Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Arunika dan Gugatan Perempuan Bali

Buku puisi Arunika menyuarakan gugatan perempuan Bali terhadap sistem budaya yang melukai mereka. Menyentuh hal personal.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada siapa lagi kusampaikan kesaksian ini
Jika tertutup pintu puisi.
- Alit S. Rini, “Labirin Hidup”
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH Bali baik-baik saja? Apakah perempuan Bali sudah merdeka dan sejahtera? Perempuan Bali sering digambarkan berkebaya, tersenyum cantik mengusung sesaji, bertabur bunga dan asap wangi dupa. Apakah gambaran populer perempuan Bali seperti dalam foto iklan yang bertebaran itu mewakili suasana hati dan pertanyaan mereka tentang hidup?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arunika, buku kumpulan puisi karya Alit S. Rini, menjawab dengan “tsunami” kesaksian tentang problem perempuan Bali. Buku puisi yang terdiri atas dua bagian, yakni “Cerita dari Bilik Perempuan” (berisi 20 puisi) dan “Arunika” (18 puisi), ini memperlihatkan pengalaman kultural penulisnya menyaksikan fakta tentang persoalan perempuan Bali, terutama yang berhubungan dengan tradisi dan sistem kasta.

Pengarangnya, Alit S. Rini, yang bernama lengkap Ida Ayu Alit Susrini, berasal dari golongan Brahmana, kelompok bangsawan tertinggi dalam struktur masyarakat tradisional Bali. “Ida ayu” adalah gelar kebangsawanan yang dilekatkan pada nama perempuan Brahmana sejak lahir. Namun sang penyair memilih menggunakan nama Alit S. Rini yang terdengar lebih egaliter dan lebih mandiri dibanding nama lengkapnya yang terasa “elitis”.

Aroma getir perempuan langsung menyergap dari buku puisi Alit: Aku seperti satu dari kawanan burung pematuk sesaji pagi / Di altar pemujaan / Mengais seusai sengketa (halaman 31). Alit mempertanyakan apakah status kebangsawanan membuatnya menjadi perempuan yang berbeda dengan perempuan lain. Apakah derajat dan karat dirinya lebih tinggi daripada manusia lain. Dia merenungkan muasal kebangsawanannya dengan nada kritis: Semula, aku merasa sebatang kara dalam prosesi kelahiran yang hanya ritus / Datang dari keturunan yang merestui jadi raksasa / Dengan mata sebeku batu, hati seliar nafsu (halaman 37).

Alit adalah mantan jurnalis yang telah menggeluti karier di dunia pers selama 28 tahun. Bagi dia sebagai perempuan bangsawan, menggeluti profesi wartawan bukan pilihan ideal. Namun justru itulah jalan hidup yang dia pilih. Alit juga menulis banyak kritik tentang Bali. Berkecimpung dalam kerja jurnalistik dan kritisisme budaya menuntut stamina sangat tinggi. Berat secara fisik, terlebih secara psikologis. Di mana-mana perempuan kritis selalu dihadang banyak tekanan. Tak terkecuali di wilayah jurnalisme koran lokal yang iklimnya sangat patriarkis.  

Tantangan sebagai perempuan Bali membuat Alit mampu menggambarkan perjuangan dan pemikiran perempuan Bali secara mendalam dalam puisi-puisinya. Itu dia lakukan sambil menguliti hamparan palung piteket atau aturan main dalam kosmologi adat dan agama di Bali yang sering mengabaikan perempuan dalam pengambilan keputusan penting, bahkan yang menyangkut kehidupan perempuan sendiri. 

Sebagai perempuan Bali, Alit mengalami sendiri benturan dengan berbagai piteket tradisi. Dia menuliskannya dengan perih: 

Seperti menjalani kutuk / Karena aku perempuan / Angin liar berputar dalam tubuh, menggiringku / Jadi pengigau, pemuram, / berkali-kali kehilangan gairah sujud / Jika aku hadir tak lagi / sepenuhnya manusia / Mungkin sebagian wajahku denawa, / Satwa, atau entah apa / Sesungguhnyalah karena tenung luka, / amarah, jadi sakit menahun tanpa dukun / Menguras sari rasa hidup / Kubawa di berbagai musim / Mencari penawar racun di antara huruhara / yang selalu mengurung (halaman 6-7).

“Belenggu” patriarki berupa piteket harus dihadapi perempuan Bali dengan berbagai penderitaan, penistaan, dan kepasrahan—konon demi kepentingan yang lebih besar. Perempuan Bali yang kritis seperti Alit harus melakukan berbagai upaya untuk menembus kebekuan patriarki yang menghegemoni. Puisi-puisi Alit mencerminkan perjuangan perempuan di ranah tradisi dan kesetaraan gender. Fokusnya memberi interpretasi dan pemaknaan baru sekaligus perlawanan kultural terhadap tradisi dan peran perempuan di wilayah domestik dan publik.

Apakah adat, budaya, dan agama menghalangi perempuan Bali, juga perempuan Indonesia pada umumnya, untuk bersikap kritis atau melakukan otokritik? Sejak awal persoalan yang dihadapi perempuan adalah adanya pengagungan perempuan sebagai ratu rumah tangga. Citra tersebut sangat ironis di tengah realitas maraknya aksi kekerasan dalam rumah tangga yang menghajar perempuan. Femisida dan misogini sebagai produk budaya patriarkis terjadi di ranah privat, komunitas, ataupun negara. 

Ida Ayu Putu Alit Susrini atau Alit S. Rini penulis buku puisi "Arunika" asal Bali di rumahnya di Denpasar, Bali, 30 Januari 2024. Tempo/Johannes P. Christo

Beragam persoalan yang menghambat langkah perempuan bisa diakhiri hanya jika perempuan tidak lagi berkompromi terhadap ketimpangan dan struktur yang melestarikannya. Kata Alit dalam puisi “Nandini, Ini Kisah tentang Jubah”: Aku tak paham membahasakan diri dengan filsafat agama / Tapi ritus ribuan hari raya kujadikan kerja, / Upacara dan sembahyangku / Ribuan ibadah para penekun doa / Mengajarkanku bagaimana meminang hidup di tengah cuaca / tak menentu / Letih, dan hati tak selalu nyaman / Untuk menyeberangkan keinginan jauh ke balik langit / Sesudah kerja sembahyang ini usai di akhir hari (halaman 40).

Ditulis untuk Nandini, anak perempuan kedua Alit, puisi tersebut ditutup dengan suara penolakan terhadap privilese lembaga tradisi dalam menentukan jalan hidup seseorang: Aku ingin meninggalkanmu / Seperti perempuan perenung / Dengan jubah dan kasta sematan semesta, tanpa ornamen / Memudahkan pencapaian / Membaca angin dan menakar pijakan / Sebelum harus memutuskan / Menanjak di turunan / Menurun di tanjakan (halaman 41).

Buku puisi Arunika menghadirkan secara memikat pasang-surut perjalanan hidup perempuan Bali masa kini yang masih harus bertarung melawan cengkeraman kuasa struktur masa lampau. Sang penyair mempertanyakan silsilah, leluhur, perkawinan, kelahiran, anak perempuan, dan berbagai sisi lain Bali yang tidak populer, bahkan tak banyak diketahui publik di luar Bali.

Dalam buku ini, kita juga bisa melihat perca-perca pengalaman seorang jurnalis perempuan dan ibu. Puisi-puisi mutakhir Alit terasa ditulis tanpa kemarahan dan emosi yang meledak-ledak. Suhu protesnya lebih “dingin”, berbeda dengan puisi-puisinya dari periode lama. Dia mulai berdamai dengan luka-luka perjalanan hidupnya. Perempuan yang lahir pada 22 November 1960 itu tampak beranjak bijak. Dia mencangkuli diri sambil mengumpulkan serpihan-serpihan luka untuk dijadikan pelajaran bagi para perempuan Bali kontemporer berikutnya agar berani keluar dari kungkungan praktik tradisi yang menghambat kemajuan perempuan. 

Arunika seakan-akan berpesan bahwa perempuan pertama-tama harus melakukan introspeksi jika ingin mengadakan perubahan. Banyak yang buruk dari masa lalu, tapi tidak semuanya jelek. Mulat sarira, prinsip spiritual dalam budaya Hindu Bali yang menganjurkan wawas diri sebelum menilai orang lain, berada di jantung buku puisi Alit. Sering kali introspeksi itu berjalin dengan renungan filosofis. Misalnya refleksi perihal kesetaraan martabat manusia: Apa salahnya jadi sudra? / Jika warna seharusnya terukur dari perilaku / Silsilah hanya catatan kelahiran / Waktu lalu melumatnya, dan bertanya / Bagaimana kau menjalani perintah kelahiran di lintasan warna (halaman 42).

Diksi “warna” dalam Arunika perlu mendapat perhatian khusus. Kata “warna” dalam puisi Alit tidak mengacu pada arti yang umum dipahami oleh kebanyakan penutur bahasa Indonesia. Sebagaimana tersirat dalam kutipan puisi di atas, “warna” dimaknai mengikuti definisi kedua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu “kasta; golongan; tingkatan (dalam masyarakat)”.  

Pemaknaan khusus juga perlu diberikan pada judul buku puisi Alit. Berasal dari bahasa Sanskerta, “arunika” didefinisikan sebagai “seberkas cahaya matahari setelah terbit di pagi hari” dan “pemandangan saat matahari terbit”. Kata “arunika” berkaitan dengan matahari. Bukan kebetulan kaum bangsawan Brahmana di Bali lazim disebut “surya”. Mereka diibaratkan sebagai matahari, simbol kemuliaan dan keagungan. 

Arunika yang dinobatkan sebagai Buku Sastra Pilihan Tempo 2023 bidang puisi ini mengisyaratkan bahwa Bali, dengan segala kemuliaan dan keagungan citranya, ternyata menyimpan banyak luka yang perlu disembuhkan. Buku ini menyuarakan gugatan perempuan Bali terhadap sistem yang melukai perempuan, ditulis dengan bahasa perempuan, dari kacamata domestik seorang perempuan.

Setelah pembaca mendengar suara Arunika, mungkin Bali tak lagi terlihat baik-baik saja. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Arunika dan Gugatan Perempuan Bali"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus