Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua buku prosa dan dua buku puisi menarik perhatian juri.
Mereka mengolah hal sederhana hingga kegelisahan manusia modern.
Para penulis menghadirkan karya-karya yang bernas dan segar.
TIDAK semua karya harus menjadi nomor satu. Empat buku ini, dua prosa dan dua puisi, tak menjadi pemuncak, tapi tetap layak mendapat apresiasi tinggi. Keempat buku itu berhasil mencuri perhatian para juri—Seno Gumira Ajidarma, Faruk HT, Oka Rusmini, dan tim redaksi budaya Tempo—sehingga ditempatkan di tiga besar masing-masing kategori. Para penulis menyajikan aneka tema dengan ketekunan dan keterampilan menulis terpuji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua buku prosa itu adalah Mimi Lemon karya Cyntha Hariadi serta Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta ciptaan Anton Kurnia. Sedangkan dua buku puisi yang dimaksud adalah Kopi dan Kepo besutan Hasan Al Banna serta Tiket Masuk Bioskop Autobiografi karya Afrizal Malna. Pembaca sastra sudah cukup akrab dengan nama keempat penulis itu. Mereka bukan orang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cyntha Hariadi menorehkan debutnya dengan menulis kumpulan puisi Ibu Mendulang Anak Berlari. Karya tersebut menjadi pemenang ketiga Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2015. Tak berhenti di puisi, Cyntha merambah dunia penulisan prosa. Novelnya yang berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi pun masuk tiga besar Buku Sastra Pilihan Tempo 2020.
Kali ini Cyntha hadir dengan Mimi Lemon. Para juri mengapresiasi kumpulan cerita setebal 247 halaman ini. Di mata mereka, cerita dalam buku itu memperlihatkan nada feminisme pascamodern dengan mengungkapkan pengalaman perempuan sebagai ibu dalam intensitas tinggi dan cara pengungkapan yang begitu intim.
“Cyntha bercerita dengan dingin tentang hal-hal sederhana di wilayah domestik,” kata Oka Rusmini. Seno Gumira menimpali, “Penulisan yang halus dan canggih atas berbagai peristiwa sehari-hari, yang menjadikannya lebih dari biasa dan dramatik pula.”
Delapan cerita karya penulis yang lahir di Tangerang, Banten, 25 Juni 1973, itu menyuguhkan karakter tokoh yang meyakini hidup bisa demikian panjang. Ia hendak mengatakan kesukacitaan bukanlah sebuah akhir. Kesedihan, rasa sakit, dan kehilangan saling memburu.
Ada kepercayaan pada diri untuk menemukan kembali pegangan dan keseimbangan demi bertahan dari kesedihan, rasa sakit, dan kehilangan. Mimi Lemon menunjukkan bahwa kesusahan atau kegembiraan membaur dan hidup terus berlanjut.
Buku prosa lain yang menarik perhatian juri adalah kumpulan cerita pendek Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta karya Anton Kurnia. Penulis yang lahir di Bandung, 9 Agustus 1974, itu bereksperimen dengan citraan-citraan yang padat, dengan pola narasi yang menggantung, yang secara sengaja memotong bagian akhir alur, semacam penyelesaian.
Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta karya Anton Kurnia.
Dari segi penyajian, kumpulan cerpen itu membuktikan kelihaian Anton memainkan imajinasi dengan cukup halus. Dalam bercerita, menurut Faruk HT, Anton sangat lancar dan matang, hanya dengan sengaja dia memotong cerita. “Anton berhasil menunjukkan dirinya mempunyai kesadaran estetik,” tutur dosen sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Anton dikenal sebagai penulis cerpen produktif. Ia rajin mempublikasikan karyanya di berbagai media, termasuk Tempo. Selain itu, ia menulis esai dan catatan perjalanan serta menerjemahkan karya para pengarang mancanegara. Sejumlah karyanya telah dikumpulkan dalam beberapa buku.
Di kategori puisi, Kopi dan Kepo karya Hasan Al Banna menjadi salah satu buku yang masuk tiga besar. Lewat diskusi yang intens, para juri begitu yakin buku karya penulis yang lahir di Padangsidimpuan Sumatera Utara, 3 Desember 1978, ini mampu menyuguhkan sesuatu yang segar.
Kopi dan Kepo karya Hasan Al Banna.
Di mata juri, Kopi dan Kepo menghadirkan permainan kata yang cerdas dan bernas sehingga membuat rasa puisi cukup segar. Hasan, yang dikenal produktif menulis cerpen, juga menyajikan narasi yang lucu dan bermutu untuk membentuk pepatah-petitih baru. “Itu menunjukkan juga betapa humor tidaklah tabu dalam susastra,” ujar Seno Gumira.
Kopi dan Kepo memuat kata demi kata yang mempunyai bunyi sama. Kata-kata dalam puisi itu cukup leksikal, kurang menyentak, tapi berhasil membuat pembaca merasa perlu lebih dalam mencari tahu maknanya. Ia menghadirkan kata-kata yang mirip tapi punya arti berlainan. Nah, upaya mencari makna itu membuat 50 puisi dalam bukunya perlu dibaca berkali-kali.
Buku puisi lain yang mendapat ponten bagus dari juri adalah Tiket Masuk Bioskop Autobiografi karya Afrizal Malna. Bagi juri, buku setebal 144 halaman itu memperlihatkan intensitas menempatkan pertanyaan atau gugatan penulis terhadap realitas dunia modern. Teknologi membuat manusia bisa menjangkau apa saja.
Tiket Masuk Bioskop Autobiografi karya Afrizal Malna.
Pernyataan atau kesadaran semacam itu berkelindan dalam puisi penyair yang lahir di Jakarta pada Juni 1957 tersebut. Ada masa depan, masa tua, yang terus bergelora sekaligus tersisi yang bisa dibaca dalam rumpun puisinya.
Puisi-puisinya menghadirkan kekayaan wacana kontemporer. “Wacana kontemporer yang kaya dalam poetika pascamodern, dari seorang tua yang merenungkan zaman pada babak akhir hidupnya,” kata Seno Gumira.
Bagi juri, puisi-puisi Afrizal selalu kuat dan mempunyai tempat yang sulit tergeser. Namun selalu ada upaya penulis-penulis lain untuk melampaui atau mengunggulinya dari sisi kesegaran dan kebaruan. Dengan begitulah dinamika estetik terus hidup dan melahirkan iklim kreativitas yang sehat sekaligus menjadi bukti bahwa sastra Indonesia terus melesat.
IHSAN RELIUBUN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Prosa dan Puisi yang Mencuri Hati"