisasi. Dan itu yang membedakannya dengan versi Teater Satu. Di tangan Iswadi Pratama, sutradara sekaligus pemimpin Teater Satu, Buried Child menjadi sangat kontekstual, menjadi "sangat Indonesia". Dampak buruk industrialisasi itu seakan-akan kita lihat tidak hanya bisa meletup di Lampung, tapi juga di Kalimantan, Sulawesi, di mana-mana.
"Ada masalah yang paralel antara keluarga Amerika berlatar era industri pertanian dan masyarakat Lampung yang tergerus industri perkebunan," kata Iswadi.
Iswadi, yang tak menonton saat Buried Child dipentaskan Teater SAE di Taman Ismail Marzuki, mengaku melakukan pencarian tafsir sendiri. Ia tidak melakukan rujukan terhadap saduran Afrizal Malna. Ia menginginkan dialog berlogat dialek bahasa Lampung. Meski begitu, ia masih menyelipkan gaya pop anak-anak muda tanggung perkotaan pada sosok Selly, yang masih mengenakan jaket berbulu kelinci, dan Thea, yang berambut kelabang dua.
Profesi tokoh-tokoh di dalam lakon diganti menjadi petani, penjahit, dan tenaga kerja wanita. Nama asli tokoh seperti Halie, Tilden, Bredli, Pins, dan Seli berubah sebagai Alfian Raja Kepok (Budi Laksana), Hedar Ratu Liwat (Ruth Marini), Iben Supendi (M. Gandhi Maulana), Thea (Desi Susanti), dan Bahnan (Baysa Deni). Kita melihat tokoh-tokoh itu adalah orang desa yang, karena rindu terhadap ladang-ladang yang pernah mereka miliki, sering mengalami halusinasi dan kesakitan.
Ada tokoh yang pergi meninggalkan rumah, ada yang cacat, dan ada yang mengalami depresi. Struktur hierarki keluarga tradisional Lampung yang sakral kita lihat menjadi jungkir balik dalam komunikasi mereka. Iswadi mampu menampilkan potret keluarga yang konyol, vulgar, sarkastis, dan penuh skandal. Beberapa adegan sangat mencekam. Sudah sangat sulit kita mendapatkan teater realis yang demikian.
Satu lagi keunggulan tontonan ini, tanpa ditambah-tambahi oleh dialog yang membicarakan tragedi Mesuji di atas, kita seolah-olah bisa menangkap bayang-bayang kekerasan itu. Adaptasi yang dilakukan Iswadi bukan jenis adaptasi yang tendensius dan pretensius. Ia sama sekali tak berupaya memasukkan adegan atau dialog bagaimana tentara, misalnya, menyiksa sampai binasa petani di Mesuji. Ia tak ingin menyitir kesadisan yang dideskripsikan koran-koran. Namun, tanpa itu semua, kita melihat kerontokan jiwa keluarga tersebut terjadi akibat problem sosial yang mendera di belakangnya. Faktor itulah yang membuat Tempo meyakini pertunjukan ini berhasil.
Menurut Iswadi, adaptasi naskah asli yang "sangat Amerika" ke konteks Lampung tradisional tidaklah mudah. Teater Satu harus melakukan riset dan mendatangkan narasumber yang mengerti sejarah, budaya, dan politik Amerika selama tiga bulan. "Kami meminta Ahmad Yulden Erwin, seorang aktivis Komite Anti-Korupsi Lampung, yang pernah tinggal cukup lama di Amerika, bercerita tentang Amerika," katanya.
"Sepertinya sederhana, satu keluarga. Tapi persoalannya rupanya berlapis-lapis," ujar Iswadi. Untuk itu, ia tak segan-segan merombak total naskah. Ia mengakui ada sejumlah perbedaan alur cerita dan latar sosial dengan naskah asli. "Kami misalnya menghilangkan persoalan inses, hubungan seksual sedarah, dan menggantinya dengan kawin kontrak," katanya.
Iswadi sadar tetap ada reduksi yang tak terhindarkan. Ia berani berimprovisasi asalkan tetap menjaga pokok persoalan, benang merah, pada naskah asli. Salah satu tokoh yang dihadirkan Sam Shepard, misalnya, kerap memakai topi rugbi. "Topi itu saya ganti dengan songkok panjang." Untuk adaptasi artistik, ia membuat tata panggung dengan bentuk rumah Lampung. "Saya ingin warna-warna alam khas Lampung seperti warna kayu, cokelat, merah mendominasi."
Teater Satu dirintis Iswadi dan Imas Sobariah-yang kemudian menjadi istri Iswadi. Mulanya hanya satu, kini anggota Teater Satu berjumlah 15 orang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi. Budi Laksana, misalnya, adalah guru sekolah menengah umum, Ruth Marini sehari-hari berdinas sebagai protokol Gubernur Lampung, sedangkan Ahmad Jusmar merupakan Wakil Kepala Sekolah Menengah Umum Sumber Jaya, Lampung Barat. Saban hari para aktor berlatih bersama mulai pukul 16.00 hingga 22.00 di Taman Budaya Lampung. Dari olah vokal, pernapasan, hingga baca naskah dilakukan di tempat itu. "Semua sudah berjalan seperti terprogram dan tidak ada senioritas. Semuanya sama," kata Ahmad Jusmar.
Daniel A. Ghani, pemerhati teater di Bandar Lampung, mengatakan Iswadi telah menciptakan sebuah kelompok teater yang memiliki stamina luar biasa. Belasan tahun mereka berlatih bersama dan tercipta hubungan erat antar-anggota. "Sangat sulit mencari kelompok teater yang bisa berlatih setiap hari dalam rentang waktu yang lama," ujarnya.
Keseriusan dan gairah melakukan riset patut diacungi jempol. Tak dimungkiri, banyak naskah adaptasi, saduran, yang ketika dimainkan teater kita menjadi problem. Sering kita melihat aktor berpakaian ala nyonya-nyonya dan tuan-tuan Eropa tapi cengkok lidahnya kental Sunda atau Jawa. Sebaliknya, sering kita melihat aktor berbusana daerah tapi kalimat-kalimat yang diutarakannya panjang, tak sesuai dengan logika bahasa Indonesia, dan masih kental rasa terjemahannya. Itu semua menyebabkan banyak pementasan naskah saduran jadi kurang wajar. Itu yang selamat pada pentas Iswadi.
Lebih dari kemampuan menjinakkan kalimat-kalimat Shepard, yang terpenting, Teater Satu sanggup memindahkan roh persoalan. Naskah Sam yang berat, murung, tidak menjadi makin sulit dimengerti, tapi seolah-olah memang dibuat untuk memahami tragedi Mesuji. Ini yang membuat pertunjukan Buried Child versi Teater Satu Lampung pada tahun lalu susah dilupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo