Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung Lamno siang itu begitu sepi. Matahari tepat di atas kepala saat Tempo tiba di ujung jalan kampung di Desa Gle Jong, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya, 21 November lalu. Singgah di sebuah warung kopi, persis di sisi pantai yang telah dijejali batu berjajar sebagai tanggul, pemilik warung, Fatimah, 49 tahun, dan suaminya, Zakaria, menyambut.
Zakaria berpostur tinggi kurus dan memiliki hidung mancung. Kulitnya legam, terbakar matahari. Kalau saja berkulit putih, paras lelaki paruh baya itu mirip orang bule. "Orang-orang di sini kerap memanggil saya sebagai India," kata Zakaria.
Mungkin Zakaria tak tampak seperti "mata biru", julukan bagi warga keturunan Portugis yang menghuni Kampung Lamno. Namun ia mempunyai cerita tentang keponakannya yang tinggal di Lhoong, Aceh Besar. Namanya Munthadar. "Dia persis Portugis. Putih, mancung, dan manik matanya kuning, bukan biru," ujar Zakaria. "Kalau jalan bersama orang bule, pasti orang akan mengiranya bule."
Percakapan singkat itu terpotong oleh kumandang azan. Zakaria mengajak ke masjid tak jauh dari warungnya. Di masjid Gle Jong, muncul belasan lelaki berhidung mancung. Di antara mereka, terselip seorang anak berambut pirang. Umurnya sekira belasan tahun.
Paras bocah itu terlihat seperti orang Eropa. Hanya, manik matanya ternyata cokelat, bukan biru. "Dulu banyak (warga bermata biru), tapi sekarang agak susah mencarinya," kata Kepala Mukim Kuala Daya, M. Yusuf Ahmad. Kemukiman Kuala Daya membawahkan beberapa desa. Salah satunya Gle Jong.
Hari itu Lamno, yang merupakan kawasan di pesisir barat Aceh yang porak-poranda disapu tsunami, telah disusuri. Sebelum diempas air bah, Lamno dihuni oleh 23.700 penduduk di 48 desa. Nahas, tsunami melenyapkan 22 desa berikut hidup 8.500 penduduknya. Hanya desa-desa di kaki Gunung Geurutee yang selamat.
Selain di Gle Jong, komunitas mata biru tersebar di Desa Kuala Daya, Ujong Meuloh, Lambeuso, Geu, Bahagia, Meunayah Rayek, Teumareum, dan Gampong Mukhan. Mereka umumnya bekerja sebagai pelaut, petani, dan sopir. Semua desa mata biru itu musnah disapu gelombang.
Penelusuran jejak si mata biru di Gle Jong pada akhirnya memang tak banyak berbuah hasil. Menurut Yusuf, bule Lamno kini memang semakin sulit dicari. Tak hanya menjadi korban tsunami, "Mereka juga banyak yang merantau ke luar daerah," ujarnya. Ini ditambah lagi dengan terkenalnya kecantikan inong Lamno, yang akhirnya membuat banyak lelaki dari luar menyunting dan memboyong mereka, meninggalkan Lamno.
Masih digelayuti penasaran, giliran Desa Male, sekitar 3 kilometer dari Gle Jong, didatangi. Di sana ada seorang gadis berambut pirang dan berkulit putih, bernama Nurul Kamariah, 10 tahun, anak pasangan Ernawati dan Muzakir. Tapi Nurul tak berhidung mancung dan tak bermata biru.
Ibu si gadis, Ernawati, mengatakan banyak juru warta yang singgah dan memotret anaknya. Kakak Nurul yang bernama Raudhatul Jannah, 15 tahun, juga berkulit sama. Raudhatul kini tinggal di pesantren. Kulit mereka berdua kontras dengan ayah dan ibunya, bahkan dengan saudara kandung yang lain. "Saudara ayah mereka banyak yang pirang," ucap Ernawati.
Di sebuah warung mi tak jauh dari rumah Nurul, muncul ahli waris genetik orang Portugis. Perempuan 25 tahun ini, bernama Sairah, memiliki kulit yang putih dan berhidung mancung. "Ia juga berambut pirang, tapi enggak bisa dilihat karena pakai jilbab," kata seorang ibu.
Sairah lebih banyak diam. Ia tak banyak berkomentar saat kami menanyakan soal garis keturunan Portugis dalam darahnya. "Tidak tahu, Bang," ujarnya, tersenyum. Ia tak menolak saat kami potret.
Di Lamno, tsunami benar-benar menggerus para penduduk keturunan Portugis itu. Sebelumnya, penduduk dengan ciri mata biru ini bisa ditemui di pasar-pasar. Selain di mata, ciri khas mereka adalah kulit putih dan rambut pirang.
Tsunami ikut melenyapkan mereka. Zakaria dan Fatimah melihat bagaimana bah itu mengempas Kuala Daya dan merenggut dua anak mereka. "Saya sedang di ladang di perbukitan itu," kata Fatimah, menunjuk bukit bernama Teumiga, yang berhadapan dengan Makam Raja Daya. Daerah mereka terletak sekitar 80 kilometer dari Banda Aceh. Adapun Zakaria saat itu sedang di laut mencari ikan. Ia kembali ke darat setelah air surut. "Saat kembali, saya menyaksikan kampung porak-poranda," tuturnya.
Saat itu, nyaris tak ada bangunan tersisa di sepanjang Kemukiman Kuala Daya, Kuala Unga, Keuliwang, dan Lambeuso. Sebagian kecil warga yang selamat—umumnya laki-laki. Di Dusun Meunasah Darat, misalnya, hanya seperempat dari 200 warga yang tersisa. Enam orang di antaranya perempuan.
Tsunami juga menggerus Desa Gle Jong sepanjang hampir 1 kilometer. Kini warga yang tersisa telah bangkit membina kembali kehidupan mereka.
SEPULUH Zulhijah—hari raya kurban—merupakan momen yang tepat untuk menemukan keturunan Portugis di Kampung Lamno. "Saat Idul Adha, banyak keturunan Lamno yang balik ke sini untuk mengikuti tradisi seumeuleung," kata Aksa Mulyadi, juru pelihara Makam Raja Daya.
Seumeuleung adalah upacara adat untuk menghormati raja dan penyebar agama Islam, Po Teumeurehom. Tradisi turun-temurun ini masih berlangsung sampai kini. Upacara menyuapi raja itu berlangsung di Makam Raya Daya dan diikuti ribuan warga Lamno dari berbagai penjuru. Keturunan raja dihiasi dan diberi singgasana.
Saat ini tradisi seumeuleung dirawat dengan baik oleh keturunan ke-13 dari Raja Daya pertama, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah, yang bergelar Po Teumuereuhom Daya.
Upacara yang beriringan dengan ziarah makam itu merupakan amanah nenek moyang yang tetap dijalankan dalam kondisi apa pun.
Makam Raja Daya menghadap bukit Teumiga, yang berdekatan dengan Desa Ujong Seuden, tetangga Desa Gle Jong. Konon, di sanalah dulu terdapat banyak kuburan Portugis, yang lantas menjadi laut seusai tsunami. Teumiga tak hanya merekam asal-usul Kerajaan Daya yang menguasai wilayah Lamno. Bukit itu juga meninggalkan kisah tentang penjelajah bangsa Portugis yang berbaur dengan warga lokal dan beranak-pinak.
Ada dua versi tentang keturunan Portugis di Lamno. Aksa Mulyadi, misalnya, meyakini bangsa Portugis datang sebelum Sultan Salatin berkuasa. "Mereka menguasai Kuala Daya yang kaya rempah dan menempatkan orang-orangnya di sana," ujarnya.
Kuala Daya dulu penghasil rempah yang banyak dikunjungi pedagang dari berbagai negara, antara lain Portugis dan Cina. Pedagang Portugis memonopoli perdagangan, bekerja sama dengan Pahlawansah alias Anak Muda Perkasa, warga setempat yang menjadi pemimpin sekutu Portugis.
Ketika Salatin masuk ke Kuala Daya, terjadilah penaklukan dan perang melawan kelompok Portugis dan Pahlawansah. Orang-orang Portugis kalah dan ditawan. Pahlawansah tewas dalam perang. "Raja Salatin berkuasa, orang Portugis diajak masuk Islam," kata Aksa. Mereka yang mau masuk Islam diberi keleluasaan untuk terus tinggal di Lamno. Sedangkan yang menolak diberi pilihan untuk keluar dari wilayah itu. Nah, orang-orang Portugis yang tinggal itu kemudian berbaur dengan masyarakat dan muncullah keturunan mereka: si mata biru berkulit putih dan berambut pirang.
Versi lain, bangsa Portugis tiba di Aceh saat Sultan Salatin berkuasa. Saat itu, sekitar 1492, sebuah kapal perang Portugis yang dipimpin Kapten Pinto kalah perang dari kapal Belanda di Selat Malaka. Kapal mereka rusak dan terdampar di pantai Kerajaan Daya.
Raja Daya, Sultan Salatin, tak mau membiarkan kapal itu pergi begitu saja. Mereka lantas ditawan, dan meminta perlindungan. Sang raja mengabulkan, mengurus para awak kapal sembari menunggu bala bantuan armada kapal dari Negeri Portugis menjemput mereka. Namun rupanya bantuan tak kunjung datang.
Akhirnya Sultan Salatin mengajak mereka masuk Islam. Mereka juga diajari bertani dan berbaur dengan penduduk asli Lamno serta beranak-pinak. "Mungkin saja kedua versi itu benar sehingga banyak keturunan Portugis ada di sini sebelum tsunami datang," ucap Aksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo