Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEWAT telepon, Pratikno menghubungi Mohammad Mahfud Md. pada Ahad siang, 20 Oktober lalu. Kepada Mahfud, Pratikno—waktu itu belum dilantik sebagai Menteri Sekretaris Negara lagi—menyampaikan pesan agar Mahfud tak berpergian selama dua hari ke depan. “Jam satu siang sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden, informasi masuk ke saya, katanya akan dipanggil Presiden untuk memimpin M-1,” ujar Mahfud kepada Tempo di kantornya pada Rabu, 23 Oktober lalu.
M-1 merujuk pada kantor Kejaksaan Agung di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Dikabari bakal menjabat Jaksa Agung, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu bersiap-siap. Ia merancang konsep untuk memperkuat kejaksaan apabila peran Komisi Pemberantasan Korupsi setelah revisi Undang-Undang KPK tak bertaji lagi. “Saya sudah punya konsep untuk menyeimbangkan KPK kalau lemah. Jadi Jaksa Agungnya yang harus kuat,” ujar Mahfud.
Sinyal bakal bergabungnya Mahfud ke kabinet sebetulnya telah lama muncul. Dalam beberapa pertemuan dengan Mahfud, Presiden Joko Widodo kerap melempar ajakan. Misalnya, sewaktu Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara berkunjung ke Istana pada 2 September lalu, Jokowi meminta Mahfud bekerja di sampingnya kelak. “Karena saya ketua rombongan, waktu itu jalan berdua dengan Presiden. Presiden bilang, ‘Pak Mahfud, bulan Oktober kita sama-sama, ya’,” tutur Mahfud, yang juga ketua umum di asosiasi tersebut.
Baru beberapa jam menyiapkan diri sebagai Jaksa Agung, ia kembali ditelepon Pratikno. Ahad petang itu, Pratikno mengabarkan bahwa posisi Mahfud dalam kabinet bukanlah Jaksa Agung, melainkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. “Pak Pratik bilang, ‘Kayaknya ada pergeseran yang sangat cepat. Pak Mahfud diminta memimpin Kemenkopolhukam’,” ujar Mahfud menirukan Pratikno. Setelah Pratikno menelepon, Luhut Binsar Pandjaitan—waktu itu telah demisioner dari posisinya sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman—menghubunginya dan menyampaikan pesan serupa.
Perubahan terjadi setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dipastikan masuk kabinet. Menurut dua pejabat yang mengetahui proses penggodokan susunan menteri, mulanya posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bakal ditempati Moeldoko, yang sebelumnya menjabat Kepala Staf Presiden. Moeldoko juga sempat diproyeksikan sebagai Menteri Pertahanan. Tapi, setelah lobi-lobi politik yang terjadi selama sepekan sebelum pengumuman kabinet, nama Moeldoko terpental dan digantikan Prabowo, pesaing Jokowi dalam pemilihan presiden lalu.
Saat ditanyai ihwal namanya yang dikabarkan terlempar dari bursa Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Moeldoko enggan berkomentar panjang. Ia hanya menyatakan Presiden masih menginginkannya bertahan di Istana. “Sewaktu kami menghadap Pak Jokowi, beliau sampaikan, ‘Sampean bertiga (Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Moeldoko) harus tinggal di seputaran Istana’,” ujarnya. Bersamaan dengan pelantikan Prabowo dan menteri lain, Moeldoko kembali diangkat sebagai Kepala Staf Presiden.
Masuknya Prabowo ke kabinet sebagai Menteri Pertahanan itu atas permintaan Gerindra sendiri kepada Jokowi. Politikus Gerindra, Sandiaga Salahuddin Uno, mengatakan orang yang pertama kali mencetuskan usul agar Prabowo menjadi Menteri Pertahanan adalah Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Usul itu disampaikan Fadli dalam pertemuan di rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, pada awal Agustus lalu. “Awalnya belum ada kepastian apakah Pak Jokowi bisa menerima atau tidak. Pak Prabowo juga bukan orang yang mencari posisi, kan,” ujar Sandiaga. Menurut dia, kepastian bahwa Prabowo akan menempati posisi tersebut diterima pada Ahad malam setelah pelantikan presiden.
Ketika dimintai konfirmasi, Fadli Zon mengakui bahwa dialah yang mengusulkan Prabowo menjadi Menteri Pertahanan. “Saya sampaikan kepada Pak Prabowo, kalau mau koalisi dan membangun negara, Pak Prabowo harus jadi Menhan,” katanya. Fadli jugalah yang pertama-tama menyampaikan pesan tersebut ke kubu Jokowi melalui sejumlah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dikabulkannya permintaan Gerindra oleh Jokowi mengubah konstelasi. Ryami-zard Ryacudu, yang diproyeksikan kembali menjadi Menteri Pertahanan oleh PDIP, akhirnya tergeser. Politikus PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan keputusan menentukan menteri merupakan hak prerogatif presiden.
Menurut seorang petinggi partai pemerintah yang mengetahui penyusunan menteri, penunjukan Mahfud sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu untuk mengatasi potensi friksi di kabinet, terutama di ketiga bidang tersebut. Gerindra dikabarkan keberatan bila jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan diisi Moeldoko, junior Prabowo di Akademi Militer. Moeldoko angkatan 1981, sedangkan Prabowo angkatan 1974. Adapun Mahfud diterima Prabowo karena menjadi ketua tim pemenangannya dalam pemilihan presiden 2014. Meski Mahfud tak lagi menjadi pendukung Prabowo, hubungannya dengan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu tetap baik.
Di antara partai pendukung Jokowi pun Mahfud tak dipermasalahkan. Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni mengatakan Mahfud bahkan bisa menjadi jembatan baru bagi Jokowi dan Prabowo.
Mahfud menyebutkan tak punya hambatan komunikasi dengan Prabowo. Ia mencontohkan, setelah pelantikan kabinet pada Rabu, 23 Oktober lalu, Prabowo menghampirinya. Sambil memegang bahu Mahfud, Prabowo mengatakan siap bekerja sama. Sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud bertugas mengkoordinasi kementerian dengan lembaga penegakan hukum dan keamanan, termasuk Kementerian Pertahanan.
Kepada Prabowo, Mahfud mengatakan akan mengunjunginya di kantor Kementerian Pertahanan, yang bersebelahan dengan gedung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Tapi Prabowo justru menolak rencana kunjungan tersebut. “Tidak boleh Bapak ke kantor saya. Saya yang menghadap Bapak,” ujar Mahfud menirukan Prabowo. “Artinya, dia terbuka untuk bicara. Itu sikap sportif tentara.”
DEVY ERNIS, AHMAD FAIZ, STEFANUS PRAMONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo