Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tumpang Tindih Meja Pemilihan Kepala Daerah

Pemerintah membuat desk khusus untuk menangani pemilihan langsung kepala daerah. Diduga, cara lain memboroskan dana.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kantor Gubernur Bengkulu, ada ruang yang tampak lega. Tempat yang luasnya satu pintu toko itu hanya diisi empat saf meja yang kosong, tanpa ada peranti kerja, termasuk komputer. Padahal, sebelumnya ruang itu riuh oleh puluhan pegawai biro pemerintahan umum dan otonomi daerah. Inilah ruang kerja bagi unit baru di kantor itu, Desk Pemilihan Kepala Daerah Bengkulu.

Meski masih terbilang baru diresmikan, pekan lalu, Wakil Ketua II Desk Pemilihan Kepala Daerah Bengkulu, Edi Witjipto, mengaku sudah mulai berdinas. Dia telah mulai mencicil tugas dengan berkeliling ke berbagai pelosok. "Mengecek kesiapan warga ikut pilkada," katanya. Maklum, seperti juga jadwal pemilihan kepala daerah di provinsi lain, pemilihan orang nomor satu Bengkulu tinggal tiga bulan lagi. Waktu persiapan menyongsong bulan Juni pun kian tipis.

Desk di Bengkulu itu terbentuk lewat surat keputusan gubernur, menyusul pembentukan unit yang sama di Departemen Dalam Negeri awal Maret lalu. Ini memang kerja baru, tapi Edi optimistis tugasnya mengawasi administrasi pemilihan gubernur akan berjalan lancar. Sedangkan untuk urusan kabupaten akan dikerjakan oleh desk pemerintah daerah masing-masing.

Menurut Edi, selain pemantauan, tugas lainnya adalah mendata dan mengorganisasi masalah bagi kelangsungan proses demokrasi itu. Rincian tugasnya, ya, hanya sebatas laporan, lalu memberi saran ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), kemudian melaporkan ke pemerintah pusat. "Jadi, tidak bakal beradu tugas dengan KPUD," ujarnya yakin.

Lahirnya unit ini bermula dari perintah Menteri Dalam Negeri M. Ma'ruf, awal bulan lalu. Di Jakarta, Ma'ruf mengumumkan desk pemantau pemilihan kepala daerah. Tugasnya memantau dan jika dianggap perlu memberikan bimbingan teknis. Karena skala wilayahnya yang amat luas, mau tak mau desk ini tumbuh seperti gurita, berdiri di pusat dan provinsi, plus tentu saja daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah seperti kabupaten. "Yang kabupaten urusan gubernur, sedangkan yang provinsi langsung ke presiden, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri," ujar Ma'ruf saat itu.

Selain dari Departemen Dalam Negeri, desk ini juga melibatkan Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan sejumlah ahli. Seperti yang tercantum dalam surat ke-putusan Menteri Dalam Negeri, desk itu terdiri tiga bidang, yaitu sosialisasi dan fasilitas, bidang politik, serta bidang advokasi. Semua ongkos desk dibebankan pada anggaran belanja negara.

Desk ini sempat menyulut ketegangan antara Departemen Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ma'ruf dituding main comot pegawai KPU tanpa memberi tahu kepada KPU secara resmi sebelumnya. Apalagi yang dipekerjakan adalah sejumlah pejabat di Sekretariat Jenderal KPU Pusat.

Akibatnya, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin merasa harus bersikap tegas. Dia melarang semua staf di sekretariat itu bekerja di Desk Pemilihan Kepala Daerah (yang biasa disebut "Desk Pilkada"). "Mereka tiap hari kerja di KPU, tiap bulan terima gaji. Kalau ada staf sekjen yang masuk Desk Pilkada, akan langsung saya pecat," ujar Nazaruddin.

Menurut Nazaruddin, kejengkelannya itu bukan lantaran KPU tak dilibatkan dalam pemilihan kepala daerah. Tapi, bagi Nazaruddin, Desk Pilkada telah mencederai Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Kata dia, KPU dan Sekjen KPU adalah satu kesatuan. Jadi, tentu tak bisa asal main sabet. "Dan jika KPU terlibat, itu kan menyimpang dari undang-undang," ujarnya.

Departemen Dalam Negeri tampaknya mencoba merangkul banyak pihak dalam desk itu. Dalam susunan keanggotaannya, tampak terlihat sejumlah nama tokoh sebagai ahli, mulai akademisi sampai pengacara. Misalnya ada nama Ichlasul Amal, J. Kristiadi, Satya Arinanto, Amir Syamsuddin, Syamsuddin Haris, Eko Prasodjo, dan Pratikno.

Peneliti senior dan pengamat politik dari LIPI, Syamsuddin Haris, mengaku belum tahu persis tugas Desk Pilkada. Meski namanya disebut-sebut, dia belum pernah merasa dihubungi langsung untuk duduk di staf ahli. Namun, Haris tak buru-buru menolak. Dia masih membuka kemungkinan bergabung dan membantu dalam tim Desk Pilkada itu.

Berbeda dengan Haris, Amir Syamsuddin yang ditunjuk sebagai tim ahli bidang advokasi mengaku sudah terlibat jauh sebelum desk terbentuk. Bahkan dia kini memang berstatus sebagai penasihat Menteri Dalam Negeri. "Jadi ini hanya kelanjutan dari penugasan itu," ujar Amir, Rabu pekan lalu.

Sementara itu, Ichlasul Amal menyatakan sudah lama bersedia bergabung di desk ini. Soalnya, desk tersebut mengusung banyak persoalan pemilihan kepala daerah yang berada di luar kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). "KPUD hanya bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu," Amal menjelaskan.

Padahal, kata dia, banyak peristiwa yang mungkin terjadi setelah pemilu dilaksanakan. Misalnya, kemungkinan keterlambatan pengucuran dana, sementara KPUD sudah mau jalan. "Kalau untuk daerah kaya, memang tak ada persoalan. Tapi bagaimana daerah miskin?" ujarnya.

Tugas desk itu, kata Amal, sebetulnya lumayan membantu KPU setempat. Misalkan, desk juga bertugas menghubungkan KPUD dengan pemerintah daerah dan pemerintah provinsi. Dengan kata lain, desk justru menjadi fasilitator bagi persoalan yang dihadapi KPUD. "Jadi, tidak ada tumpang tindih," kata Amal meyakinkan.

Kehadiran desk ini memang sempat membuat gusar KPU di daerah. Dari Yogyakarta, misalnya, Ketua KPU DIY, Suparman Marzuki, menolak desk itu. Soalnya, inti pekerjaan Desk Pilkada sebetulnya mirip KPU Daerah. Artinya, negara nantinya harus mengeluarkan duit untuk dua lembaga yang sama wilayah kerjanya. Pemborosan pasti tak terelakkan. "Artinya, uang rakyat lagi yang akan dihabiskan," ujar pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, itu.

Protes ihwal berdirinya desk ini sebetulnya sudah dilontarkan Suparman langsung ke Departemen Dalam Negeri secara lisan, dalam berbagai kesempatan. Terakhir, saat rapat kerja teknis Departemen Dalam Negeri sebulan lalu. Yang menjadi soal, kata dia, adalah tugas sosialisasi. Mestinya kerja itu diberikan saja kepada KPUD. Soalnya, kalau di tangan pemerintah daerah, dikhawatirkan tak terhindar dari konflik kepentingan. Misalnya, kata dia, bisa saja pemda punya kecenderungan terhadap calon tertentu. "Kalau ini terjadi, kan bisa kacau," ujarnya.

Barangkali menarik mencermati model kinerja KPUD di Semarang. Beda dengan daerah lain, kantor lembaga itu menyatu dengan kantor sekretariat daerah. Jadi, pengurusnya tak perlu pusing biaya operasional kantor, seperti gaji office boy, ongkos listrik, telepon, dan air. Langganan koran lokal dan nasional pun lancar.

Begitu juga dengan dana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Di saat KPUD lain terancam tidak akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah karena dana cekak, DPRD Kota Semarang telah akur mengucurkan dana Rp 6,5 miliar untuk acara pemilihan itu pada 26 Juni nanti.

Ketua KPUD Kota Semarang, Hakim Junaidi, menegaskan, meski banjir fasilitas, lembaganya akan tetap independen. "Kami akan bersikap netral kepada semua calon wali kota," ujarnya. Soal fasilitas itu, kata Hakim, mereka peroleh karena hubungan baik antara KPUD, pemerintah kota, dan DPRD setempat.

Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, Siti Nurbaya, juga menampik tudingan pemerintah akan turut campur dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah lewat desk itu. "Pemerintah tidak akan mempengaruhi hasil pilkada," ujarnya. Menurut Siti, KPUD sebagai penyelenggara bertanggung jawab kepada publik. Jadi, pemerintah tak punya saluran masuk untuk mempengaruhi kerja komisi.

Nezar Patria, Mawar Kusuma (Jakarta), Heru C.N. (Yogyakarta), Syaiful Bakhori (Bengkulu), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus