Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warisan Shortermism Jokowi

Jokowi mengusung shortermism yang mengorbankan banyak hal. Pembangunan semu yang berujung kerugian jangka panjang.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Shortermism mengedepankan pendekatan jangka pendek untuk menjalankan pembangunan.

  • Proyek mercusuar memerlukan biaya besar yang mayoritas ditanggung pemerintah.

  • Utang untuk membiayai pembangunan proyek Jokowi akan berdampak panjang.

CIRI utama kepresidenan Joko Widodo sepuluh tahun terakhir adalah dominasi shortermism dalam pembuatan kebijakan. Sesuai dengan namanya, pendekatan shortermism mengutamakan hasil jangka pendek dengan mengabaikan akibat yang merusak dan kerugian besar dalam jangka panjang. Politikus seperti Jokowi melakukannya demi menaikkan popularitas, mengakumulasi dukungan politik agar basisnya makin luas, serta tetap mempertahankan kekuasaan selama mungkin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendekatan shortermism juga sering melahirkan kebijakan yang tak berkesinambungan, terhenti di tengah jalan alias mangkrak. Berbagai faktor penting yang manfaatnya tak kasatmata bagi kepentingan sang politikus, seperti kesehatan finansial pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN), kerap terabaikan. Apalagi soal-soal yang dalam benak politikus terasa abstrak. Misalnya pelestarian lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak studi dan teori yang menjelaskan kenapa politikus menggunakan pendekatan lancung itu. Misalnya dari pakar ilmu ekonomi perilaku Daniel Kahneman dan Amos Tversky yang mencetuskan teori prospek dan analisis bias kognitif. Kahneman mulanya seorang psikolog. Sedangkan Tversky adalah ahli matematika yang juga psikolog. Kerja kolaboratif mereka membuktikan bahwa teori-teori ekonomi tradisional yang mengasumsikan perilaku rasional sebagai dasar pembuatan keputusan ternyata keliru. 

Gaya shortermism Jokowi mudah terdeteksi sejak awal. Ia mengusung jargon “Kerja, Kerja, Kerja”, yang secara implisit sangat kuat mencerminkan ciri shortermism, menunjukkan keinginannya segera melihat hasil apa pun ongkosnya. Prosedur operasi—tata kelola yang benar—dianggap sebagai penghambat yang harus segera disingkirkan. Apalagi mekanisme checks and balances dari lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, yang pada periode kedua pemerintahannya ia lumpuhkan. Demikian pula kontrol dari kelompok masyarakat sipil.

Masalahnya, pendekatan semacam ini memang terasa menarik bagi mayoritas publik yang sudah bertahun-tahun bosan melihat kelambanan pemerintah dan birokrasi. Orang hanya melihat di masa kepresidenan Jokowi berbagai sarana fisik muncul dengan cepat, dari jalan tol, waduk, sampai pelabuhan. Jokowi pun populer. Harus kita akui, banyak proyek itu yang berguna bagi ekonomi secara luas. Ada daya ungkit yang bisa mendorong pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat meski proyek-proyek itu memendam berbagai persoalan.

Salah satu andalan Jokowi adalah penghiliran mineral, yang sebetulnya sudah muncul di tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu masuk era Jokowi, pemerintah langsung gaspol menjual sumber kekayaan alam Indonesia. Pemerintah Jokowi memberi insentif luar biasa kepada investor-investor dari Cina untuk membangun pabrik peleburan nikel. Dari pembebasan pajak yang sangat murah hati, dukungan regulasi, hingga layanan imigrasi yang spesial.

Tak sampai lima tahun kemudian, Indonesia melejit menjadi eksportir nikel terbesar. Neraca perdagangan Indonesia sampai saat ini mencatatkan surplus 50 bulan berturut-turut. Surplus perdagangan inilah yang juga menjadi penyelamat kurs rupiah di masa pandemi, ketika pasar keuangan global karut-marut dan banyak dana investor asing kabur dari Indonesia. 

Surplus itu mengganjal kurs rupiah hingga tidak kolaps. Namun kurangnya pertimbangan matang membuat kebijakan yang memakai pendekatan shortermism tak berkesinambungan. Eksploitasi nikel secara besar-besaran itu kini mulai memukul balik Indonesia. Banjir nikel di pasar dunia membuat harga logam ini turun tajam dalam dua tahun terakhir. Angka pendapatan ekspor nikel menurun. Kendati masih positif, surplus neraca dagang Indonesia dua tahun terakhir menipis.

Pada saat yang sama, konsekuensi buruk berbagai proyek infrastruktur yang berangkat dari filosofi “Kerja, Kerja, Kerja” pun mulai bermunculan. Ketiadaan analisis biaya versus manfaat yang saksama sebelum pembangunan membuat banyak proyek berubah menjadi beban atau terbukti sebagai pemborosan. Contohnya banyak. Misalnya Bandar Udara Internasional Kertajati di Sumedang, Jawa Barat, nyaris tak pernah melayani pesawat terbang. 

Proyek kereta cepat Whoosh, sekadar contoh lain, pun bakal terus menimbulkan kerugian hingga bertahun-tahun ke depan. Sekarang saja, Whoosh hanya bisa beroperasi karena pemerintah memberi subsidi agar harga tiketnya tetap murah—subsidi yang sangat salah sasaran. Penumpang Whoosh jelas bukan kelompok masyarakat kurang mampu yang membutuhkan bantuan pemerintah.

Beban finansial proyek-proyek itu juga menjerumuskan banyak BUMN ke jurang utang, Sebagian BUMN yang bergerak di bidang kontraktor, pelaksana penugasan menggarap berbagai proyek itu, secara akuntansi bahkan terancam bangkrut karena utang yang terlampau besar. Pada akhirnya, pemerintah pun harus menyuntikkan modal baru agar mereka tidak bubar.

Fokus pada hasil jangka pendek membuat Presiden Jokowi melupakan perubahan fundamental yang sebenarnya sangat penting untuk memperbaiki ekonomi secara struktural. Di periode keduanya, keinginannya melihat hasil cepat tanpa banyak pikir makin menonjol dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang berbentuk omnibus, terdiri atas 11 kluster yang menggabungkan 79 undang-undang.

Dengan dalih demi menggaet investasi, Undang-Undang Cipta Kerja memangkas berbagai aturan dengan mengorbankan hak-hak buruh dan mengabaikan potensi perusakan lingkungan, sekadar menyebut beberapa mudaratnya. Inti undang-undang ini adalah resentralisasi, memindahkan kembali banyak wewenang ke pemerintah pusat. Pada gilirannya, sentralisasi kewenangan itu memudahkan para kroni penguasa dan pemburu rente berkongkalikong menguasai konsesi kekayaan alam ataupun hak-hak spesial dalam perdagangan lewat pembagian kuota.

Hasilnya, tak banyak investasi berkualitas yang masuk karena eksistensi Undang-Undang Cipta Kerja. Sebaliknya, mayoritas investor datang kemari lebih karena daya tarik kekayaan alam ketimbang iklim bisnis yang kondusif. Negeri ini tetap harus mengandalkan produk-produk berbasis komoditas sebagai mesin pertumbuhan. Industri manufaktur makin kehilangan daya saing. 

Vietnam dan India, misalnya, mendapat manfaat amat besar dari relokasi pusat produksi produk global yang keluar dari Cina karena ketegangan geopolitik. Malaysia tanpa banyak ribut sedang mengembangkan pusat produksi mikrocip, menjadi calon pengganti Taiwan. Ketika para tetangga berlomba menjual kehebatan iklim investasi masing-masing, Jokowi malah harus merendahkan diri merayu-rayu investor agar mau masuk ke proyek yang sama sekali tak masuk akal: ibu kota negara atau IKN Nusantara

Proyek IKN adalah puncak kekacauan pola pikir yang terbelenggu ambisi selalu ingin mendapatkan hasil instan secepat-cepatnya. Gagal meyakinkan investor yang katanya akan datang berbondong-bondong, pemerintah kini harus menuangkan puluhan triliun rupiah untuk proyek yang kemungkinan besar berakhir sia-sia ini. Ironisnya, pemerintah menghamburkan dana puluhan triliun ini ketika mulai masuk jebakan utang yang menggunung. 

Ini memang salah satu ciri pendekatan shortermism dalam pengelolaan ekonomi. Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, pemerintah dengan mudah bisa melakukannya. Caranya, pemerintah tinggal menggelembungkan sebesar-besarnya pengeluaran untuk berbelanja berbagai keperluan. Dari mana uangnya? Berutang.

Itu sebabnya, dalam sepuluh tahun terakhir kepresidenan Jokowi, utang pemerintah meroket secara spektakuler. Pada akhir 2014, posisi utang pemerintah masih Rp 2.608 triliun. Per Mei 2024, angkanya Rp 8.353 triliun. Jadi, selama menjadi presiden, Jokowi menambah utang Rp 5.745 triliun. Dari total utang sebesar itu, sebanyak 88 persen atau Rp 7.347 triliun merupakan utang pemerintah kepada pasar keuangan melalui penerbitan obligasi berbunga tinggi. Tak mengherankan jika tahun ini saja pemerintah harus menyiapkan anggaran Rp 497 triliun untuk membayar bunga utang. 

Masih banyak konsekuensi shortermism yang tak bisa diuraikan di kolom ini karena keterbatasan tempat. Presiden terpilih Prabowo Subianto yang harus membereskannya. Tak ada ruang baginya untuk melanjutkan gaya shortermism ala Jokowi. Ibaratnya, pesta sudah berlalu. Jika Prabowo memaksa pesta terus berlanjut, ekonomi Indonesia yang akan menanggung akibatnya, terjerumus kesulitan yang amat dalam.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Warisan Shortermism Joko Widodo"

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus