Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Separatisme Lebih Buruk dari Radikalisme

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md.:

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mohammad Mahfud Md. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RABU, 23 Oktober lalu, menjadi hari yang panjang bagi Mohammad Mahfud Md. Pagi-pagi benar dia sudah tiba di Istana Kepresidenan untuk dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Bersama istrinya, Zaizatun Nihajati, Mahfud lalu menuju kantor barunya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, untuk serah-terima jabatan dengan pendahulunya, Wiranto. Mahfud takjub melihat Wiranto hadir ke acara itu mengingat dia masih dalam perawatan setelah ditusuk di Pandeglang, Banten, Kamis, 10 Oktober lalu. “Saya terharu siang ini bisa langsung serah-terima dengan Pak Wiranto,” kata Mahfud.

Petang harinya, Menteri Pertahanan serta Menteri Hukum dan Perundang-undangan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu menggelar acara keluarga di kediamannya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Saat hari telah gelap, dia kembali ke kantor untuk mengikuti serangkaian rapat, termasuk dengan Komisaris Jenderal Idham Azis yang baru diajukan Presiden Jokowi sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Mahfud, 62 tahun, menutup agendanya hari itu dengan menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Wayan Agus, Devy Ernis, dan Aisha Shaidra, untuk wawancara khusus yang berlangsung hingga pukul 22.30.

Kepada Tempo, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 itu menguraikan tugas dari Presiden untuknya, kepemimpinan sipil atas militer, hingga perubahan jabatannya pada hari terakhir. “Sebenarnya saya diproyeksikan menjadi Jaksa Agung. Saya sudah punya konsep untuk menyeimbangkan pemberantasan korupsi kalau Komisi Pemberantasan Korupsi jadi lemah,” tuturnya.

Ketua tim kampanye Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2014 itu juga membeberkan hubungannya dengan Prabowo, yang kini menjadi Menteri Pertahanan. “Sekarang kelihatannya dia lebih kalem.”

Bagaimana proses penunjukan Anda menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan?

Sebenarnya saya diproyeksikan menjadi Jaksa Agung. Pada Minggu, 20 Oktober, sekitar pukul 13.00, Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) menghubungi saya, minta saya tidak pergi pada Senin dan Selasa karena akan dipanggil Presiden untuk memimpin M1. Itu sebutan bagi Jaksa Agung karena kantor Kejaksaan Agung di Blok M, Jakarta Selatan. Tapi, begitu selesai pidato pelantikan Presiden di Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ahad, 20 Oktober petang), Pak Pratikno menelepon lagi, mengatakan ada pergeseran sehingga saya diminta memimpin Kemenkopolhukam.

Reaksi Anda apa saat itu?

Saya kaget. Di penegakan hukum, saya sudah punya konsep untuk menyeimbangkan pemberantasan korupsi. Kalau Komisi Pemberantasan Korupsi lemah, Kejaksaan Agung harus kuat. Arah kerja saya akan ke situ. Tapi okelah, Presiden punya pertimbangan lain. Ternyata saya disuruh naik lagi. Nah, itulah sebabnya pada akhirnya saya jadi menteri koordinator.

Apa alasan Presiden Jokowi mengganti posisi Anda?

Pak Presiden tahu rekam jejak saya. Sebagai pengalaman politik, saya pernah di Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik. Sebagai pengalaman di pemerintahan, saya pernah menjadi Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman. Pak Jokowi mengatakan saya menjadi Menkopolhukam, tapi jangan bilang ke wartawan yang menunggu di Istana karena beliau yang akan mengumumkan. Makanya, sampai pelantikan, saya mengelak terus saat di­tanyai soal posisi.

Anda lebih ingin menjadi Jaksa Agung atau Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan?

Sama saja bagi saya.

Apa pesan Presiden saat menunjuk Anda?

Menangani persoalan hukum, radikalisme, perlindungan hak asasi manusia, deradikalisasi, separatisme, dan lain-lain. Itu kan memang bagian dari tugas Menkopolhukam.

Ada yang menjadi tugas prioritas?

Tidak ada. Melanjutkan saja. Saya punya bahan-bahan dari Pak Wiranto. Itu cukup bagus.

Apa pekerjaan rumah yang diwariskan Wiranto?

Banyak. Buku segini (tangan Mahfud memperagakan tumpukan buku). Seperti yang Pak Jokowi katakan, persoalan HAM sekarang jadi masalah. Nanti akan saya perjelas ke publik soal masalah-masalah dan rencana kerja kami.

Seberapa besar perhatian Presiden terhadap deradikalisasi?

Dia bilang radikalisme itu mengancam ideologi. Radikalisme yang dimaksud adalah yang mengancam keutuhan negara dan ideologi. Apa buktinya? Muncul pembelahan-pembelahan di masyarakat, muncul cyber war yang selalu menyerang pemerintah dan menawarkan alternatif ideologi lain. Presiden menguasai persoalan ini sehingga harus ditangani dengan serius. Penanganannya terpecah ke banyak kementerian. Yang menyangkut ketahanan ideologi menjadi ranah Kementerian Pertahanan. Soal radikalisme di pemahaman keagamaan menjadi ranah Kementerian Agama. Saya bisa ke mana saja.

Apa definisi radikalisme versi pemerintah?

Saat bertemu dengan Presiden, Senin lalu, kami tidak sampai membahas itu karena cuma pertemuan sebentar. Definisi radikalisme sifatnya akademis sekali. Ada sebelas ciri yang tidak mungkin saya bahas di pertemuan itu. Cuma ada pemahaman populer. Berasal dari kata “akar”, radikalisme adalah gerakan yang ingin mengubah ideologi secara mendasar melalui prosedur-prosedur tak resmi. Sistem yang ada dianggap busuk dan harus diganti. Orang yang tidak sependapat dianggap lawan.

Betulkah penunjukan Tito Karnavian (Kepala Polri 2016-2019) berkaitan dengan merebaknya radikalisme di lingkungan pegawai negeri?

Ya, tapi itu bukan bagian dari arahan Presiden. Sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa sekian persen pegawai negeri sipil terkena radikalisme, di tentara ada 3 persen, badan usaha milik negara juga sudah terkena.

Bagaimana membedakan radikalisme dengan semangat keagamaan?

Jangan samakan radikalisme dengan islam­isme. Itu berbeda. Radikalisme dikaitkan dengan Islam oleh pihak yang menggunakan agama untuk mengganti sistem keagamaan, sistem ideologi. Kalau islamisme, ideologi negara tetap Pancasila dengan NKRI. Penganut islamisme adalah orang yang ingin punya ciri khas sendiri sebagai muslim, tapi tidak radikal. Dia rajin salat, salawatan, dan sebagainya.

Termasuk memanjangkan janggut dan bercelana cingkrang?

Jenggotan itu soal selera. Saya tidak pakai ukuran itu, tapi dari perilaku dan pandangan. Saya pernah didatangi orang-orang yang ingin mengganti dasar negara. Tidak semua berjenggot dan bercelana cingkrang, tapi mereka dengan tegas mengatakan sistem negara kita sudah gagal dan harus diganti.

Anda sempat menyinggung soal pelemahan KPK. Apa langkah pemerintah untuk menguatkan pemberantasan korupsi?

Itu tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kami akan lihat ke mana arah perjalanan Undang-Undang KPK yang baru. Alternatif-alternatif masih terbuka. KPK dilemahkan menurut pemahaman masyarakat yang menolak revisi Undang-Undang KPK. Maka, bayangan saya, kalau KPK dilemahkan, Kejaksaan Agung harus kuat. Kejaksaan punya instrumen lebih besar dari KPK, bahkan sampai tingkat daerah. Anggarannya juga besar. Masak, ndak bisa. Kalau KPK dinilai dilemahkan, biar saya saja di Kejaksaan Agung. Tapi okelah, saya enggak jadi ke situ. Malah enak di kemenko ini. Kami akan kontrol bersama-sama dengan Jaksa Agung.

Apakah Anda terlibat dalam tim perumus draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK?

Saya tidak berbicara soal perpu. Begitu pertemuan Presiden dengan tokoh nasional pada 26 September lalu selesai, saya diminta jadi juru bicara. Padahal saya tidak bicara soal perpu di pertemuan itu. Yang bicara Bivitri Susanti (dosen hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan Feri Amsari (pakar hukum tata negara Universitas Andalas). Maka saya beri kerangka ilmunya saja. Pilihannya ada tiga: revisi undang-undang melalui legislatif, tapi belum tentu disetujui DPR; judicial review, tapi menurut saya akan ditolak Mahkamah Konstitusi karena undang-undang itu tidak bertentangan dengan konstitusi; lalu mengeluarkan perpu. Presiden mau mempertimbangkan itu, ya, silakan.

Aktivis HAM berharap Anda bisa menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Apa yang akan Anda lakukan?

Pak Wiranto sudah punya dokumen tentang apa yang sudah dilakukan, sudah sampai tahap apa, apa yang sudah selesai, apa yang tidak. Ini diselesaikan menurut undang-undang saja. Apabila bicara pelanggaran HAM masa lalu, kita lihat lagi apakah masih relevan. Misalnya peristiwa 1965, peristiwa Tanjung Priok, orang-orangnya sudah tidak ada juga.

Mana yang lebih berbahaya: radikalisme atau separatisme di Papua?

Menurut saya, separatisme lebih buruk dari radikalisme. Kalau radikalisme, masih mengajak adu pemikiran. Setengah memaksa, tapi tak melakukan kekerasan. Apakah di Papua ada radikalisme? Menurut saya, kalau sudah masuk gerakan separatis, pasti juga radikal. Gerakan separatis harus ditumpas, sementara gerakan radikal harus diluruskan. Makanya kita mau mengadakan program deradikalisasi. Kalau separatis, enggak bisa didiskusikan lagi.

Mahfud Md. (tengah) saat diperkenalkan Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Istana Merdeka, Jakarta, 23 Oktober 2019. TEMPO/Subekti

Artinya, pemerintah masih akan memakai pendekatan keamanan di Papua?

Enggak bisa satu pendekatan. Keamanan tetap perlu. Kalau pendekatan keamanan ditinggalkan, di sana makin panas. Tapi keamanan harus terukur sehingga pendekatan kultural juga menjadi penting. Keamanan itu diarahkan ke gerakan separatisme saja. Kalau, misalnya, penduduk satu desa tak bisa pulang karena takut pada aparat, itu melanggar kewajiban petugas negara. Tapi, jika ada yang menembaki orang lain di depan umum hanya karena korban adalah warga pendatang, harus ditindak, dong. Kita punya alasan secara hukum untuk melakukan itu. Masak, negara takut?

Bagaimana pemerintah menanggapi ke­inginan Papua untuk merdeka?

Indonesia ini negara berdaulat. Papua di bawah kedaulatan NKRI secara sah menurut hukum internasional dan konstitusi negara. Berbeda dengan Timor Leste dulu, yang memang masuk agenda Komisi Khusus Dekolonisasi (C-24 ) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Maka di sana diadakan referendum. Komite 24 punya daftar negara yang boleh merdeka, Papua enggak ada (dalam daftar).

Presiden Abdurrahman Wahid dianggap paling mendapat tempat di hati warga Papua. Apa kuncinya?

Pendekatan Gus Dur bagus. Pertama, mereka diundang diskusi. Ayo diskusi, tapi jangan deklarasi untuk merdeka, diskusi aja. Kemudian menggunakan “Papua” sebagai pengganti “Irian Jaya” sesuai dengan keinginan warganya. Memakai bendera Bintang Kejora boleh, tapi posisinya di bawah Merah Putih. Tidak berbeda dengan bendera klub sepak bola. Lalu, pada awal 2001, Gus Dur pergi ke Papua untuk melihat matahari pertama tahun itu karena posisi Papua paling timur. Padahal dia tidak bisa melihat, tapi makna simbolisnya mengena.

Presiden Jokowi mengawali kampanye pemilihan presiden 2014 di Papua, sampai menyapa warga dengan naik sepeda motor. Itu tidak cukup?

Pak Jokowi sudah melakukan pendekatan kultural. Tapi bagaimana kalau itu dijadikan kebijakan nasional? Bukan hanya spontanitas Presiden ketika berkunjung ke sana. Itulah yang harus kita kembangkan. Saya baru baca surat masuk yang belum dibaca Pak Wiranto. Ada sebuah surat yang mengusulkan pendekatan sosial-budaya di Papua. Itu akan kami diskusikan.

Anda hampir menjadi pendamping Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019. Apakah kali ini sempat waswas kembali mendapat harapan palsu?

Enggak. Ini clear soal politik. Dalam politik, tidak boleh marah. Saya terus mendukung Pak Jokowi kan menunjukkan saya tidak marah. Saya tidak menginginkan jabatan. Saya bekerja untuk negara, bukan agar menjadi wakil presiden.

Apa yang Presiden Jokowi sampaikan setelah tidak jadi memilih Anda sebagai calon wakil presiden?

Pak Jokowi bilang, “Pak Mahfud, ini memang soal politik. Partai politik enggak mau. Tapi pekerjaan negara ini masih banyak. Prof, nanti kita bersama kerja untuk negara.” Isyarat juga disampaikan Pak Jokowi saat Konferensi Nasional Pengajar Hukum Tata Negara, September lalu. “Pak Mahfud, bulan Oktober kita sama-sama, ya.”

Bagaimana Anda mempersiapkan diri sebagai orang sipil pertama yang memimpin kementerian ini?

Saya pertama kali menyadari hal itu saat dikirimi pesan WhatsApp oleh A.M. Hendropriyono pada malam sebelum diumumkan Presiden. Saya punya pengalaman menjadi Menteri Pertahanan di era Abdurrahman Wahid. Saat itu saya agak gamang. Orde Baru baru bubar. Gambaran waktu itu tentara keras dan jenderal-jenderalnya kasar. Tapi, saat saya ganti pejabat-pejabatnya, setelah saya jelaskan alasannya, mereka hormat. Mereka punya disiplin dan hierarki yang ketat.

Anda tahu orang yang sebelumnya diproyeksikan Presiden sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan?

Tidak tahu. Cuma tahu rumor-rumornya.

Benarkah posisi Anda untuk menjembatani Presiden dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto?

Itu rumor. Tulis saja itu sebagai cerita kamu, bukan cerita saya. He-he-he....

Bagaimana gambaran komunikasi dengan Menteri Pertahanan yang berada di bawah koordinasi Anda?

Misalnya dilihat kebijakan apa yang akan ia lakukan. Kalau agak aneh, ya, disampaikan yang seharusnya. Sekarang pengawasan ketat. Presiden juga sempat mengatakan Kementerian Pertahanan ini kementerian dengan anggaran terbesar. Artinya Presiden pun tahu ada potensi bahaya kalau pengelolaannya tak benar atau digunakan macam-macam. Karena itu, komunikasi dan koordinasi menjadi penting.

Setelah pemilihan presiden 2014, Anda masih berhubungan dengan Prabowo?

Tidak. Setelah dia kalah dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, saya tidak ikut karena saya tahu akan kalah juga. Setelah pelantikan Presiden Jokowi, saya pamit ke Pak Prabowo. Setelah itu, tidak pernah berkomunikasi. Cuma menyapa saat bertemu di seminar atau bandara.

Bagaimana komunikasi Anda dan Prabowo sekarang?

Bagus. Tadi saya bertemu di Istana, dia bilang, “Nanti kita saling koordinasi ya, Pak. Sekarang kita satu rumpun, satu koordinasi demi negara.” Artinya, dia terbuka untuk berbicara. Dia pegang bahu saya, saya pegang bahu dia. Itulah sikap sportivitas tentara. Tunduk pada hierarki.

Apa yang berubah dari Prabowo lima tahun lalu?

Sekarang kelihatannya dia lebih kalem. Dulu kan kalau ada apa-apa dia marah. Sekarang lebih bersahabat, hangat. Cuma sekali kita lihat dia marah saat kampanye di Yogyakarta, April lalu. Buk-buk-buk. Gebrak meja.

 


 

Mohammad Mahfud Md.

Tempat dan Tanggal Lahir: Sampang, Jawa Timur, 13 Mei 1957 | Pendidikan: Pendidikan Guru Agama Negeri Pamekasan, Jawa Timur; Pendidikan Hakim Islam Negeri Yogyakarta; Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta; Sarjana Sastra Arab Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Magister Ilmu Politik UGM, Yogyakarta; Doktor Hukum Tata Negara UGM, Yogyakarta; Profesor Hukum Tata Negara UII, Yogyakarta | Karier: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (23 Oktober 2019-sekarang), Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2019), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (2004-2008), Menteri Hukum dan Perundang-undangan (2001), Menteri Pertahanan (2000-2001)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus