Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cannes di Tengah Pandemi

FESTIVAL Film Cannes diselenggarakan secara on site di Prancis pada 6-17 Juli 2021 setelah vakum setahun karena pandemi Covid-19. Jadwal perhelatan ke-74 ini pun sempat dimundurkan dari Mei menjadi Juni. Sempat pula muncul simpang-siur informasi menjelang pembukaan festival, seperti mengenai kewajiban karantina bagi tamu yang berasal dari negara dalam daftar oranye dan tetek-bengek seputar vaksin Covid-19. Yosep Anggi Noen, salah satu sutradara yang menghadiri Festival Film Cannes, menuliskan reportase untuk Tempo. Anggi menceritakan beberapa film menarik yang ia tonton di Palais des Festivals. Festival Film Cannes kali ini mencatat sejarah baru, yakni terpilihnya Titane karya Julia Ducournau sebagai pemenang Palme d’Or. Ducournau menjadi sutradara perempuan kedua yang meraih penghargaan tertinggi Festival Film Cannes itu.

24 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana karpet merah saat pemutaran film Titane di Festival Film Cannes Ke-74, Prancis, 13 Juli 2021. REUTERS/Eric Gaillard

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKIBAT pengurusan visa kurang mulus, saya terlambat tiba di Prancis untuk menghadiri Festival Film Cannes ke-74, yang diundur tahun lalu akibat pandemi Covid-19. Ketika saya mengurus visa, waktu itu memang baru masuk pekan pertama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Namun akhirnya persoalan itu teratasi, dan saya mendarat juga di bandar udara Nice.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di situ, saya memesan taksi dengan tarif 90 euro karena mobil jemputan dari penyelenggara tidak tersedia pada jam kedatangan saya. Dalam perjalanan, sopir taksi bercerita bahwa pariwisata di Cannes sempat mati karena Covid-19 dan negara memberikan subsidi pendapatan selama tujuh bulan sebanyak 80 persen dari pendapatan semestinya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antrean masuk pemutaran film The French Dispatch di Festival Film Cannes Ke-74, Prancis, 12 Juli 2021. REUTERS/Reinhard Krause

Sopir taksi ini ramah dan pencerita ulung. Dia pula yang menyuguhi saya drama betulan pada hari pertama saya di Prancis. Pada satu perhentian lampu merah, dia bersitegang dengan pengendara mobil lain. Gara-garanya, sebuah mobil polisi menyalakan sirene meminta jalan. Namun mobil yang berada di depan taksi saya tak mau bergerak. Sopir taksi saya kesal karena tak mau dianggap menghalangi jalan mobil polisi.

Setelah lampu hijau menyala dan mobil polisi berlalu, sopir taksi saya memepet pengendara mobil di depannya. Tak cuma beradu mulut, si sopir taksi bahkan memukul kaca jendela mobil itu hingga tangannya berdarah. Wah, kedatangan saya seperti disambut dengan film laga.

Setiba di Cannes, saya langsung menyambangi pos pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Namun, dalam perjalanan ke sana, saya merasa jeri melihat pemandangan sekitar. Sebagian besar orang di sana tidak memakai masker. Dari informasi yang saya baca, 32 persen penduduk Prancis sudah menerima vaksin dosis lengkap, sementara 52 persen baru mendapat dosis pertama. Tapi, sebenarnya, pemakaian masker masih diwajibkan.

Preside Juri Festival Film Cannes ke-74, Spike Lee (tengah), bersama anggota tim juri lainnya, saat acara penutupan festival di Cannes, Prancis, 17 Juli 2021. REUTERS/Sarah Meyssonnier

Di luar dugaan, salah satu topik yang paling sering dibicarakan sesama sineas selain tentang film adalah jenis vaksin yang didapat dan efeknya pada tubuh. Ini sungguh sebuah situasi yang unik.

Setiap 48 jam sekali, setiap tamu festival harus menjalani pemeriksaan PCR yang disediakan gratis oleh penyelenggara di kompleks Palais des Festivals. Caranya, kami hanya perlu mendaftar melalui aplikasi. Lama antrean tes kurang dari dua menit. Kami juga bisa memilih jenis sampel yang diambil, yakni air ludah atau cairan hidung seperti yang banyak digunakan di Indonesia. Saya memilih memberikan sampel air ludah karena tidak menyakitkan.

Hasil tes dikirim melalui surat elektronik dan pesan pendek enam jam seusai pemeriksaan. Lembaran hasil tes PCR negatif menjadi syarat tamu untuk memasuki area Palais des Festivals. Di dalam gedung, mengenakan masker adalah kewajiban. Bahkan di banyak sudut ditempatkan petugas yang senantiasa mengingatkan peserta dan pengunjung yang lalai memakai masker.

Saya datang ke Cannes bukan untuk memutar atau menonton film saja, tapi juga menyambangi L'atelier Cinéfondation, wadah pertemuan antara proyek film dalam rupa proposal dan calon kolaborator film tersebut.

Proyek saya berjudul Seorang Perempuan Bernama Jilah dan Lelaki Bernama Dua diharapkan mendapat kolaborator berupa koproduser internasional, agen, pendana, dan distributor. Ada 15 sutradara dunia yang masuk seleksi. Beberapa tahun lalu, sutradara Mouly Surya, saat mempersiapkan film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, juga terseleksi mempresentasikan proyeknya di sini. 

Sutradara film Petrov's Flu, Kirill Serebrennikov, melakukan konferfensi pers secara daring di Festival Film Cannes ke-74. REUTERS/Eric Gaillard

Setiap hari saya bertemu dengan belasan pelaku perfilman dari banyak negara untuk mendiskusikan kemungkinan kerja sama. Yang menarik, hampir pada setiap permulaan percakapan, kami menyepakati apakah hendak mengenakan masker atau melepasnya bila sama-sama yakin dalam kondisi fisik sehat.

Di gedung yang sama, ada Marché du Film, ratusan gerai yang disewa oleh perusahaan-perusahaan film untuk berpameran dan melakukan transaksi bisnis. Ada juga komisi film dari negara-negara tertentu yang memamerkan potensi perfilmannya. Di sudut lain, ada Cannes Docs, yang mengadakan acara diskusi tentang perkembangan film dokumenter dunia dan presentasi proyek-proyek dokumenter. Selain itu, ada Producers Network yang mengadakan banyak acara tiap hari, seperti diskusi dan seminar.

Walau acara beragam, banyak tamu menyebut Cannes tahun ini sepi.

•••

CANNES memutar ratusan film dalam berbagai sesi, baik film panjang, pendek, fiksi, maupun dokumenter. Tahun ini bahkan ada sesi baru bernama Cinema and Climate yang memutar film-film bertema perubahan iklim. Salah satunya Bigger Than Us. Tokoh yang diangkat dalam film dokumenter tersebut antara lain Melati Wijsen, pegiat lingkungan hidup muda dari Bali. Film ini diproduseri Marion Cotillard, aktris Prancis yang juga bermain bersama Adam Driver dalam Annette, film pembuka Cannes 2021.

Suasana di dalam studio setelah gala premiere film Memoria karya Apichatpong Weerasethkul fi Festival FIm Cannes ke-74 di Prancis, 15 Juli 2021. Foto: Yosep Anggi Noen

Saya sempat menonton beberapa film. Cara memesan tiket cukup mudah. Hanya dengan memasukkan kode yang tertera pada badge dan password, kita bisa memilih film apa pun dengan catatan kursi masih tersedia. Jika kita sudah mendapat tiket tapi tidak hadir dalam pemutaran, akun kita akan diblok dan kita tidak bisa menonton film lain. Panitia menerapkan aturan ini agar kita tak menyia-nyiakan kursi yang sejatinya diincar penonton lain. 

Banyaknya film menarik membuat kita mesti memilah dengan bijak film mana yang hendak ditonton. Salah satu pilihan saya jatuh pada Petrov's Flu, film Rusia arahan Kirill Serebrennikov yang diangkat dari novel berjudul The Petrov in and Around the Flu karya Alexey Salnikov. 

Petrov's Flu bercerita tentang seorang lelaki yang menderita flu aneh dan menulari anak lelakinya. Film ini mengacak-acak waktu sehingga penonton dibawa ke suasana demam tinggi dan halusinasi. Sayangnya, Serebrennikov tak bisa hadir ke Cannes karena dilarang pemerintahnya keluar dari Rusia. Ia hadir di Cannes hanya lewat televideo.

Petrov's Flu masuk sesi kompetisi utama di Cannes. Film itu bersaing dengan 23 judul lain dari seluruh dunia yang sebagian besar disutradarai nama besar, seperti Mia Hansen-Love, Wes Anderson, Asghar Farhadi, Sean Baker, Ildiko Enyedi, Apichatpong Weerasethakul, dan Paul Verhoeven.

Wei Shujun juga tak datang ke Cannes. Dalam video sambutannya yang diputar dalam sesi Director’s Fortnight, sutradara film Ripples of Life ini berdalih kehilangan alasan datang ke Cannes karena Prancis tak mampu masuk ke final Piala Eropa tahun ini. Guyonan itu meledakkan tawa orang-orang di ruangan. Director’s Fortnight adalah sesi paralel di luar seleksi resmi Cannes. Sesi ini diinisiasi oleh Asosiasi Sutradara Prancis (French Director's Guild) pada 1969 untuk memutar film-film kontemporer yang menghadirkan spektrum luas dan visioner.

Film Indonesia yang pernah tayang dalam sesi ini adalah Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) karya Mouly Surya serta film pendek Kara, Anak Sebatang Pohon (2005) karya Edwin. Sesi ini sangat bergengsi dan banyak sutradara kenamaan dunia yang filmnya diputar. Sebut saja Jim Jarmusch, Spike Lee, Naomi Kawase, Clio Barnard, Celine Sciamma, Werner Herzog, dan Chloe Zhao, yang tahun ini memenangi Oscar.

Sutradara film Titane, Julia Ducournau, saat memenangkan Palme d'Or di Festival Film Cannes ke-74, 17 Juli 2021. REUTERS/Johanna Geron

Selain menonton Petrov's Flu, saya menyaksikan Memoria, yang memperoleh Jury Prize dalam Festival Film Cannes tahun ini. Film itu diputar di ruang utama, Grand Théâtre Lumière, yang berkapasitas 2.294 penonton. Pemutaran perdana film garapan sutradara asal Thailand, Apichatpong Weerasethakul, itu dipenuhi penonton. Hampir semua kursi terisi. Saya kebagian duduk di corbeille, lantai dua. Seorang penonton sempat memprotes karena saya melewati kursinya saat ia sedang memotret video siaran langsung karpet merah yang diproyeksikan ke layar bioskop.

Saya penasaran, seberapa penting momen karpet merah itu baginya. Ternyata, saat itu video tengah menampilkan Apichatpong bersama para aktornya: Tilda Swinton, Jeanne Balibar, Elkin Diaz, dan Juan Pablo Urrego. Mereka merentangkan bendera Kolombia bertulisan “SOS” terkait dengan serangkaian demonstrasi yang tengah marak di Kolombia akibat korupsi dan kenaikan pajak.

Memoria memang berlatar di negara Amerika Latin itu. Ini film pertama yang dibuat Apichatpong di luar negaranya dengan pemain non-Thailand. Film itu berkisah tentang Jessica, perempuan dari Skotlandia yang tinggal di Bogota, Kolombia. Suatu hari, Jessica mendengar ledakan misterius. Ternyata hanya ia yang mendengarnya. Peristiwa itu lalu menuntun Jessica menyusuri sejarah kekerasan di Kolombia.

Di Cannes, saya sempat menjumpai Rendro Aryo, alumnus Institut Kesenian Jakarta yang sedang berada di sana. Kami dihubungkan oleh sutradara Riri Riza. Rendro datang ke Cannes untuk menghadiri Short Film Corner, wadah pertemuan para pembuat film pendek internasional. Saat berjumpa, saya dan produser Yulia Evina Bhara baru saja selesai makan pho di restoran Mala, dekat stasiun Cannes.

Rendro dengan antusias menceritakan kegiatannya sambil berkali-kali menyebutkan bahwa filmnya masuk Short Film Corner, bukan Official Selection Cannes. Rendro membayar sejumlah uang untuk memasukkan filmnya ke daftar Short Film Corner sekaligus mendapatkan badge festival.

Dengan badge festival, dia memiliki akses menonton film dalam Festival Film Cannes dan, lebih dari itu, bisa berjejaring dengan para pembuat film pendek lain. "Saya menabung dan membayar sendiri biaya perjalanan ke Cannes,” tuturnya. “Kalau harus menunggu film saya masuk seleksi official Cannes, entah kapan saya bisa mulai berjejaring.”

YOSEP ANGGI NOEN (CANNES)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus