Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Repatriasi benda-benda bersejarah Nusantara.
Ratusan benda hasil rampasan.
Perjalanan panjang pengembalian benda-benda tersebut.
CUACA cerah melingkupi Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda, Senin pagi, 10 Juli lalu. Udara musim panas terasa sejuk, jelas berbeda dengan cuaca pekan sebelumnya tatkala badai ganas Poly merangsek Belanda. Sebuah mobil besar masuk ke halaman museum. Dari pintu belakang segera keluar Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Dari pintu depan, keluar I Gusti Agung Wesaka Puja, mantan duta besar yang kini menjabat ketua tim repatriasi koleksi asal Indonesia di Belanda. Keduanya dipersilakan masuk museum. Di dalam museum, Hilmar Farid terlihat langsung berjabat tangan dengan Menteri Muda Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Gunay Uslu yang hadir lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agenda pertemuan para pejabat kedua negara saat itu adalah penandatanganan atas apa yang dalam bahasa Belanda disebut eigendomsoverdracht alias penyerahan hak kepemilikan warisan budaya Indonesia dari Belanda kepada Indonesia. Dengan penandatanganan itu, resmi dimulai proses pemulangan empat koleksi warisan sejarah Indonesia yang selama ini berada di Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak September tahun lalu, media massa Belanda gencar memberitakan pemerintah Indonesia meminta pemulangan atau repatriasi delapan koleksi milik Indonesia di Belanda. Pemulangan yang mereka sebut dengan istilah “roofkunst” (seni jarahan) ini merupakan topik aktual yang menimbulkan pro-kontra. Bahkan harian berbobot, NRC Handelsblad, melalui Saskia Konniger, korespondennya di Jakarta, memberitakan bahwa Raja Klungkung di Bali tidak tahu-menahu soal permintaan repatriasi keris Puputan Klungkung.
Jelas NRC Handelsblad telah menggeser permasalahan repatriasi warisan kolonial ini dari masalah bilateral Belanda-Indonesia menjadi masalah Jakarta dengan Bali. Walaupun tajuk harian NRC Handelsblad akhirnya mendukung aturan repatriasi pemerintah Belanda, ("Penjarahan Tetap Penjarahan") pemberitaan koresponden ini memberi kesan bahwa, menurut pers Belanda, Indonesia masih belum mampu mengurus diri sendiri.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid (tengah), dan Menteri Muda bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Gunay Uslu (kiri), saat serah terima koleksi artefak kuno bersejarah yang berasal dari Indonesia, di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, 10 Juli 2023. Dok. Joss Wibisono
Tidaklah mengherankan jika pada Senin pagi itu media massa Belanda, baik cetak maupun elektronik, melakukan peliputan optimal. Dalam menyampaikan sambutan sebelum penandatanganan, baik pihak Indonesia maupun Belanda menekankan pentingnya peristiwa ini, bukan hanya bagi kedua negara, tapi juga bagi dunia internasional.
•••
JULI tahun lalu, pemerintah Indonesia meminta pemerintah Belanda mengembalikan delapan koleksi berharga Indonesia. Di antaranya fosil manusia purba Pithecanthropus erectus koleksi Eugène Dubois; koleksi Pita Maha (kerajinan Bali); keris Puputan Klungkung; Al-Quran milik Teuku Umar; koleksi Candi Singasari (empat patung besar); koleksi regalia Luwu, Sulawesi Selatan; koleksi perhiasan milik puri di Kerajaan Cakranegara, Lombok, Nusa Tenggara Barat; dan perlengkapan kuda Pangeran Diponegoro. Namun dalam penandatanganan pada Senin, 10 Juli lalu, di Leiden tersebut baru empat koleksi yang pengembaliannya ditandatangani oleh Hilmar Farid dan Gunay Uslu, yaitu koleksi Singasari, Pita Maha, keris Puputan Klungkung, dan koleksi perhiasan Lombok.
I Gusti Agung Wesaka Puja, ketua tim repatriasi koleksi, mengatakan empat koleksi yang belum dikembalikan adalah Al-Quran milik Teuku Umar, koleksi Dubois, kendali kuda dan penutup mata kuda Pangeran Diponegoro, serta regalia Luwu. “Al-Quran Teuku Umar masih harus diidentifikasi karena, kalau tidak salah, ada tiga yang tersimpan di Belanda,” ujar mantan duta besar Indonesia untuk Belanda ini. “Jadi sekarang masih diteliti yang mana yang asli milik Teuku Umar,” dia menambahkan.
Menteri Uslu mengungkapkan, Commissie Koloniale Collecties harus lebih dulu meneliti benda-benda yang belum masuk nota kesepahaman atau MOU. Uslu menerangkan, Commissie Koloniale Collecties akan meneliti setiap obyek dengan saksama. “Dari penelitian akan didapatkan bukti bahwa obyek-obyek itu memang secara ‘tidak layak’ (onterecht) telah sampai di Belanda. Komite kemudian akan mengajukan rekomendasi kepada saya apakah barang-barang itu dikembalikan atau tidak. Saya berharap tidak lama lagi akan datang rekomendasi yang masih mereka kerjakan,” ujar politikus keturunan Turki ini.
Pengunjung mengamati sejumlah arca Candi Singasari di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, Jumat (15/9). Sejumlah artefak yang tersimpan di museum tersebut antara lain arca dari Candi Singasari, Malang, Jawa Timur, Septermber 2017. Antara/Ismar Patrizki
Wesaka Puja menduga keras perlengkapan kuda Pangeran Diponegoro, antara lain penutup mata, disimpan di Museum Bronbeek, di Kota Arnhem, Belanda timur. “Itu juga masih perlu diidentifikasi apakah benar-benar ada di sana. Yang sebelumnya, yaitu pecut dan pelana kuda, memang ada di sana,” Wesaka Puja menjelaskan. Ia berencana mengadakan pembicaraan khusus dengan Museum Bronbeek. Koleksi ketiga, yaitu regalia Luwu, masih perlu diidentifikasi lagi karena belum jelas keberadaannya. Salah seorang pengamat permuseuman Belanda berpendapat, jika tidak ada di museum-museum Belanda, bisa jadi koleksi Luwu jatuh ke tangan kolektor pribadi yang sulit dilacak.
Koleksi terakhir yang belum dikembalikan dan menjadi ramai diperbincangkan di Belanda adalah koleksi Dubois, antara lain fosil Pithecanthropus erectus yang juga disebut Manusia Jawa (lihat rubrik Layar, Tempo edisi 30 Januari-5 Februari 2023). Wesaka Puja menambahkan, koleksi Dubois sudah 70 tahun lebih terkatung-katung tanpa ada perkembangan sejak Muhammad Yamin memintanya pada awal 1950-an. Menurut dia, Indonesia mengulang lagi permintaan itu dengan membentuk komite pada 1975 di bawah Profesor Ida Bagus Mantra. “Komite 1975 baru bisa memulangkan patung Prajnaparamitha, yang saya sebut Mona Lisa van Java, serta beberapa bagian koleksi Lombok.” Diplomat senior ini mengeluh, “Sejak 1975 kan sudah hampir 50 tahun, tapi tidak ada perkembangan mengenai koleksi Dubois ini.”
Ia menjelaskan langkah-langkah yang sudah ditempuh timnya untuk mendekati Museum Naturalis yang selama ini dengan tegas menolak pengembalian fosil Manusia Jawa. “Kami sudah mendekati Museum Naturalis. Kami cairkan suasana. Kami mencoba membangun komunikasi yang baik supaya punya persepsi yang sama.” Tim repatriasi Indonesia paling sedikit sudah menyiapkan tiga langkah supaya kontak dengan Museum Naturalis tetap berlangsung.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, melihat koleksi artefak bersejarah Indonesia di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, 10 Juli 2023. Itjen.kemdikbud.go.id
“Pertama, kami membangun komunikasi yang baik. Kedua, kami menjajaki kerja sama kedua pihak untuk membangun apa yang kita sebut knowledge creation (penciptaan pengetahuan), juga untuk mendidik khalayak kita tentang koleksi fosil Manusia Jawa. Yang ketiga, kami terus membangun momentum supaya nanti, kalau kedua pihak sudah merasa nyaman untuk menindaklanjuti repatriasi Manusia Jawa, itu segera dapat terlaksana,” ujar Wesaka. Ia berterus terang belum tahu persis kapan fosil Pithecanthropus erectus itu bisa dikembalikan. “Tapi yang penting proses membangun momentum ini terus kami lakukan sampai suatu saat nanti bisa terwujud.”
•••
SELEPAS penandatanganan perjanjian repatriasi, Senin, 10 Juli lalu, hadirin dan para jurnalis diundang masuk ruang pameran. Ada kesempatan melihat-lihat koleksi yang akan dikembalikan ke Indonesia. Selain itu, para jurnalis dapat melakukan wawancara. Begitu masuk segera tampak enam arca Candi Singasari asal Jawa Timur. Di belakang keenam patung itu terlihat keris Puputan Klungkung dan koleksi perhiasan Lombok. Ketiganya, termasuk koleksi Pita Maha, kerajinan Bali yang disimpan di Tropenmuseum, Amsterdam, akan segera diangkut pulang ke Indonesia.
Pengunjung mengamati arca Bhairawa dari Candi Singasari di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, Septermber 2017. Antara/Ismar Patrizki
Kapan pemulangan itu akan benar-benar dilakukan? Mengenai hal ini, ketua tim repatriasi Indonesia, I Gusti Agung Wesaka Puja, mengaku belum bersepakat dengan Belanda. “Tapi sudah ada ancar-ancar,” ucapnya kepada Tempo, sambil mengingatkan bahwa pengiriman ini butuh waktu.
Dia mengemukakan tiga alasan. Pertama, pihak Belanda butuh waktu untuk memperbaiki benda-benda yang rusak. Menurut Wesaka, Belanda tidak mau mengembalikan begitu saja koleksi tanpa dipoles lagi. Beberapa obyek ternyata rusak, mungkin karena dimakan usia. Masuk akal jika perbaikan-perbaikan itu juga perlu waktu. Kedua, empat arca Singasari sangat berat. “Beratnya bukan main,” tuturnya. Jadi, dia mengimbuhkan, perlu waktu untuk memindahkan koleksi ke tempat yang lebih memadai untuk kemudian diangkut. Alasan ketiga, Indonesia berencana mengirim tim untuk memverifikasi dan menyaksikan proses pengepakannya, juga identifikasi penomorannya. Wesaka merasa tim Indonesia juga perlu mengawal perjalanan pulang ini.
Dengan tiga alasan ini, secepat-cepatnya pada awal Agustus mendatang koleksi sudah mulai bisa dikembalikan ke Indonesia. “Jadi momentum kita merayakan Proklamasi 17 Agustus, mudah-mudahan sebelum itu obyek-obyek ini sudah meramaikan Hari Kemerdekaan. Itu target kami,” kata diplomat kawakan ini dengan nada penuh harapan. Tak lupa Wesaka juga akan menghubungi Direktur Jenderal Bea dan Cukai agar warisan budaya ini tak disamakan dengan barang-barang dagangan yang diekspor atau diimpor ke Indonesia. “Semoga prosesnya juga diperlakukan secara istimewa sebagai cagar budaya,” ujarnya.
•••
PENGEMBALIAN warisan budaya Indonesia terakhir yang dilakukan Belanda terjadi pada 1975, yaitu patung Prajnaparamitha yang juga terkenal sebagai patung Ken Dedes. Bisa dibilang proses repatriasi kali ini tergolong cepat. Wesaka Puja mengatakan kunjungan Menteri Muda Kebudayaan Belanda Gunay Uslu dan ketua tim Belanda, Lilian Gonçalves, ke Indonesia pada September tahun lalu cukup berpengaruh. “Bayangkan,” ucapnya bersemangat, “dalam tempo delapan-sembilan bulan ini sudah direalisasi. Kan, cepat sekali!” Sang mantan duta besar lalu membandingkannya dengan kevakuman yang terjadi pada 1975-2023. “Hampir 50 tahun mandek,” dia menegaskan. “Tapi ini dalam tempo kurang dari setahun sudah dilaksanakan, begitu cepat realisasinya. Itu yang kita syukuri.”
Sejumlah perhiasan kuno dari Puri Cakranegara, Lombok, di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, pada 9 Juli 2023. Dok. Louie Buana
Ada satu faktor penting lain yang mendorong Belanda melakukan repatriasi, yaitu munculnya seruan pengembalian koleksi kolonial di segenap penjuru dunia saat ini. “Di berbagai belahan dunia kan muncul beberapa program pengembalian warisan budaya. Banyak program restitusi. Ini juga membantu atau menyumbang lancarnya pembinaan rasa saling percaya pada kedua komite, baik Belanda maupun Indonesia,” tutur Wesaka. Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid melihat kerja sama Indonesia dan Belanda ini punya kontribusi tersendiri bagi diskusi tentang repatriasi yang terjadi di banyak negara.
Menurut Hilmar, kerja sama dengan Belanda tersebut nanti juga mencakup bidang riset dan pendidikan. Ia menegaskan bahwa riset terhadap koleksi kolonial bukan hanya meneliti asal-usul koleksi tertentu, tapi juga konteks sejarahnya. “Semacam biografi obyek kolonial,” katanya kepada Tempo.
Berdasarkan pembicaraan dengan MinOCW, singkatan dalam bahasa Belanda untuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, akan diadakan program beasiswa tingkat S-2 dan S-3 bagi mahasiswa yang berniat mempelajari berbagai aspek repatriasi. Ia masih merinci lagi, “Dari sisi legal, politik, kultural, historis, dan, yang lebih teknis, soal konservasi, penyimpanan di museum, kategorisasi obyek, dan seterusnya.”
Hilmar memiliki gagasan di masa mendatang ada barisan ahli yang sangat memahami koleksi kolonial, proses repatriasi, dan pengelolaan koleksinya. Selain bekerja sama dengan Belanda, dia mengimbuhkan, Indonesia perlu membuka kerja sama dengan Prancis dalam bidang repatriasi ini.
Hilmar menerangkan, hubungan kedua negara bukan berkembang ke samping, melainkan ke depan, sesuatu yang baginya merupakan progres atau kemajuan. Untuk ini, Wesaka Puja menunjuk ucapan Raja Willem-Alexander yang dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada Maret 2020 menggunakan istilah shared blossoming future atau masa depan yang mekar bersama-sama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Dijarah, yang Kini Kembali"