Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Putusan ini Harus Jadi Solusi

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang belum lagi berjalan setengah waktu, tiba-tiba pet?, listrik di gedung Mahkamah Konstitusi padam. Para peserta sidang satu per satu meninggalkan kursinya, keluar ruang dan berkerumun di beranda gedung, ibarat laron di sekitar lampu.

Di dalam kegelapan ruang sidang, Jimly Asshiddiqie tampak tetap tenang. "Hari ini saya memimpin dark justice dengan sembilan lilin kebenaran," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi itu, berseloroh, menyela suasana singup persidangan. Ia tetap membacakan putusannya, meski hanya diterangi "lilin kebenaran" itu.

Selasa siang pekan lalu itu, lembaga yang dipimpin Jimly memutuskan mengabulkan sebagian permohonan uji materiil pasal-pasal pemilihan kepala daerah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Keputusan itu diambil setelah melalui serangkaian perdebatan.

Setidaknya tiga dari sembilan hakim berbeda pendapat mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi itu. Bagaimana sebenarnya para hakim itu membahas dan memutuskan permohonan uji materiil pasal-pasal pemilihan kepala daerah itu? Mengapa putusan Mahkamah dinilai politis oleh banyak pihak? Berikut petikan wawancara Sita Planasari dari Tempo dengan Jimly Asshiddiqie di ruang kerjanya, Kamis silam.


Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materiil Undang-Undang Pemda dinilai bersifat politis oleh banyak kalangan. Bagaimana tanggapan Anda?

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu memang politis, karena menyangkut perkara yang sarat muatan politik. Mahkamah ini kan memang mirip DPR. DPR membuat undang-undang, kami membatalkannya. Bedanya, kalau di parlemen itu murni politik, kalau kami berada di lapangan hukum. Soal ada yang senang, ada yang kecewa, itu biasa dalam peradilan. Tak perlu dirisaukan. Jadi, susah kalau bicara soal reaksi itu. Bagaimanapun, kami memang tak bisa memuaskan semua orang.

Malah ada kesan, keputusan itu untuk menyenangkan kedua pihak?

Sebagai lembaga peradilan, keputusan MK jelas berpihak pada hukum. Tapi, ya, susah jika bicara kesan. Ada yang minta kami tak terlalu teknis hukum, tapi juga harus bisa melihat masalah ini secara politis kenegarawanan. Tapi, jika politis, kami juga dikatakan tidak mempertimbangkan rasa keadilan.

Munculnya kesan win-win solution kan karena ada yang mempersepsikan. Tak perlu dipersoalkan, karena pasti terpengaruh kepentingan. Statement pihak yang berkepentingan tidak dapat dijadikan ukuran menilai obyek yang akan dinilai.

Kabarnya tiga hakim berbeda pendapat soal pemilihan kepala daerah?

Ya, keputusan itu diambil melalui proses panjang dan penuh perdebatan. Semua ngotot. Para hakim itu semuanya senior, punya pendirian dan paradigma sendiri dan juga independen.

Saking alotnya, kami harus bertemu 110 kali sejak bulan lalu untuk membahas perkara ini. Jadinya panjang dan melelahkan. Anda bisa membayangkan betapa berat tugas Ketua Mahkamah Konstitusi. Kami tak hanya harus mencari yang benar, tak hanya tekstual, tapi juga materiil karena putusan ini harus jadi solusi.

Mahkamah memutuskan, di masa datang pemilihan kepala daerah dilaksanakan KPU. Mengapa tak dijelaskan kalau itu tidak dilakukan sekarang?

Pembentuk undang-undang berpikir zakelijk, karena soal pilkada (pemilihan kepala daerah) itu tidak ada dalam Pasal 22 e UUD 1945 yang mengatur soal pemilu. Mereka melihat pilkada itu bagian dari persoalan pemda, jadi masuk Undang-Undang Pemda.

Maksud konstitusi, pilkada memang bukan pemilu. Secara formal, pemilu ditegaskan dalam Pasal 22 e UUD 1945. Tapi, secara materiil, pilkada itu pemilu juga. Begitu kami pelajari original intent-nya, pilkada tidak ditujukan sebagai pemilu. Kepala daerah dipilih secara demokratis, sementara di ayat lain tertulis Kepala DPRD dipilih melalui pemilu. Jelas sekali bila dibaca risalahnya, karena yang dimaksud demokratis itu pilihannya langsung atau tidak langsung.

Dari segi niat memang tidak langsung. Tapi pembentuk undang-undang kemudian membuat undang-undang yang menentukan pilkada harus dilakukan langsung. Dengan kata lain, pilkada menjadi pemilu karena tafsir pembentuk undang-undang. Apakah salah pembentuk undang-undang menafsirkan seperti itu? Kan justru lebih bagus. Tapi bukan berarti itu salah dan benar.

Meskipun secara materiil benar, bukankah secara formal pembentuk undang-undang itu melanggar ketentuan yang lebih tinggi?

Tidak. Meski bertentangan dengan Pasal 22 e UUD 1945, pasal itu dengan jelas tidak menyebut soal pilkada. Jadi, kami tak bisa menghukum pembuat undang-undang karena dia tak melanggar. Mereka tidak salah karena menafsirkan demokratis itu dengan pemilihan langsung.

Saat membuat undang-undang itu, mereka takut keluar dari paradigma Undang-Undang Pemda. Mereka kira, kalau menafsirkan pilkada sebagai pemilu, takut melanggar UUD 1945. Karena itu, mereka mencari lembaga penyelenggara bukan KPU melainkan KPUD.

Kalau mereka mau konsisten, harusnya mereka membentuk komisi khusus, yakni Komisi Pilkada, di setiap provinsi. Namun, itu tidak efisien. Lalu mereka mencangkokkan ke KPUD. Ini terjadi karena mereka mencari cara agar tidak salah. Dengan keputusan MK kemarin, mereka tidak lagi salah bila mendefinisikan pilkada sebagai pemilu dan penyelenggaranya adalah KPU, bahkan tidak perlu disebut KPUD karena mereka satu institusi.

DPR khawatir, keputusan Mahkamah Konstitusi justru kian meningkatkan kemungkinan pemerintah mengintervensi pemilihan kepala daerah melalui peraturan pemerintah?

Peraturan pemerintah (PP) tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Kalau itu terjadi, silakan ajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Setelah keputusan MK kemarin, semestinya pemerintah membuat internal review terhadap PP yang terkait dengan pilkada. Perubahan yang terjadi akibat keputusan MK dengan sendirinya akan memberi akibat pada materi PP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus