Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas pertunjukan Irwan Ahmett.
Menyodorkan isu lingkungan dalam pertunjukan.
Penguasaan medium yang matang.
IRWAN Ahmett terjun ke laut dari perahu yang ditumpanginya. Ia melihat getek terapung-apung. Ia lalu berdiri di getek yang terombang-ambing ombak. Dikibarkannya kantong kresek merah. Tanda bahaya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepotong rekaman video itu disorotkan ke layar di panggung. Adapun orang yang terjun itu, Irwan, tampak duduk di belakang meja di panggung tersebut. Inilah pertunjukan yang disebut Satu Sekoci dengan yang Kubenci karya Irwan Ahmett dalam acara Djakarta International Theatre Platform 2023 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanda bahaya? Kiranya demikian. Pertunjukan lebih dari sejam ini ditutup dengan rekaman video adegan Irwan bertelanjang dan berjalan di pantai. Ia berhenti di satu titik, membungkuk seraya meraup pasir, lalu menyebarkannya ke empat penjuru mata angin. Ia melihat pohon kering menjelang mati. Pohon itu dia cabut, lalu dengan batangnya ia menggariskan lingkaran tak sempurna di pasir. Kemudian ditancapkannya pohon itu di luar lingkaran. Ia menjauh dari pantai. Pantai dengan suasana beku, mati, sisa pasir pulau reklamasi yang hancur. Kapal-kapal diam terapung antre. Tak tampak tanda-tanda kehidupan. Ini kontras dengan rekaman suasana laut sebelumnya dengan lalu lintas perahu dan kapal yang hidup, meski dalam kaitan dengan hidup yang muram, kemiskinan, kerusakan, dan sebagainya.
Apa pun namanya, Satu Sekoci dengan yang Kubenci adalah sebuah pertunjukan teater yang dari dulu disebut-sebut sebagai campuran seni sastra, peran, seni rupa, dan musik. Irwan dikenal berada dalam pergaulan dunia seni rupa yang selaras dengan perjalanan kesenian masa kini. Dia menggunakan segala yang dibutuhkan dan yang mungkin ditambahkan pada karyanya, seperti teknologi multimedia. Lihat saja, di meja di hadapannya terlihat laptop, kabel-kabel, dan peranti untuk mengisi daya gawai. Sound effect, yang salah satunya bunyi air di akuarium yang ia kobok-kobok, digaungkan di ruang pertunjukan dengan beratus kali lipat kerasnya. Tak hanya bising, suaranya menggelegar dan bersahutan, seperti suara ombak yang marah.
Seniman Irwan Ahmett di Muara Angke, Jakarta Utara, 30 Januari 2024. Tempo/Ratih Purnama
Inilah pertunjukan yang antara lain berangkat dari riset dan berjalan kaki di kawasan pantai sejauh 150 kilometer selama tiga pekan. Dalam perjalanan ini Irwan menyerap sepotong dunia yang mengendap ke alam bawah sadar dan kemudian mewujudkannya dalam karya seni. “Karena saya seniman,” ujarnya.
Serapan itu sungguh majemuk. Ia mengalami sentuhan cuaca pada kulitnya dan pengalaman menginap di berbagai tempat, dari masjid, sekolah, rumah kampung, hotel berbintang, hingga perahu. Selama itu ia bertemu dengan banyak orang, terutama komunitas nelayan. Seperti saat ia terjun ke laut dan merasakan ombak serta angin, ia pun mengalami sentuhan peristiwa-peristiwa nyata. Ada seorang remaja yang tewas tenggelam. Ada pula anak-anak yang tak tahu mengapa mereka dipisahkan dengan laut akibat dibangunnya tembok pembatas pembendung rob. Sementara itu, ia menengarai jumlah nelayan berkurang dan tangkapan ikan makin sedikit, sementara populasi kampung nelayan makin banyak.
Sudah tentu ada fiksi. Bukankah ini pertunjukan atau kesenian yang “pura-pura” dengan akting? Irwan dikisahkan jatuh cinta, “cinta monyet” katanya, kepada Sri Rumput, sebuah perahu. Perahu ini tak lagi berfungsi, dibuang, dan nanti remuk-redam diterjang perahu dan kapal yang lewat serta ombak yang membanting-bantingnya. Ada pula kisah Irwan menemukan tatapan mata yang menyentuh dari seekor beruk yang dirantai di kampung nelayan. Beberapa hari ia tidak mandi dan tidur bersama beruk tersebut hingga bau badan keduanya tak terbedakan. Terdapat sedikit gambaran erotik ketika beruk tersebut mulai menyentuh kulit Irwan dan ia mengelus bulu-bulu beruk itu.
Dalam perjalanannya, Irwan membebaskan beruk tersebut dan menitipkannya ke komunitas penyayang binatang. Ternyata ini sebuah penyesalan. Saat datang lagi ke tempat komunitas itu, dia mendapati kerangkeng beruk tersebut telah kosong. Pengurus komunitas tak memberikan keterangan apa pun. Irwan beroleh informasi dari seseorang bahwa beruk itu mati. Niat menyelamatkan justru mengantarkan beruk itu ke gerbang kematian.
Seniman Irwan Ahmett di Muara Angke, Jakarta Utara, 30 Januari 2024. Tempo/Ratih Purnama
Adakah pertunjukan Satu Sekoci dengan yang Kubenci muram tanpa harapan? Tebersit rasa perikemanusiaan tatkala dua orang yang saling membenci dalam satu sekoci diceritakan bekerja sama menghadapi mara bahaya. Harapan itu juga tecermin karena mereka yang mati tahu bahwa ia menghadapi sakratulmaut dengan ditemani orang yang menyayanginya. Hidup masih berharga dijalani, apa pun situasi dan kondisinya.
Pertunjukan Irwan Ahmett—sekali lagi, apa pun namanya—membukakan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin belum atau kurang intens disentuh. Menurut saya, Irwan memadukan segala media yang lazim dan yang “baru” begitu padu. Dia menyampaikan pesan bukan dengan “ceramah”, meski pertunjukan ini lazim disebut performance-lecture atau seni rupa ceramah. Pertunjukan dibangun dengan riset yang tidak “ilmiah”, tapi tak berjarak. Irwan terjun langsung ke laut, hadir di tempat pembuangan akhir sampah, dan sebagainya. Pesannya jelas tak disampaikan dengan “ilmiah”. Irwan tak masuk ke pemikiran penonton, ia mengetuk hati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kantong Kresek Merah Tanda Bahaya"