Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas musik kontemporer.
Mengeksplorasi gender.
Pentas musik unik di Studio Plesungan.
GENDING "Aruhara" sebagai pemungkas konser "Jagad Gêndèr Gumêlar” pada malam itu disajikan Wahyu Thoyyib Pambayun dengan volume suara keras, tempo cepat, dan pola ritme njlimet. Padahal gender—alat musik berbilah dari logam yang menjadi bagian dari gamelan Jawa dan Bali—tergolong instrumen bersuara lembut sehingga terkesan feminin. Sebaliknya, dalam gending "Aruhara", instrumen gender bertiwikrama menjadi alat musik sora, yaitu alat musik bersuara keras seperti bonang, saron, peking, dan demung yang nyaring bunyinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Aruhara" berasal dari bahasa Sanskerta, memiliki arti huru-hara, geger, atau keributan. Sesuai dengan artinya, gending ini berpotensi memancing “keributan” para pengrawit dan pandemen gamelan Jawa pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konser gamelan yang berlangsung di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah pada Rabu malam, 12 Juli lalu, itu menampilkan lima karya komposisi yang disusun Thoyyib sejak 2017 hingga 2022. Sebagai pengajar di Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, ia adalah komponis yang memiliki banyak bekal, bukan hanya dalam aras praksis-kompistoris, tapi juga riset dan metode penciptaan yang mumpuni dalam berkarya. Dengan fokus pada instrumen musik gender, ia melakukan riset untuk menemukan bahasa musikal gender lebih luas. Ia menjadikan cengkok dan idiomatika permainan gender—yang kerap dijadikan patokan pola lagu vokalis atau ricikan gamelan lain—sebagai konsep dan ide dasar pembangunan komposisi.
Komposisi-komposisi musik untuk gender yang diciptakannya disusun dengan pendekatan kompositoris yang beragam. Ia mengubah struktur-struktur ritme yang baku dalam konvensi gamelan menjadi pola-pola secara lebih leluasa. Ia juga mengolah garis-garis melodi yang transparan menjadi lebih bergejolak. Bukan hanya itu, komponis asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini pun mengolah pola permainan, gaya, dan dinamika musiknya secara lebih variatif.
Thoyyib membuka pertunjukannya dengan gending "Gumrining". Komposisi untuk instrumen gender barung (gender berukuran besar) dan gender penerus (gender berukuran kecil) ini memadukan dua laras yang berbeda dalam gamelan Jawa, yaitu pelog dan slendro. Penggunaan sistem laras yang berlainan ini memproduksi harmoni yang melenceng keluar dari nada-nada standar gamelan. Nada-nada yang disusun menyimpang, blero, berhamburan menjadi tatanan “harmoni baru” yang membuat mulas telinga pengrawit tradisional.
Wahyu Thoyyip Pambayun dalam Jagad Gêndèr Gumêlar i Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Solo, Jawa Tengah, 12 Juli 2023. Joko Gombloh
Dalam gamelan tradisi, terdapat konvensi-konvensi yang sangat mengikat, terutama dalam hal laras, bentuk dan struktur gending, serta pola tabuhan. Di sana juga terisyaratkan hal-hal serba halus, mengalir lirih, bentuk perpindahan irama tidak boleh mencolok kontras atau “nggronjal”. Volume tabuhannya pun digarap seperti halusnya seni-seni istana. Konser "Jagad Gêndèr Gumêlar" seolah-olah membalikkan semua citra tersebut.
Pencarian bahasa musikal baru oleh Thoyyib—dengan membongkar konvensi-konvensi lama—lazim dilakukan para komponis. Sumarsam, profesor musik Winslow-Kaplan dari Wesleyan University, Amerika Serikat, dalam diskusi seusai pementasan menegaskan penggunaan nada-nada di luar standar gamelan hampir dapat dipastikan terjadi dalam penggarapan komposisi baru gamelan.
Dalam tradisi musik Barat, Arnold Schoenberg menyodorkan apa yang disebut sebagai vagierende akkorde (akor gelandangan) untuk menyebut himpunan nada atau akor yang mengambang, nada-nada yang mengaburkan tonalitas melalui penurunan (diminished) atau peningkatan (augmented) frekuensi bunyi. Vagierende akkorde menjadikan nada-nada melayang, transenden, mengaburkan hierarki tonalitas.
Penggabungan laras yang berbeda pada "Gumrining" berakibat pada perlakuan teknis yang berbeda pula. Misalnya, Thoyyib mesti mengembangkan teknik pipilan yang dapat menjangkau dua ukuran gender yang berbeda itu. Di sisi lain, ia juga harus memastikan posisi duduk pemain agar nyaman dan dapat melakukan teknik pithetan (meredam getaran suara) tanpa menyulitkan pemain. "Gumrining" menitikberatkan interferensi gelombang bunyi di antara interval gender yang berlainan laras tersebut.
Untuk menemukan bahasa musikal yang lebih luas, Thoyyib juga mengembangkan teknik permainan gender dengan cara memainkannya secara dibalik, yakni tangan kanan berada di wilayah nada-nada rendah, sementara tangan kiri pada nada-nada tinggi. Teknik walikan dipakai dalam komposisi "Srawung Pengung". Ini bukan pamer virtuositas, melainkan satu upaya untuk menyatakan bahwa—secara berkelakar—dengan pengung (bodoh, dungu), gender dapat dimainkan secara elegan. Sebuah satire yang mengejutkan bagi para pengrawit pada umumnya.
Seturut Thoyyib, komposisi "Srawung Pengung" dimaknai sebagai sebuah ruang untuk saling terbuka antarpemusik dengan latar belakang budaya yang beragam. Ruang terbuka ini mengisyaratkan interaksi saling mengesampingkan kepintaran para pemusik yang terlibat. Thoyyib menghadirkan interaksi bunyi gender wayang Bali, gender barung Jawa, calung Banyumas, dan sequencer bunyi gender yang direkam sebelumnya. Sequencer dipakai untuk menampilkan aspek elektro-akustik gender yang tidak bisa diwakilkan secara akustik. Di sini Thoyyib menambahkan efek-efek bunyi, memotong frekuensi, menambahkan distorsi, atau menata balancing untuk membangun stereo image, meskipun penggunaan sequencer memancing diskusi tersendiri lantaran kesan gimik yang dimunculkannya.
Eksplorasi gender yang tak kurang mengagetkan adalah komposisi "Umbaran". Gending yang disusun untuk Commissioning Project kelompok Gamelan Pacifica, Seattle, Amerika Serikat, ini menggunakan teknik umbaran, yaitu memukul bilah-bilah gender tanpa pithetan untuk menahan getaran bunyinya. Teknik ini menjadikan getaran bunyi bertabrakan dan berakibat bunyi antarbilah tidak dapat terdengar dengan jelas alias gemrumbyung. Dalam tradisi gamelan Jawa, bunyi gemrumbyung adalah aib.
Bunyi itu harus dihindari agar pengrawitnya tidak disebut baru belajar. Tapi, dalam "Umbaran", Thoyyib justru menjadikan bebunyian noise ini sebagai alternatif keindahan yang memperluas bahasa musikal gender Jawa. "Brawala" adalah gending berikutnya yang menggunakan pendekatan bersahutan. Melalui gending ini, Thoyyib menyusun relasi musikal antara instrumen gender dan gambang. Gender yang terbuat dari logam dan gambang yang dari kayu melahirkan kesatuan warna bunyi yang unik.
Jagad Gêndèr Gumêlar i Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Solo, Jawa Tengah, 12 Juli 2023. Joko Gombloh
Untuk semua capaian artistik tersebut, Thoyyib melakukan riset dan nyantrik kepada maestro gender yang mempengaruhi jalan kreatifnya. Ia sangat terkesima dan terinspirasi oleh permainan gender Mbah Pringgo. Cengkok "Ada-ada Ngobong Dupa" garapan maestro gender yang memiliki nama kecil Sumiyati ini disebut-sebut sebagai salah satu repertoar gender yang sulit dimainkan. Dalang Ki Manteb Soedarsono pernah mengatakan Mbah Pringgo memiliki banyak cengkokan yang seirama dengan dirinya saat mendalang.
Thoyyib juga terpesona pada cengkok-cengkok gender yang dimainkan Martopangrawit. Empu karawitan ini mengingatkan bahwa menabuh gender adalah bermain dengan mengolah cengkok-cengkok yang tersedia dalam vokabuler garap karawitan. Kebanyakan cengkok gender memiliki istilah yang sama dalam repertoar vokal atau istilah-istilah teknis lain dalam gamelan. Cengkok-cengkok tersebut telah memantik terciptanya karya baru. Cengkok gender yang populer di antaranya ayu kuning, ela-elo, puthut gelut, dan dhebyang-dhebyung.
Pengembangan bahasa musikal dalam gamelan telah banyak dilakukan. Namun jarang sekali komponis yang berfokus pada instrumen tertentu, seperti gender. Al Suwardi dalam Pekan Komponis Muda 1982 pernah menempatkan gender sebagai instrumen musik yang “bebas nilai”, keluar dari posisinya sebagai bagian dari kultur gamelan. Eksperimen ini ia tuangkan bersama Rustopo dan T. Slamet Suparno dalam karya berjudul "Ngalor Ngidul". Mereka membaca kemungkinan-kemungkinan garap lain yang akan memperkaya gramatika musikal gender.
Pada awal 1990-an, Bambang Sunarto, Sunardi, dan Saptono telah pula mengeksplorasi garap gender. Namun trio pengrawit yang menamakan diri Gender Barung Soloinsis ini kandas. Kabar hasil pengembaraan mereka pada gender tidak lagi terdengar. Thoyyib bersama komunitas Gamelan Kalatidha yang didirikannya pada 2016 adalah generasi komponis masa kini yang menaruh perhatian pada instrumen gender sebagai basis penciptaan. Karya-karyanya mulai mewarnai forum-forum musik bergengsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jagat Gender yang Lain"