Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJALAN dengan keindonesiaan itu sendiri, yang kebangkitan dan perkembangannya berlangsung pada masa kolonial Belanda, terutama sejak sekitar awal abad XX, sejarah sastra Indonesia adalah sejarah yang kelahiran dan perkembangannya sangat dipengaruhi sastra modern Barat. Bahkan ada semacam kesepakatan banyak ahli bahwa karakteristik sastra Indonesia pada dasarnya terletak pada modernitasnya. Namun, karena persentuhannya dengan sastra modern Barat ini bisa dikatakan sangat terlambat, sejak awal kelahirannya ia sudah dihadapkan pada dua paham yang bertentangan, yang bersumber dari sejarah sastra modern Barat itu sendiri, yaitu paham yang disebut seni untuk seni dan seni untuk masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara dalam sejarah sastra Barat kedua paham itu muncul berurutan secara kronologis, dalam sejarah sastra Indonesia kehadirannya cenderung simultan, dalam waktu yang relatif bersamaan. Begitulah seterusnya. Sementara periodisasi sastra modern Barat terbentuk dalam rentang waktu yang relatif lama, periodisasi sastra modern Indonesia berubah dalam waktu yang relatif cepat. Hingga, misalnya, ada semacam rumus bahwa setiap 20 tahun akan terbentuk periode baru dalam sejarah sastra modern Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka periode Balai Pustaka dengan segera diikuti Pujangga Baru, yang juga dengan cepat disusul Angkatan 45, Angkatan Baru, Angkatan 66, dan seterusnya. Setiap periode itu pun tidak sepenuhnya dihegemoni oleh hanya satu paham. Sejarah sastra Indonesia adalah sejarah yang penuh perdebatan, pandangan alternatif, dan kebaruan yang hampir terus berkelanjutan. Karena itu, dalam batas waktu tertentu, periodisasi sastra Indonesia seperti mengalami kebuntuan. Sejarah sastra Indonesia modern bisa disebut sebagai sastra yang akhirnya tanpa periode. Dari tahun ke tahun, ada saja karya-karya yang mengejutkan, yang membentuk tren dalam waktu yang cepat untuk kemudian digeser oleh kecenderungan baru lain.
Kecenderungan tersebut membuat panitia pemilihan buku terbaik Tempo dari tahun ke tahun selalu menemukan karya-karya yang dianggap mengejutkan, dengan variasi relatif tinggi. Pada 2020, yang dipandang mengejutkan adalah sebuah karya realis dengan warna yang sangat naturalistik, yang sangat kontras dengan kecenderungan umum pada masanya, yaitu karya-karya yang berbau pascamodern, penuh permainan estetik yang mengambang, bergerak dari penanda ke penanda. Waktu itu, panitia menyebutnya sebagai karya yang bergerak melampaui imajinasi, beyond imagination.
Setahun kemudian, pada 2021, karya yang dianggap mengejutkan oleh panitia adalah karya yang dengan komposisi yang begitu rapi, pilihan diksi yang halus, mengungkapkan dengan baik pengalaman personal seorang perempuan, dari pengalamannya mengandung, melahirkan, sampai dalam hubungan perkawinan lintas agamanya. Sementara karya yang terdahulu mengungkapkan secara terbuka pengalaman kolektif satu komunitas di sebuah desa kecil yang bisa dikatakan “amburadul”, karya yang kemudian ini memaparkan pengalaman personal dan sangat intim perempuan dalam kehidupan keluarga dengan kerumitan pertalian antara gender, kelas, dan agama. Adapun buku yang dianggap mengejutkan pada 2022 adalah novel yang berbau realisme magis, yang mempertalikan rentangan panjang perjalanan sejarah bangsa yang realistik dengan yang mistis, magis, dalam kesatuan alur yang terpadu.
Sony Karsono, penulis buku prosa "Sentimentalisme Calon Mayat", di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 31 Januari 2024. Tempo/Gunawan Wicaksono
Panitia pemilihan buku terbaik Tempo 2023 menetapkan tiga buku prosa dan tiga buku puisi dalam nominasi. Ketiga buku prosa berupa kumpulan cerita pendek dalam pengertian yang longgar, yaitu Sentimentalisme Calon Mayat karya Sony Karsono, Mimi Lemon karya Cyntha Hariadi, serta Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta karya Anton Kurnia. Ketiga buku itu pun memperlihatkan kecenderungan estetik dan filosofis yang bervariasi. Buku kedua memperlihatkan nada feminisme pascamodern dengan mengungkapkan pengalaman perempuan sebagai ibu dalam intensitas yang tinggi dan dengan cara pengungkapan yang begitu intim. Buku ketiga bereksperimen dengan citraan-citraan yang padat, dengan pola narasi yang menggantung, yang secara sengaja memotong bagian akhir alur, semacam penyelesaian. Namun, di antara ketiganya, buku pertamalah yang ditempatkan di posisi yang tertinggi, menjadi buku prosa Indonesia terbaik 2023. Paparan berikut ini menunjukkan kedalaman sekaligus kedangkalan dan kesederhanaan sekaligus kompleksitas buku itu.
Keunikan buku tersebut pertama-tama terletak di susunan isi cerita-cerita pendek di dalamnya. Dalam hal ini, tampak bahwa buku ini memperlihatkan sifat refleksivitas diri pascamodern dengan memuat bukan hanya karya-karya cerpen yang murni, tapi juga semacam kredo dari cerita-cerita tersebut. Namun kredo itu tidak disampaikan dalam bentuk esai terpisah, melainkan dalam rupa cerpen pula. Dengan serangkaian catatan kakinya, kredo itu menampakkan diri sebagai sebuah cerpen esai yang sejati, yang kedalaman referensinya dapat disetarakan dengan The Waste Land karya T.S. Eliot yang juga dikutip dalam cerpen-kredo tersebut.
Cerita dalam cerpen-kredo itu sendiri mengimplikasikan setidaknya dua hal, yaitu percampuran fiksi dengan kenyataan dan kedekatannya dengan genre fiksi ilmiah yang futuristik. Cerita tentang seorang sastrawan pornografis pada 1970-an, yang bernama Surabaya-Johnny, dituturkan oleh seorang peneliti sastra Indonesia dari Belanda pada 2044. Dengan cara demikian, cerpen-kredo ini menempatkan sastrawan tersebut dalam dua konteks sekaligus: sastra Indonesia sekaligus sastra dunia.
Kesurabayaan cerpen-cerpen karya Sony Karsono ini mendekatkannya sekaligus pada “dunia jungkir balik” Budi Darma, dan pada gilirannya pada pembalikan radikal dalam, katakanlah, “nalar Surabaya”. Orang-orang Surabaya terkenal sebagai masyarakat yang mempunyai banyak anekdot. Yang paling menonjol adalah anekdot mereka mengenai orang Madura yang dalam batas tertentu bisa juga bernada memuji sekaligus merendahkan. Dalam anekdot-anekdot itu, orang Madura cenderung digambarkan sebagai komunitas yang mempunyai nalar berbeda, aneh, tapi dalam batas tertentu mengandung kebenaran, setidaknya secara lokal. Contohnya dua anekdot tentang tukang becak. Ketika calon penumpang menawar harga dengan alasan tempat yang dituju kelihatan, tukang becak itu menyangkal dengan mengatakan bulan pun kelihatan. Ketika penumpang meminta memperlambat laju, tukang becaknya bilang, “Murah kok minta selamat.” Selain itu, foto Kartini diidentifikasi oleh orang Madura, kata sebuah anekdot, sebagai Nyonya Meneer.
Dalam istilah yang terdapat di kumpulan cerpen ini, kecenderungan demikian dinamakan “semesta makna” yang berbeda. Dengan semesta makna yang berbeda itulah cerita-cerita pendek ini, sebagaimana halnya karya-karya Budi Darma, menjungkirbalikkan bahasa dan, karena itu, citra-citra kehidupan yang “lazim”. Dalam Rafilus, Budi Darma melakukan hal demikian dengan semesta makna yang berpusat pada konsep massa. Rafilus sebagai representasi massa, bukan manusia yang individual, berdarah-daging, ia buat menjadi manusia yang bisa hidup berkali-kali, tidak bisa mati. Bahkan ketika Rafilus ditabrak kereta api sekalipun. Tapi kumpulan cerpen ini tidak menggunakan kerangka semiotik serupa, konsep massa yang sebenarnya bias ideologi kelas menengah (borjuis) dan feodal yang cemas menghadapi massa itu. Cerita-cerita pendek ini memusatkan pemaknaannya pada pembelaan terhadap tubuh sebagai entitas yang tertindas oleh pikiran yang “platonis”, yang berbasis pada jiwa, roh, ide, perasaan.
Pemusatan dan pembelaan terhadap tubuh itu membawa cerita-cerita pendek Sony Karsono ke dua masalah inheren, yaitu kematian dan seks. Semuanya menjadi hal yang tertekan, dilecehkan, dijauhi, dan dilupakan. Dan cerita-cerita pendek dalam kumpulan ini mencoba mengangkatnya kembali, menghidupkannya, dan memujanya.
SATU bulan setelah Bapak wafat, kuambil cuti dari perusahaan peti mati tempatku bekerja. Aku pergi mengunjungi candi-candi: puing-puing masa lalu, jejak-jejak para arsitek cemerlang tapi toh sudah lama mampus.
Di peron stasiun kereta api aku menginap, berbantal tas pakaian, beralas jaket kanvas. Kuamati detail-detail rimba stasiun. Aku sampai pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah kereta api hitam yang lewat tengah malam, mengangkut badut cebol jelmaan tawanan kamp konsentrasi Nazi, yang mengacungkan lolipop dan menyanyi: “Naik kereta api. Tut tut tut. Siapa hendak ikut? Menuju… Gusti Maut. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo, kawanku, lekas naik! Keretaku tak berhenti lama.”
Jangan mencari cinta atau sahabat dalam perjalanan kereta api hitam. Sia-sia. Kunyah saja kacang. Atau pesanlah koran, tisu untuk ingus, atau buku teka-teki silang bergambar orang setengah telanjang.
Tamasyaku ke candi-candi mengecewakan. Aroma maut sudah hilang di sana. Yang kutemukan hanya senyum pelancong, kacamata hitam bundar optimistis, tawa bocah main petak umpet yang menembus stupa-stupa. Atau sepasang remaja yang berciuman di balik arca Ganesha: saling piting, saling belit. Kubayangkan sebuah bom meledak, membungkam mereka. (halaman 4-5)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sebuah Pembelaan terhadap Tubuh"