Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Remang Lilin Pemilu Daerah

Pemilihan kepala daerah Juni mendatang dibayang-bayangi intervensi pemerintah pusat. Mereka masuk lewat berbagai peraturan.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM Maruarar Siahaan tergagap ketika tiba-tiba lampu di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, padam Selasa pekan lalu. Sebelumnya sudah setengah jam lebih ia membacakan putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materiil Mayjen (Purn.) Ferry Tinggogoy terhadap Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

Tetapi, pet..., lampu mati. Padahal tinggal dua halaman lagi bagian pertimbangan akhir berkas putusan itu ia tuntaskan. Ditunggu hingga lima menit, listrik belum juga menyala. Dengungan suara pengunjung seperti lebah yang menggerayangi ruangan. Tidak ingin tenggelam dalam ketidakpastian, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie sigap meraih palu. "Sidang diskors," ujarnya.

Gedung itu ternyata tak punya genset. Sembilan lilin pun dinyalakan di meja hakim. "Ini dark justice. Walau keadaan gelap, dengan hukum keadilan dan kebenaran tetap kita tegakkan. Sembilan lilin yang menyala di hadapan hakim konstitusi adalah sembilan kebenaran," kata Jimly bercanda. Pengunjung tertawa.

Dalam keremangan, Maruarar melanjutkan tugasnya. Permohonan Ferry dikabulkan. Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah yang menyatakan hanya partai yang memiliki kursi di DPRD saja yang berhak mengajukan calon dalam pemilihan kepala daerah.

Betapa senangnya Ferry karena dengan demikian partai-partai gurem pun memiliki peluang terjun ke gelanggang pemilihan kepala daerah. Ketua PKB Sulawesi Utara itu memang berminat adu nasib di arena pemilihan kepala daerah Provinsi Sulawesi Utara. Pekan lalu, namanya sudah muncul sebagai kandidat menyusul nama-nama yang lebih dulu beredar. "Saya didukung gabungan partai dan partai kecil di DPR," katanya.

Tetapi tidak semua yang terjadi di ruang sidang hari itu melegakan penggugat. Pada kasus terpisah yang keputusannya dibacakan kemudian, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan mencabut pasal-pasal yang disinyalir memberi kemungkinan bagi intervensi pemerintah dalam pemilihan kepala daerah. Mahkamah, misalnya, menolak mencabut pasal yang membuat pemilihan kepala daerah mengacu pada peraturan pemerintah (PP).

Ini memang bukan persoalan hukum semata. Seperti dikemukakan Direktur Eksekutif Cetro, Hadar N. Gumay, dengan mengacu pada PP, pemilihan kepala daerah bisa dibelenggu. Pembentukan panitia pengawas, misalnya, mesti mengacu pada beleid pemerintah No. 6/2005 tentang pemilihan kepala daerah.

Padahal dalam belied itu disebutkan panitia pengawas dibentuk DPRD. Nah, dalam urusan pemilu daerah ini, DPRD dinilai tak netral. Di sana duduk politisi partai politik yang punya kepentingan karena calonnya ikut serta dalam pemilihan. Alih-alih mengawasi, panitia itu dikhawatirkan malah jadi alat parpol. "Kepentingan politisi DPRD bisa mempengaruhi panwas (panitia pengawas)," kata Hadar.

Yang sedikit menggembirakan para penuntut, yang terdiri dari 21 KPU Daerah dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dimotori Cetro, adalah Mahkamah Konstitusi mencabut pasal-pasal yang memuat pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD. Tapi, kata Hadar, tetap saja keputusan Mahkamah bermuka dua. "Ancaman bahwa pilkada bakal berlangsung tidak demokratis masih tetap besar," katanya. Sambil tersenyum masam, Hadar, yang hadir dalam persidangan itu, bertamsil, "Sidang yang gelap tadi (kasus Ferry) menghasilkan keputusan terang. Tetapi, dalam sidang yang terang, hasilnya justru gelap."

l l l

APA yang tergelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi itu adalah ujung dari jalan panjang yang sudah ditempuh sejumlah KPUD dan kelompok LSM. Semula jalan itu dirintis Ketua KPU Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Suparman Marzuki. Sejak tuntasnya pemilihan presiden tahun silam, Suparman menyadari ada sebuah "misi" yang mesti dilakukan begitu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 32/2004. "Saya baca dengan cermat, ternyata undang-undang itu banyak yang salah. Kalau ini dibiarkan, akan menimbulkan masalah di kemudian hari," kata Suparman.

Parman lalu menghubungi Ketua KPU DKI Jakarta, Mohamad Taufik, dan menceritakan titik-titik lemah aturan itu. Juga Ketua KPU Jawa Tengah. Lalu, "Kami sama-sama melihat banyak kelemahan dalam undang-undang tersebut," kata Parman.

Kemudian tiga Ketua KPUD itu sepakat bertemu sebelum pertemuan KPUD se-Indonesia. Tiga serangkai ini bermaksud mematangkan rencana dan mengajak KPUD yang lain. Maka, pada pertemuan KPUD seluruh Indonesia di Batam akhir November tahun lalu, ketiganya menggelar forum yang terpisah dari agenda resmi. Semula memang agak alot, karena hanya enam Ketua KPUD yang mendukung. Tetapi pendekatan terus dilakukan sehingga, saat permohonan uji materiil diajukan ke Mahkamah Konstitusi, ada 21 KPUD menerakan tanda tangan.

Di luar pagar, beberapa lembaga swadaya masyarakat merasakan kecemasan serupa. Salah satunya adalah Cetro. Menurut Hadar N. Gumay, kalau ingin pemilu berjalan demokratis, semua pintu kemungkinan terjadinya intervensi harus dikunci. "Baik intervensi dari peserta maupun pemerintah," katanya.

Semula, Cetro tidak menempuh jalur hukum untuk mengegolkan aspirasinya. Seperti diceritakan Smita Notosusanto, peneliti senior Cetro, mereka memilih menemui DPR meminta agar Undang-Undang No. 32/2004 diamendemen. "Berkali-kali kami memintanya dan mereka terus menolak," kata Smita kepada Oktamanjaya Wiguna dari Tempo. DPR beralasan undang-undang itu belum dilaksanakan. "Tidak ada jalan lain bagi kami selain menuntut ke Mahkamah Konstitusi," kata Smita lagi.

Pada tahap inilah kemudian kekuatan digalang dengan mengajak kalangan LSM lain. Ajakan ini disambut baik oleh, antara lain, Yayasan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (Jamppi), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), dan Yayasan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Gugatan lalu diajukan dan ternyata, di meja para hakim, permohonan mereka bertemu dengan permohonan yang disampaikan 21 KPUD. Substansi kedua gugatan itu dianggap sama dan sebangun.

l l l

BAGI hakim di Mahkamah Konstitusi, gugatan KPUD dan kelompok LSM itu seperti kiriman pekerjaan rumah yang bikin pening. Sejak diajukan akhir Desember tahun silam, para hakim melakukan beberapa kali pertemuan. Bahkan, jika ada waktu luang, mereka menyempatkan berdiskusi. Tetapi untuk mencapai kesepakatan bulat sungguh mustahil. "Sembilan hakim memiliki sembilan pendapat masing-masing. Semuanya ngotot," kata Jimly.

Hadar Gumay, yang secara tidak sengaja bertemu dengan Jimly di rumah Duta Besar Jerman ketika kasus ini tengah berlangsung, sempat mendengar "keluhan" sang hakim. "Susah sekali nyari lima hakim yang pendapatnya sama," kata Hadar mengutip Jimly. Memang, karena jumlah hakim konstitusi sembilan orang, diperlukan suara mayoritas untuk mengambil keputusan.

Peta perdebatan yang bengkok-bengkok di Mahkamah itu digunakan Cetro untuk memasukkan beberapa materi tambahan ke MK. Hal itu memang dimungkinkan karena Mahkamah sendiri membuka kesempatan. Cetro dan kawan-kawan berhasil memasukkan dua materi tambahan yang memperkuat tuntutan mereka. Dua materi itu adalah analisis Cetro mengenai upaya campur tangan pemerintah melalui bujet pemilihan kepala daerah, dan respons mereka terhadap pembentukan Desk Pilkada oleh Departemen Dalam Negeri (lihat, Tumpang Tindih Meja Pemilihan Kepala Daerah).

Palu akhirnya diketuk, meski tidak dengan suara bulat. Dari sembilan hakim, tiga di antaranya memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda). Mereka adalah Laica Marzuki, Maruarar Siahaan, dan Mukhtie Fadjar. Ketiga hakim ini sepenuhnya berpihak pada pemohon, yakni bahwa pemilihan kepala daerah adalah pemilu?sesuatu yang ditolak enam hakim lainnya.

l l l

MENEMPATI salah satu area di lantai lima bekas gedung Bank BDNI, Semarang, kantor KPUD Semarang itu terbilang mewah. Lembaga pimpinan Hakim Junaidi itu pun tak perlu pusing dengan segala tagihan listrik, telepon, air, langganan koran, maupun jasa office boy. Semuanya ditanggung oleh Sekretariat Daerah Kota Semarang, yang juga berkantor di gedung yang sama. KPUD Semarang siap menggelar pemilihan kepala daerah pada 26 Juni nanti. Anggaran Rp 6,5 miliar pun sudah disetujui DPRD Februari lalu.

KPUD bisa menikmati fasilitas demikian nyaman itu tak lain berkat jasa mantan Wali Kota Semarang, Sukawi Sutarip. Semasa aktif menjabat, dulu ia menyediakan salah satu ruang untuk digunakan KPUD. Kini Sukawi kembali tampil menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan itu. Apakah KPUD bisa bersikap netral? "Kami mempertaruhkan kredibilitas dan etika sebagai anggota KPUD jika kami ternyata tidak bersifat netral," ujar Hakim.

Dia juga menegaskan sikap independennya itu, meski Mahkamah Konstitusi baru saja menolak gugatan kelompok LSM dan sejumlah KPUD sekitar kemungkinan intervensi pemerintah melalui sejumlah peraturan. "Jangan harap pemerintah daerah bias mengintervensi kami."

Tekad Hakim ini masih perlu pembuktian. Bukti serupa juga bakal ditunggu dari KPUD di 143 kabupaten dan kota, serta 7 KPUD provinsi, yang bakal serentak menggelar pemilihan kepala daerah Juni nanti. Mampukah mereka bersikap independen dari pemerintah yang berperan besar dalam pemilihan kepala daerah ini?

Faktanya, pemerintah pusat memang telah merasuk jauh dalam mengurusi pemilihan tersebut. Sekjen Departemen Dalam Negeri, Siti Nurbaya, mengakui selain sebuah PP yang mengatur pemilihan kepala daerah (PP No. 6/2005) ada juga tiga peraturan menteri dan keputusan menteri yang dikeluarkan. Aturan itu meliputi pedoman fasilitas dan pembentukan Desk Pilkada, yang menjadi rujukan KPUD dalam menggelar hajatan pemilihan kepala daerah. Juga ada sebuah aturan yang mempertegas peran gubernur sebagai penyelenggara pemilihan itu (Peraturan Menteri No. 9/2005). Tetapi Siti menepis bahwa semua itu bakal digunakan pemerintah untuk mencampuri dan mempengaruhi hasil pemilihan kepala daerah. Ia bertutur kepada Mawar Kusuma dari Tempo, "Apa yang dilakukan pemerintah hanyalah melaksanakan undang-undang."

Tulus Wijanarko, Bernarda Rurit, Sita P., Sunariah, Heru C.N. (Yogyakarta), Sohirin (Semarang)


Rawan di Berbagai Tahap

  • Penyusunan kelembagaan seperti panitia pengawas

    Potensi Kerawanan Karena dibentuk DPRD, ada potensi pertarungan politik.

  • Penjaringan calon

    Potensi Kerawanan Rawan politik uang.

  • Pencalonan

    Potensi Kerawanan Adanya persyaratan yang tidak spesifik berpotensi menimbulkan berbagai ragam penafsiran dan menyebabkan kekacauan. KPUD akan mendapat banyak tekanan dari opini publik ataupun dari calon kandidat.

  • Penyusunan daftar pemilih

    Potensi Kerawanan Ada kemungkinan rekayasa untuk kepentingan calon tertentu.

  • Kampanye

    Potensi Kerawanan Kemungkinan keterlibatan emosi pendukung sangat besar.

  • Penghitungan suara

    Potensi Kerawanan Berpotensi terjadi penggelembungan suara akibat keberpihakan penyelanggara pemilihan kepala daerah pada calon tertentu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus