Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rebutan Rezeki Di Simpang Tiga

Sopir taksi yang menghubungkan pelabuhan udara Simpang Tiga-Pekanbaru mengeluh.Usaha pertaksian "kris sempana" melakukan pungutan dari tarif penumpang ditambah setoran wajib pertahun. (kt)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMILIKI atau menjadi supir taksi pengangkut penumpang dari dan ke Pelabuhan Udara Simpang Tiga di Pekanbaru cukup menguntungkan. Bayangkan saja sebuah mobil taksi mampu mengumpulkan pendapatan bersih rata-rata Rp 75.000 per bulan dengan tarif Rp 1.500 sekali jalan. Ada sekitar 30 sampai 40 buah mobil taksi berplat hitam yang menghubungkan Simpang Tiga-Pekanbaru selama ini. Tapi belakangan timbul kegelisahan di antara pemilik maupun pengemudi kendaraan itu. Yaitu semenjak Walikota Pekanbaru mengizinkan berdirinya sebuah usaha pertaksian bernama Kris Sempana. Merasa sebagai sebuah perusahaan resmi, Kris Sempana melakukan pungutan 10% dari tarif penumpang ditambah setoran wajib Rp 15.000 setahun terhadap setiap taksi yang beroperasi di Simpang Tiga. Perusahaan ini sendiri tak berbuat banyak bagi taksi-taksi yang ada, kecuali menyediakan tempat parkir. Untuk mencari penumpang terserah kebijaksanaan pengemudi taksi itu sendiri-sendiri. Artinya boleh berebut. Diusir Pungutan itu tak saja dirasakan sebagai beban berat, tapi juga mengingatkan para pengemudi taksi akan kutipan Rp 50 tiap taksi di zaman sebelum ada Opstib dulu. Tapi lebih-lebih lagi, karena tindakan Kris Sempana dirasakan sebagai usaha liar dari salah seorang pemilik taksi. Sebab pada mulanya sekitar 34 orang supir sepakat membentuk semacam yayasan yang bertugas mengusahakan agar taksi-taksi berplat hitam itu diakui oleh Walikota Pekanbaru sebagai usaha resmi. Juga agar taksi-taksi itu tak lagi jadi makanan empuk pungutan oknum-oknum tertentu. Untuk itu seorang bernama Z. Arifin, salah seorang pengemudi juga, diserahi tugas itu. Ternyata Z. Arifin memang berhasil mendapat izin usaha taksi dari Walikota Pekanbaru. Tapi atas nama pribadinya, tak ada sangkut-paut dengan teman-temannya sesama pengemudi. Dengan izin inilah ia kemudian melakukan pungutan-pungutan tadi. "Bahkan kami diusir dari Simpang Tiga jika tak mau membayar pungutan itu," tutur seorang pengemudi taksi. Melihat keadaan tak beres itu, para supir kemudian membuat organisasi baru. Dengan wadah ini mereka minta kepada walikota agar mencabut izin Kris Sempana. Tak ada jawaban dari Balaikota Pekanbaru, sementara praktek pungutan jalan terus. Tapi lebih-lebih lagi keadaan pelabuhan udara itu menjadi kacau. "Sekarang sudah mulai main tarik koper dari tangan penumpang," keluh seorang penumpang di Simpang Tiga. Sedihnya pihak Organda Riau kelihatannya tak tertarik untuk turut meneyelesaikan. "Organda di sini tak berkuku," seorang pengurusnya mengaku kepada TEMPO. Padahal yang jadi pangkal keributan justeru kendaraan-kendaraan pribadi yang ditaksikan dan tak terdaftar sebagai anggota Organda. Tetapi mobil-mobil itu ditempeli kupon iuran Organda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus