Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZAINUDDIN terkesiap melihat remaja perempuan yang tengah bermain dengan Roslini, tukang warung kopi langganannya. Wajah anak gadis itu mengingatkan dia kepada adiknya, Jamaliah, sewaktu kecil. Kemiripan itu semakin jelas manakala tanpa sengaja jilbab anak tersebut lepas dan rambutnya terurai ke bahu. Jantung pria 45 tahun itu berdegup kencang.
Warga Desa Padang Baru, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, itu teringat mimpinya tiga hari sebelumnya: bertemu dengan Raudhatul Jannah, anak Jamaliah yang hilang saat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004.
"Roslini bilang bocah perempuan itu bernama Wenni. Ia anak tsunami dan yatim piatu," kata Zainuddin kepada Tempo, mengenang perjumpaan tak terduga pada Juni lalu itu. Dari penuturan Roslini, antara lain terungkap bahwa Wenni ditemukan nelayan di Pulau Banyak, Aceh Singkil, terdampar bersama kakak laki-lakinya.
Ia lalu menunjukkan kepada Roslini foto Raudhatul Jannah sewaktu kecil. Roslini mengatakan anak di foto itu memang mirip Wenni. Mendengar itu, Zainuddin makin yakin Wenni adalah keponakannya yang hilang sepuluh tahun lalu.
Zainuddin lantas menghubungi Jamaliah, adiknya yang tinggal di Jalan Simpang Aek Milas, Desa Paringgonan Sibuhuan, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Awalnya Jamaliah dan suaminya, Septi Rangkuti, tidak percaya. "Saya ambil foto gadis itu dan saya kirim ke mereka, baru Septi dan Jamaliah yakin," ujar Zainuddin.
Dengan duit sumbangan warga sekitar Rp 2,3 juta, Jamaliah dan Septi berangkat ke Padang Baru. Setelah melalui proses di kepolisian, mereka dibolehkan membawa Raudhatul Jannah. Polisi terpaksa dilibatkan karena orang tua angkat Wenni berkeras bahwa anak itu bukan Raudhatul.
Pertemuan pertama pasangan ini dengan Raudhatul terjadi di rumah Zainuddin. Jamaliah memeluk erat Raudhatul, yang kini telah berumur 14 tahun. Isak tangis pun pecah. Putri kecilnya yang hilang saat berusia 4 tahun telah kembali. Septi, yang tak tahan membendung haru, langsung berlari ke dapur bersama Zainuddin. Di dapur, keduanya menangis.
Beberapa waktu sebelum mereka menemukan Raudhatul, menurut Jamaliah, dia bermimpi diberi cincin yang cantik. Dia percaya itu pertanda bakal diberi rezeki anak perempuan.
Selama ini perempuan 42 tahun itu yakin Raudhatul dan Arif Pratama—kakak Raudhatul yang juga hilang di kala tsunami melanda—masih hidup dan selamat.
"Setiap 26 Desember, kami melakukan pengajian di rumah," ujar Jamaliah kepada Tempo di rumahnya. Sejak Februari 2005, Jamaliah dan keluarga pindah ke kampung halaman suaminya itu. Mereka meninggalkan rumah yang hancur di Jalan Teuku Umar, Lorong Kangkung, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, yang mereka tempati sejak menikah pada 1994.
Di Sibuhuan, Septi, kini 51 tahun, bekerja sebagai tukang instalasi listrik—profesi yang juga digeluti saat di Aceh. Sedangkan Jamaliah mengisi waktunya dengan menjahit dan menjadi guru di sekolah milik Nahdlatul Ulama. Mereka juga membuka warung kecil-kecilan di rumah berdinding kayu dan berlantai semen seluas 36 meter persegi itu. "Lebih enak tinggal di sini. Masih trauma kalau kembali ke Aceh," tutur Jamaliah.
Kebahagiaan pasangan ini makin komplet saat Arif Pratama juga ditemukan. Bestari, warga Payakumbuh, Sumatera Barat, punya andil besar mempertemukan Arif dengan orang tuanya.
Awalnya kata Lana, dia menonton berita mengenai pertemuan Jamaliah dan Septi dengan Raudhatul di sebuah stasiun televisi swasta. Dalam siaran itu, Jamaliah mengatakan, selain Raudhatul, masih ada satu anaknya yang belum ketemu. Dia memperlihatkan foto Arif kecil, kala itu berusia 7 tahun. Lana kaget melihat foto yang ditunjukkan Jamaliah di televisi.
"Mirip dengan Ucok yang selalu lewat di depan rumah," ujar perempuan 30 tahun itu, awal Desember lalu. Buru-buru Lana memotret Jamaliah yang sedang diwawancarai di televisi. Besoknya, dia memanggil Ucok saat lewat di depan rumahnya dan memperlihatkan foto Jamaliah. "Cok, kamu kenal dengan ini?"
Ucok terdiam sebentar, lalu berkata, "Ini emak aku."
Lana lalu menanyakan nama perempuan dalam potret itu. "Liah namanya," ucap Ucok. "Jamaliah?" Lana bertanya. "Iya," kata Ucok.Mulai yakin bahwa Ucok adalah anak Jamaliah, Lana kembali bertanya apakah Ucok korban tsunami. "Air besar. Aku hanyut di air besar," ujar Ucok. Kepada Lana, Ucok bercerita bahwa ia punya adik perempuan yang hanyut bersama.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Lana memotret Ucok dan mengirimkannya kepada ibunya lewat seorang kontributor stasiun televisi swasta. Besoknya, Lana mendapat nomor kontak Jamaliah dari salah satu kru televisi swasta. Ia menelepon Jamaliah, menceritakan perihal Ucok.
Beberapa hari kemudian, Jamaliah balik menelepon Lana dan minta berbicara dengan Ucok. Ternyata Ucok langsung mengenali suara emaknya. "Mak... Mak di mana? Jemput aku. Aku mau pulang," ucap Lana, menirukan kata-kata Ucok. Ibu dan anak itu pun bertangis-tangisan di telepon.
Pada 18 Agustus 2014, Septi, Jamaliah, dan Zahri, kakak Arif, datang menjemput Ucok di rumah Lana di Jalan Jakarta, Parit Rantang, Payakumbuh Barat. Melihat mereka datang, Ucok langsung berteriak, "Itu emak aku, Bu. Itu Ayah. Itu abang aku." Keharuan menyergap. Mereka menangis berpelukan.
Lana mengaku mengenal Ucok pada sekitar 2007. Waktu itu Ucok masih kecil. Suatu pagi, saat membuka kedai, suaminya melihat seorang anak laki-laki tidur di depan kedai. Ada luka di keningnya, masih basah. Cuma bertahan dua hari di rumah Lana, Ucok pergi. "Dia sering tidur di emperan. Kadang ke kedai minta duit untuk makan. Dia mengemis," ujar Lana.
Pertemuan kembali dengan Arif, menurut cerita Jamaliah, juga diawali mimpi. Jamaliah pernah bermimpi kening Arif pecah. Makanya, begitu Lana mengirimkan foto Arif alias Ucok yang keningnya terkoyak, batinnya langsung tersambung. "Itu mirip dengan mimpi saya," katanya.
Hal lain yang membuat Jamaliah makin yakin adalah bekas luka di hidung. Saat kecil di Aceh, Arif jatuh ketika mengambil bola dan hidungnya terluka.
Kembali ke rumah, Arif bertemu kembali dengan Raudhatul, dan dia langsung teringat tsunami. "Kami hanyut dengan berpegangan papan," ujar Arif, kini 17 tahun. Septi membenarkan cerita Arif, "Saya taruh Arif dan Raudhatul di sebuah papan, lalu saya pegang." Nahas, hantaman ombak besar membuat keduanya terlepas dari tangan Septi.
Menurut penelusuran Zainuddin, Arif dan Raudhatul sempat satu rumah di Pulau Banyak. Mereka terpisah saat Raudhatul dibawa ke Padang Baru dan hidup bersama orang tua angkatnya. Sedangkan Arif dibawa ke Medan oleh seseorang yang tidak diketahui namanya.
Dipukuli ibu tiri hingga keningnya luka, Arif kabur naik truk dan turun di Payakumbuh. Di sana takdir membawanya pulang ke pelukan emak dan ayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo