Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Album Gelap Gempita, Suara Keresahan Duo Sukatani

Lewat album Gelap Gempita, duo Sukatani menyuarakan keresahan terhadap situasi sosial, politik, dan lingkungan yang memuakkan.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK punk adalah salah satu genre yang bangkit dengan geliat paling kencang di industri musik Indonesia pascapandemi. Nama baru seperti The Jansen dan Dongker terus diperbincangkan para pendengar musik Indonesia hingga hari ini. Lantaran irisan akarnya yang kuat dengan politik, ideologi, prinsip, hingga aspek musikal punk kembali diperdebatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali ini—berkat amplifikasi media sosial—hal-hal tersebut keluar menembus gelembung scene punk dan menjadi diskursus publik. Apakah punk mesti melulu politis atau ia dapat pula sebatas jadi “kendaraan” untuk konsumsi hiburan kasual yang masif dan mudah ala musik populer? 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Al alias Alectroguy (produser/gitaris) dan Ovi atau Twister Angel (vokalis) yang tergabung dalam Sukatani, duo electro-punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, tampaknya berhasil memberi jawaban (atau contoh) ideal terhadap diskursus itu dengan album debut mereka yang berjudul Gelap Gempita. Album yang dirilis pada Juli 2023 ini dipecah menjadi delapan trek yang berdurasi 30 menit.

Album Gelap Gempita meleburkan kelugasan etos punk rock yang terinspirasi dari grup musik Sex Pistols, The Damned, dan Dead Kennedys dengan lirik politis-frontal slash aransemen minimalis tiga jurus dengan dengung melodis synthesizer bergaya new/dark wave 1980-an. Hasilnya adalah album dengan etos politik punk yang ketat tanpa mengabaikan kualitas pop yang mempermudah konsumsi bagi khalayak musik. 

Tak percaya? Mari kita tekan tombol play pada trek pertama, “Sukatani”. Lagu ini menyajikan potongan spoken word pasif-agresif seorang petani sedang menjamu orang perusahaan yang sekaligus pernah merebut lahannya di masa lalu. 

Selanjutnya, segera menyusul empat not synth-bass, dentum kick drum elektrik, serta riff-riff gitar sederhana yang hampir seluruhnya dikonstruksi oleh Al dari laptopnya. Kemudian, vokal Ovi yang terdengar berada di titik tengah antara gaya vokal punk Poly Styrene dari X-Ray Spex dan Bikini Kill serta gaya vokal gothic Siouxsie hadir melengking membelah mic

Dalam bahasa Banyumasan, ia menyanyikan tribute untuk para petani: Maturnuwun wong tani / Dewek dadi tayang makan / Maturnuwun wong tani / Sing wis ngejaga lingkungan. Itu semua dihadirkan dalam tempo cepat menjelang akhir lagu. 

Lagu “Sukatani” adalah trek pembuka yang lugas, sederhana, tapi kuat dalam konteks politik. Mereka berhasil menyampaikannya dengan beat yang secara instan dapat membuat pendengar menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. 

Nama band yang tak lazim, Sukatani—yang terdengar seperti nama sebuah desa—tak lepas dari latar belakang mereka berdua sebagai anggota kolektif petani muda bernama Harvestmind yang berbasis di Purbalingga. Di grup tani yang awalnya terbentuk lewat kebersamaan mereka dalam kegiatan-kegiatan perpustakaan jalanan tersebut, Al dan Ovi sudah pernah bermusik dengan proyek masing-masing. Mereka kemudian bertemu dan belajar mengenai pertanian organik, sistem koperasi, kedaulatan pangan, aktivisme petani, lingkungan, sosial, dan budaya, sebelum akhirnya memutuskan bermusik bersama. 

Sampul album Sukatani, Gelap Gempita.

Dengan naiknya jumlah kasus konflik agraria pada 2023, ditambah masih lemahnya regenerasi petani di Indonesia, kegiatan menanam serta aktivisme mereka menjadi sebuah pernyataan politik yang tegas. Maka itu musik boleh dibilang hanya perpanjangan media dari ideologi yang telah terbentuk oleh rutinitas dan pemandangan sehari-hari yang mereka lalui. 

Semangat agraria antikapital yang bercampur dengan pengaruh street punk melalui perpustakaan jalanan inilah yang kemudian diterjemahkan Al dan Ovi ke dalam tema besar Gelap Gempita. Lagu “Bayar Bayar Bayar” mengkritik loop korupsi yang kerap dilakukan oleh aparat kepolisian: Masuk penjara bayar polisi / Keluar penjara bayar polisi / Aduh ku tak punya uang / Untuk bisa bayar polisi.

Lalu tembang “Alas Wirasaba” adalah hasil refleksi Ovi atas lahan bermain masa kecilnya yang kini telah habis dibabat untuk dijadikan bandar udara: Lah, siki alase ’ra ana/Wis didadikna bandara/Terus inyong arep dolanan nang ngendi ya?

Adapun lagu “Realitas Konsumerisme” merupakan nyinyiran (atau justru self-mockery?) mereka terhadap budaya konsumerisme yang pada akhirnya selalu menjerat rakyat kecil tak berkecukupan: Kredit cicilan dan hutang tanpa ada urgensi/Kaji ulang dan dipikir lagi / Sesungguhnya kemampuan belum mencukupi. 

Penggunaan bahasa Banyumasan juga sesuatu yang terdengar segar dan baru pada penulisan musik punk (bahkan pop) di Indonesia. Hal ini menjadikannya sebuah akulturasi unik yang melekatkan identitas geografis mereka berdampingan dengan pengaruh musik mereka yang sebagian besar diimpor dari Barat. 

Setelah membuat pendengar mencari arti lirik dalam Banyumasan, Gelap Gempita justru ditutup dengan title track dan kritik kepada penguasa dengan metode alih kode bahasa Inggris-Indonesia: Di dalam harap mereka / Cahaya kemenangan / The light shining on them / Will be blocked by this flag.

Sukatani saat berpentas dalam Popsync di Karsadia Culture Space, Purwokerto, Jawa Tengah, Oktober 2023. Nois Are Sip!

Penggunaan alih kode juga dapat menjadi acuan bahwa sedalam apa pun mereka menceburkan diri ke aktivisme, mereka merupakan generasi muda hari ini yang besar dengan menyerap banyak bahasa, terutama dari Internet. 

Dapat dilihat bahwa lirik-lirik mereka ditulis dengan gaya realisme sosial yang lugas dan frontal tanpa banyak menggunakan simbol dan metafora. Meski demikian, Gelap Gempita tak terasa melelahkan dan penuh amarah. Sesekali, mereka menyisipkan frasa catchy nan menggelitik: “Mau jadi polisi, bayar polisi!” atau “Semakin tua semakin punk!” untuk menyeimbangkan muatan temanya yang gelap dan pesimistis. 

Segala kelugasan ini, bila disandingkan dengan irama elektronik yang riang dan asyik mengentak, jelas menyiratkan Sukatani menginginkan pesan politik mereka menjangkau seluas mungkin pendengar Gelap Gempita. Ini mereka tujukan baik bagi para pendengar musik Indonesia secara umum maupun terbatas di kalangan penikmat punk itu sendiri.

Pada sampul album, Al dan Ovi berdiri di atas puncak bukit, membentangkan bendera tengkorak hitam layaknya bajak laut dengan tipografi Sukatani dalam huruf hijaiah. Mereka berdua mengenakan kacamata hitam dan balaclava cerah berwarna merah muda dan biru muda yang menutupi sekujur kepala mereka. Sejumlah kontras tersebut dengan akurat menggambarkan Gelap Gempita: marah dan menggugat, sekaligus cerah dan energetik. 

Meski album ini merupakan debut, dengan kombinasi antara aktivisme tani yang nyata, musik yang siap meretakkan lantai dansa, serta karakter dan visual yang kuat, rasanya duo Sukatani layak menjadi suara baru yang setiap pergerakannya patut dipantau baik dalam aktivisme, musik, maupun sintesis keduanya.

Hal-hal itulah yang kemudian menjadi pertimbangan para juri menobatkan Gelap Gempita milik Sukatani sebagai Album Pilihan Tempo 2023.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suara Keresahan Duo Sukatani"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus