Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang tragedi Cikeusik menunjukkan ada yang tak beres dalam penanganan insiden berdarah itu. Menurut Komisi Nasional, penyerangan warga anti-Ahmadiyah terhadap penganut ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu tak diantisipasi aparat, bahkan cenderung dibiarkan.
Polisi juga tak menindak otak pelakunya, yakni mereka yang membakar massa beberapa hari sebelum kejadian. Komnas juga mensinyalir keterlibatan Front Pembela Islam, organisasi yang keras memusuhi Ahmadiyah.
Minggu, 6 Februari lalu, ribuan orang menyerang rumah Ismail Suparman, pemimpin Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang, Banten. Mereka merangsek, membakar, dan membunuh. Tiga anggota Ahmadiyah tewas dibantai. Lainnya menderita luka berat dan ringan. Rumah jadi abu, sejumlah kendaraan tinggal kerangka.
Pengadilan menjatuhkan vonis 3-6 bulan penjara kepada para pelaku. Adapun anggota Ahmadiyah yang jadi korban, anehnya, malah dihukum kurungan enam bulan karena dituding menganiaya para penyerang dan menentang petugas.
Polisi sama sekali belum menyentuh FPI. Lurah Djohar, yang menurut keterangan sejumlah saksi berkali-kali membakar massa untuk melawan Ahmadiyah, hingga kini tak diadili. Komnas menyimpulkan, penyelesaian kasus Cikeusik hanya menyentuh pelaku di lapangan yang terlibat perkelahian dan cenderung menyalahkan korban.
Kelalaian polisi jelas mencurigakan. Mendengar rencana penyerangan sejak jauh hari, aparat hanya menurunkan personel yang jumlahnya tak seberapa. Blokade massa dilakukan di titik-titik yang masih bisa ditembus amuk. Kuat diduga, aparat membiarkan penyerangan.
Karena itu, penyelidikan ulang terhadap kasus Cikeusik harus dilakukan. Penegak hukum bisa menjadikan laporan Komnas HAM sebagai pijakan. Anggapan bahwa menyidik Cikeusik hanya mengorek luka lama sebaiknya dibuang jauh-jauh. Sebuah tragedi yang tak tuntas diusut justru akan menjadi api dalam sekam yang suatu saat kembali membakar.
Pemerintah seharusnya menyatakan komitmennya melindungi kebebasan warga negara dalam beragama. Sesuai dengan konstitusi, negara wajib melindungi warganya dalam beribadah menurut keyakinan masing-masing. Menegosiasikan perlindungan terhadap pemeluk suatu keyakinan karena tekanan pemeluk keyakinan yang lain sangat tak patut. Dalam tragedi Cikeusik, rencana mengungsikan jemaah Ahmadiyah sebelum penyerangan—bukan membentengi mereka dari serbuan—adalah wujud nyata negosiasi itu.
Payung hukum internasional juga kudu diindahkan. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi Indonesia dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya. Di situ dinyatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan masuk rumpun hak asasi yang paling fundamental—yang tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dilanggar dalam kondisi apa pun.
Kini pelanggaran Indonesia terhadap kovenan itu mendapat perhatian serius dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Maret lalu, Indonesia jadi gunjingan. Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Navanethem Pillay telah pula mempersoalkan intoleransi beragama dalam sejumlah kasus di Indonesia, termasuk insiden Cikeusik.
Sorotan komunitas internasional semestinya memberi baterai kepada pemerintah untuk bersikap lebih tegas: bahwa di negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia tidak ada tempat buat anarkisme terhadap pemeluk agama dan keyakinan apa pun, kendati minoritas. Negara seharusnya tak memberi ruang bagi mereka yang merasa telah menjadi tentara Tuhan—Sang Pencipta yang sesungguhnya tak perlu dibela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo