Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT petang itu, lima puluhan perempuan dengan dandanan modis antre memasuki rumah Nunun Nurbaetie Daradjatun di Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan. Melewati empat lapis pemeriksaan pengamanan, mereka masuk ke ruang tamu dengan sofa dan kursi tamu jati bergaya Italia.
Teh, kopi, dan aneka suguhan terhampar di meja saji. Sore itu, sahibulbait mengundang para kolega menyaksikan peragaan busana dan kerajinan Nusantara. Tiga puluh menit bercengkerama di ruang tamu, pemandu acara mengajak tetamu memasuki ruang tengah. Ruang keluarga itu ternyata telah disulap menjadi area standing party.
Di ruang ini, tamu disuguhi koleksi berbagai lukisan, benda kristal, dan hiasan dinding dari porselen. Acara sore itu semakin lengkap dengan lenggak-lenggok peragawati yang memperagakan koleksi kebaya dan aneka kain kuno, seperti kain tapis Lampung. Berbagai jenis perhiasan menempel di tubuh sang model. ”Semua barang yang mereka kenakan koleksi pribadi Ibu Nunun,” tutur seorang tamu yang hadir pada acara akhir Juli 2007 itu kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Sumber Tempo di kalangan sosialita menyatakan istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Adang Daradjatun itu memang kolektor barang mewah. Selain mengoleksi kebaya dan kain kuno, perempuan 59 tahun itu paling suka mengoleksi berlian dan tas Hermes. ”Bahkan ada satu lemari besar khusus untuk menyimpan tas Hermes.” Di pasaran, tas itu ada yang Rp 1 miliar.
Kegemaran Nunun mengoleksi tas Hermes dibenarkan sahabatnya, Tience Sumartini. ”Tapi saya tak tahu berapa jumlahnya,” kata Tience. Teman lain menceritakan, Nunun juga sering mengadakan acara bersama teman-temannya di Hotel Dharmawangsa, Cilandak Town Square, dan Sentul. Tience tidak membantah atau membenarkan. Menurut dia, di rumah Nunun juga sering digelar acara pengajian dan salat tarawih berjemaah di bulan Ramadan. ”Saya sering ikut pengajian di sana,” kata Tience.
Menurut satu sumber, dalam bergaul Nunun sangat selektif. ”Dia hanya mau bergaul dengan istri pejabat dan nyonya duta besar.” Namun Rosa Rai Djalal mengatakan Nunun perempuan yang ramah, mudah bergaul, dan ulet bekerja. ”Beliau tidak memilih-milih teman,” kata istri Dino Patti Djalal, juru bicara kepresidenan, itu.
Rosa dan Nunun, bersama Anita Rusdy, Sendy Dede Yusuf, dan Siti Garsiah, mendirikan Perhimpunan Kebayaku. Nunun dan Rosa juga tergabung dalam Yayasan Mutu Manikam Nusantara, yang anggotanya kebanyakan istri anggota Kabinet Indonesia Bersatu.
DILAHIRKAN di Sukabumi, Jawa Barat, pada 28 September 1951, Nunun mewarisi darah pengusaha dari kedua orang tuanya, Engkip Dulkiflie (almarhum) dan Mimin Suparmi, pengusaha perkebunan cengkeh. Ibu tiga putra dan satu putri ini—Adri Ahmad, 38 tahun, Tuza Junius (35), Ratna Farida (30), dan Mochamad Azara (15)—mulai merambah dunia bisnis setamat dari Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia, Jakarta, pada 1980-an.
Proyek pertamanya adalah membangun fasilitas telekomunikasi Telkom Divisi Regional II. Sukses di bidang telekomunikasi, perempuan yang menikah pada 27 Februari 1972 ini melirik bidang agrobisnis, agroindustri, dan perusahaan media. Pada 1988, dengan modal sekitar Rp 80 miliar, Nunun mendirikan PT Wahana Esa Sambadha, yang kini menjadi PT Wesco, holding company Grup Wahana.
Salah satu anak perusahaan PT Wesco bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Di sinilah awal pertemuan Nunun dengan Ahmad Hakim Safari Malangjudo alias Arie Malangjudo, pengantar cek pelawat ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Sebagian cek diterima anggota Dewan di kantor PT Wahana di Jalan Riau, Menteng, Jakarta Pusat.
Cek itu, menurut pengakuan Arie, didistribusikan atas perintah Nunun sebagai uang terima kasih kepada anggota Dewan. Tak jelas uang terima kasih seperti apa. Tapi, pada saat cek dibagi-bagikan, anggota Komisi Keuangan Dewan baru saja selesai memilih Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia—yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom.
Bagi Miranda, Nunun bukan orang asing. ”Kami sering berkumpul dan mengadakan acara bersama,” kata Miranda. Keduanya berkenalan di San Francisco, Amerika Serikat. ”Putri Bu Nunun bersekolah dengan anak saya di San Francisco,” kata Miranda ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, awal April lalu.
Empat kali sudah pengadilan memanggil Nunun, tak satu pun dihadirinya. Melalui kuasa hukumnya, Nunun mengaku tidak bisa menghadiri persidangan karena sakit. Jenis penyakitnya termasuk ajaib: lupa berat, tidak bisa mengingat peristiwa lalu. ”Kalau dipaksakan, bisa menjurus pada demensia,” kata Andreas Harry, dokter pribadi Nunun. Kini, kabarnya, Nunun menjalani rawat inap di Singapura. Pada Desember tahun lalu, ia masih terekam oleh sebuah majalah gaya hidup luar negeri. Di sana ia berpose bersama suaminya dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Di situ, mengenakan kebaya hijau, Nunun terlihat segar. Senyumnya lebar mengembang. ”Fisiknya kelihatan sehat, tapi sebenarnya sakit,” kata Andreas.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo