Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendirian Super Air Jet serba cepat.
Kabar pendirian Super Air Jet sempat memanaskan proses restrukturisasi utang Lion.
Teka-teki hubungan Super Air Jet dan Grup Lion kini terjawab.
NAMA Super Air Jet selaras dengan proses kelahirannya yang supercepat. Maskapai penerbangan baru ini mengantongi surat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal pada 17 September 2020, tak sampai dua bulan setelah pendirian PT Super Air Jet disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sembilan bulan kemudian, Kementerian Perhubungan menerbitkan sertifikat operator penerbangan (AOC) buat Super Air Jet. Kini, berbekal SIM-nya maskapai penerbangan tersebut, Super Air Jet siap terbang mulai Ahad, 1 Agustus nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambutan calon konsumen pada jadwal penerbangan perdana Super Air Jet itu juga super. Tiket penerbangan perdana rute Jakarta-Medan, dengan jadwal keberangkatan 06.30 WIB, sudah habis terjual. Begitu pula tiket penerbangan arah sebaliknya tiga jam kemudian. Hari itu, di rute yang sama, Super Air Jet dijadwalkan terbang tiga kali bolak-balik, pagi, siang, dan sore. Kursi di jadwal penerbangan terakhir pun ludes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati telah menjual tiket, manajemen Super Air Jet belum bisa sepenuhnya mengkonfirmasi rencana penerbangan perdana. “Nanti kami infokan segera. Masih mau disesuaikan dengan keadaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat,” kata Carolina Lestari Sirait, Corporate Communication PT Super Air Jet, kepada Tempo, Rabu, 21 Juli 2021.
Yang makin terang saat ini: Super Air Jet sedarah dengan Lion Air, Batik Air, dan Wings Air. Sembilan bulan masa persalinannya menyimpan segudang cerita tentang grup maskapai penerbangan besutan keluarga Kirana yang terimpit utang tersebut.
•••
RUMOR tentang Super Air Jet berembus sejak akhir September 2020, hampir bersamaan dengan terbitnya surat izin usaha untuk maskapai penerbangan baru ini. Pemberitaan di dalam maupun di luar negeri menyebutnya sebagai proyek pendiri Grup Lion, Rusdi Kirana. Pertanyaan lain yang mengemuka saat itu adalah motif Rusdi membangun maskapai baru ketika industri penerbangan tumbang dihantam pandemi Covid-19.
Jumlah penumpang penerbangan domestik sepanjang 2020 anjlok 55,5 persen menjadi 35,37 juta orang dari tahun sebelumnya yang sebanyak 79,44 juta penumpang. Rapor merah tahun lalu sebetulnya masih tertolong kinerja Januari-Februari, sebelum wabah mulai teridentifikasi di Indonesia pada awal Maret 2020.
Rusdi Kirana di Jakarta, 10 April 2018. TEMPO/Amston Probel
Kendati mobilitas manusia mulai berangsur normal memasuki 2021, arus penumpang pesawat belum membaik. Sepanjang Januari-Mei 2021, jumlah penumpang hanya 12,1 juta, turun 31,12 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Maskapai di bawah bendera Grup Lion juga masih limbung setelah tahun lalu layanan penumpangnya jeblok, rata-rata minus 46,5 persen.
Seperti dialami banyak maskapai penerbangan di seluruh dunia, anjloknya jumlah penumpang itu membuat Grup Lion terimpit tunggakan utang selangit. Pada Juli 2020, salah satu manajer pembiayaan untuk penyewaan pesawat (lessor) Lion, Goshawk Aviation Ltd, menggugat pelanggannya itu ke pengadilan London. Lion digugat 10 juta pound sterling atau sekitar Rp 189 miliar karena dianggap tidak membayar biaya sewa tujuh jet Boeing.
Grup Lion juga dikabarkan telah mengandangkan 25 pesawat sewaan atas permintaan lessor karena tidak sanggup membayar biaya rental pada Juni 2021 dengan estimasi tunggakan mencapai Rp 7,2 triliun. Yang terbaru, Juli ini, Lion juga disebut-sebut akan mengembalikan enam Boeing 737-900 ER kepada lessor.
Corporate Communications Strategic PT Lion Mentari Airlines Danang Mandala Prihantoro sempat menanggapi ramainya pemberitaan tentang utang perusahaannya. Danang menjelaskan, seperti dikutip dari pemberitaan Tempo.co pada 3 Juli lalu, Lion Air masih berbicara dengan semua mitra, termasuk lessor. “Hasilnya (diskusi dengan lessor) cukup positif untuk kedua belah pihak dan kesepakatan tersebut tentunya akan dilaksanakan,” tutur Danang saat itu.
Tidak ada yang tahu berapa sebetulnya utang Grup Lion, terutama kepada para lessor, karena statusnya sebagai perusahaan tertutup. Sebagai perbandingan, utang sewa jangka pendek dan panjang Garuda Indonesia sebesar US$ 4,39 miliar, di antaranya utang sewa kepada lessor dengan jumlah pesawat yang lebih sedikit dibanding Lion. Selama ini, Grup Lion dan Grup Garuda mendominasi pasar penerbangan dalam negeri.
Yang terbuka terkait dengan kewajiban Lion hanyalah jumlah lessor mereka. Laporan Register Pesawat Sipil 2021 mencatat Grup Lion mengoperasikan total 284 pesawat. Sebagian besar di antaranya adalah sewaan. Cirium, perusahaan multinasional penyedia data dan analisis industri aviasi global, mencatat 130 pesawat disewa Grup Lion dari 10 lessor terbesar, di antaranya Avolon, BOC Aviation (anggota Bank of China), SMBC Aviation Capital (bagian dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation), GE Capital Aviation Services (bagian dari General Electric), dan Goshawk.
Laporan Register Pesawat Sipil 2021 yang dirilis Kementerian Perhubungan menunjukkan para lessor itu berdomisili di Prancis. Sedangkan pemilik pesawat kebanyakan berlokasi di Irlandia. Beberapa di antaranya bahkan menjalankan peran sama, sebagai pemilik dan lessor, tapi dengan entitas berbeda di kedua negara tersebut. Pesawat Lion Air Boeing 737-800 dengan nomor registrasi PK-LOM, misalnya, adalah milik Avolon Aerospace AOE 75 Limited yang bermarkas di Dublin. Lion Air menyewanya dari Avolon Aerospace France 2 S.A.S.
Transaksi bertingkat tiga entitas di tiga negara semacam itu lazim di industri penerbangan, terutama untuk mengelola masalah perpajakan. Para pihak memanfaatkan celah keuntungan dari perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) Irlandia-Prancis dan Prancis-Indonesia.
SUDAH JATUH TERTIMPA UTANG
Di tengah penurunan kinerja layanan akibat pandemi, Grup Lion terbelit utang. Tunggakan kelompok usaha ini untuk memenuhi kontrak penyewaan armada dari belasan entitas di luar negeri menggunung triliunan rupiah.
Ketika pandemi menghantam, sama seperti maskapai penerbangan lain, Grup Lion mulai menegosiasikan kewajiban pembayaran sewa pesawat-pesawatnya sejak tahun lalu. Cirium melaporkan lewat portal afiliasinya, FlightGlobal, bahwa negosiasi ini dipimpin Transportation Partners Pte Ltd. Centre for Aviation, penyedia data intelijen pasar industri penerbangan, mengidentifikasi Transportation Partners didirikan Rusdi Kirana pada 2011 untuk memfasilitasi sewa pesawat, mesin, dan komponen lain yang dibutuhkan Grup Lion.
Berbekal informasi dari para lessor, Cirium mengungkapkan bahwa negosiasi tersebut juga melibatkan Dea Kirana, putri Rusdi. Adapun Rusdi disebut tetap melakoni negosiasi secara bilateral dan multilateral.
Dalam proses restrukturisasi utang sewa pesawat inilah muncul kabar Lion bakal mendirikan maskapai penerbangan baru. Negosiasi berkembang tak hanya untuk urusan utang, tapi juga peluang mengalihkan kontrak sewa ke perusahaan baru. Kepada Cirium, sejumlah kreditor Lion menyatakan kekhawatiran mereka jika Singa Merah—julukan Lion—akan dikandangkan selepas kendaraan baru, Super Air Jet, beroperasi.
Rusdi Kirana, dalam rapat virtual bersama sejumlah perwakilan lessor pada 3 Juni lalu, menepis rumor yang menyebut ia berencana menutup Lion dan berfokus pada Super Air Jet. “Dia membuat forum untuk mengatakan, ‘Kami di sini untuk bertahan hidup. Kami di sini untuk tetap ada. Kami tidak akan bangkrut’,” kata seorang peserta rapat seperti dilaporkan Cirium di FlightGlobal.
Tempo berusaha meminta klarifikasi atas informasi tersebut kepada Grup Lion. Dihubungi pada pekan lalu, Farian Kirana, keponakan Rusdi yang tercatat sebagai salah satu pemegang saham Super Air Jet, menolak berkomentar. Farian, yang juga menjadi Chief Executive Officer Lion Parcel, mengatakan yang mengurus Super Air Jet adalah Ari Azhari dan Edward Sirait. Ari adalah Direktur Utama PT Super Air Jet, sementara Edward tangan kanan Rusdi yang menjabat Direktur General Affairs PT Lion Mentari Airlines.
Edo—panggilan Edward—menyatakan tidak berhak menjawab pertanyaan Tempo. Lewat Edo pula Tempo meminta permohonan wawancara dan pertanyaan konfirmasi ditembuskan kepada Rusdi. Namun, menurut dia, sepanjang pekan lalu, bosnya itu masih berada di luar negeri. “Sepertinya beliau masih sibuk,” ujarnya lewat pesan WhatsApp, Jumat, 23 Juli lalu.
Toh, di tengah kekhawatiran para kreditor dan lessor Lion, Kementerian Perhubungan tetap menerbitkan AOC kepada Super Air Jet pada 25 Juni lalu. “Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak bisa bekerja berdasarkan kecurigaan, karena semua (syarat pengajuan AOC) sudah sesuai dengan aturan,” kata Kepala Bidang Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Budi Prayitno, Jumat, 23 Juli lalu.
•••
KEBERADAAN Grup Lion di belakang Super Air Jet mulai terungkap dalam sebuah transaksi. Debtwire, penyedia layanan data dan analisis kredit, mengungkap pemindahan dana dari rekening PT Lion Mentari Airlines di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pada 2 Februari 2021. Dana senilai Rp 518 miliar ditengarai mengalir ke rekening PT Super Air Jet. Duit lain, Rp 450 miliar, ditujukan ke PT Flyindo Aviasi Nusantara, penyedia pesawat carter yang lebih dulu mengantongi surat izin usaha penerbangan dari Kementerian Perhubungan.
Jejak Grup Lion centang-perenang dalam akta pendirian PT Super Air Jet. Didirikan di hadapan notaris Yusdin Fahim pada 29 Juli 2020, sehari sebelum disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, maskapai penerbangan baru ini dipimpin Ari Azhari sebagai direktur dan Redi Irawan sebagai komisaris. Walau begitu, Ari, yang sebelumnya menjabat General Manager Services Grup Lion dan Redi, yang masih bertugas sebagai Direktur Operasional Wings Air, tak punya saham di Super Air Jet.
Dua nama yang tercatat sebagai pemegang saham Super Air Jet adalah Rudy Lumingkewas, Presiden Direktur PT Lion Mentari Airlines, dan Achmad Hasan, Direktur Utama PT Wings Abadi Airlines (Wings Air). Adapun saham terbesar dikantongi PT Kabin Kita Top. Di perusahaan inilah Farian Kirana, anak Kusnan Kirana, berbagi kepemilikan saham dengan Davin Putra, putra Rusdi Kirana.
Manajemen bersama kru maskapai Super Air Jet saat penyerahan Sertifikat Operator Penerbangan (AOC), pada 30 Juni 2021. Foto: Super Air Jet
Farian juga mengempit 50 persen saham di Flyindo Aviasi Nusantara. Anak Rusdi yang juga adik Davin, Denis Febrian, menguasai sisanya. Sedangkan Edward Sirait menjabat komisaris perseroan, dibantu Daniel Putut Kuncoro Adi sebagai direktur. Daniel juga menjabat Direktur Keselamatan dan Keamanan Grup Lion.
Dalam transaksi lewat BNI pada awal Februari 2021 itulah terungkap jejak bank terbesar ketiga milik negara tersebut sebagai salah satu penyandang dana terbesar Grup Lion. Seorang pejabat di lingkungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengungkapkan, kucuran pinjaman BNI ke Lion lebih dari Rp 10 triliun. Sekitar 40 persen di antaranya berupa pinjaman tunai, sisanya non-tunai alias bank garansi. “April lalu sudah ada pembicaraan untuk restrukturisasi. Lion diwajibkan memperbaiki operasional dan efisiensi,” tutur pejabat yang enggan disebutkan namanya ini.
Dihubungi Tempo, Corporate Secretary BNI Mucharom tidak membenarkan ataupun membantahnya. Mucharom hanya membenarkan kabar bahwa BNI adalah salah satu kreditor Lion. Dia pun memastikan Lion hingga saat ini masih memenuhi kewajiban kepada bank. “Seluruh fasilitas pembiayaan pada Lion Air sampai dengan saat ini memiliki kolektibilitas lancar tanpa ada tunggakan,” kata Mucharom, Sabtu, 24 Juli lalu.
Kelancaran pembayaran utang itu, menurut Mucharom, buntut dari efisiensi biaya operasional Lion, terutama penurunan biaya sewa pesawat dan gaji pegawai. Namun, mencermati kondisi bisnis penerbangan yang masih sangat menantang, dia menambahkan, restrukturisasi menjadi langkah rasional untuk meringankan beban perusahaan. “Saat ini kami terus berkoordinasi dengan Lion,” ujar Mucharom.
Sebaran utang Lion di dalam negeri ini membuat sejumlah pejabat di BUMN ketar-ketir. Selain BNI, beberapa BUMN sektor penerbangan masih mencatatkan piutang ke Lion. Tiga yang terbesar adalah PT Angkasa Pura II (Persero), PT Angkasa Pura I (Persero), dan Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau AirNav Indonesia.
Angkasa Pura II mencatat utang Lion Air per Desember 2020 masih Rp 123,8 miliar dan Batik Air Rp 75,9 miliar. Namun tidak ada catatan spesifik berapa utang Lion di Angkasa Pura I. Yang jelas, dalam laporan keuangan 2020, piutang Angkasa Pura I tercatat mencapai Rp 319 miliar, sebagian di antaranya merupakan utang Grup Lion. Meski berutang, Lion menyumbangkan lebih dari 10 persen dari total pendapatan Angkasa Pura I.
Beruntung, kata dua pejabat BUMN yang mengetahui urusan utang-piutang ini, Lion masih jauh lebih tertib dan kooperatif dalam hal membayar utang dibanding maskapai penerbangan lain yang merupakan milik negara. Dua pejabat ini sadar, ada kekhawatiran Rusdi Kirana akan meninggalkan Lion dan lebih berfokus pada Super Air Jet. Namun mereka juga berkepentingan sehingga, apa pun langkah Grup Lion, BUMN penerbangan akan mendukung demi memulihkan pundi-pundi mereka yang juga terpukul akibat pandemi Covid-19. “Karena pendapatan mayoritas BUMN sektor penerbangan ini juga bergantung pada Lion juga,” ucap dua pejabat tersebut.
•••
SEORANG perwakilan lessor yang mengikuti rapat virtual dengan Rusdi Kirana pada 3 Juni lalu mengungkapkan, pendiri Lion itu tak akan membangkrutkan kelompok bisnisnya. Super Air Jet diklaim justru hadir untuk menciptakan keuntungan buat Grup Lion sehingga dapat membayar gunungan utang kepada kreditor dan lessor.
Bank Negara Indonesia secara terbuka mempercayai argumentasi Rusdi itu. “Dengan struktur biaya yang ideal, biaya pesawat murah, biaya personel terjangkau, kami berharap Lion dapat memperkuat pangsa pasarnya,” kata Corporate Secretary BNI Mucharom. “Lion berupaya efisien dengan struktur biaya seperti Super Air Jet.”
Sejumlah lessor yang mulanya waswas terhadap rencana Lion dikabarkan mulai membuka diri untuk menyewakan pesawat ke Super Air Jet. Salah satunya Avolon, yang telah mencantumkan Super Air Jet sebagai salah satu pelanggan di situs resmi mereka.
Super Air Jet tampaknya ingin memanfaatkan kondisi suplai berlebih pesawat di tengah pandemi. Banyak pesawat kembali kepada lessor lebih cepat. Lebih banyak lagi order pesawat baru yang diundurkan pengirimannya. Kondisi ini membuat harga sewa pesawat terjungkal. Laporan McKinsey & Company pada April 2021 mencatat harga sewa pesawat Boeing 777-300ER klasik kini anjlok menjadi di bawah US$ 800 ribu per bulan. Padahal, pada 2019, biaya sewanya masih sekitar US$ 1,2 juta per bulan. “Harga sewa pesawat di pasar sekarang turun 25-50 persen,” ucap pengamat penerbangan, Gerry Soedjatman, Sabtu, 24 Juli lalu. “Itu sama saja dengan penghematan total biaya operasi maskapai10-15 persen.”
Begitu juga dengan suplai berlebih sumber daya manusia. Firma konsultasi global lain, Oliver Wyman, mencatat kebutuhan pilot secara global hanya 244.731 orang per 1 Januari 2021, jauh di bawah angka suplai yang mencapai 313.782 pilot. Di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, angka suplai berlebih pilot mencapai 12.591. “Mungkin saja standar gaji pilot akan turun dengan suplai berlebih seperti ini,” ujar Vincent Raditya, penerbang yang juga YouTuber kondang, Sabtu, 24 Juli lalu.
Menurut Vincent, era pilot mahal ketika kebutuhan akan pilot melonjak pada 2009-2011 bakal berakhir seiring dengan dampak Covid-19. Sebelum pandemi merebak, gaji pokok seorang pilot rata-rata Rp 40 juta. Ditambah honor per jam terbang, seorang pilot sanggup membawa pulang Rp 80-100 juta per bulan. Selama masa pandemi, mayoritas maskapai penerbangan hanya membayar pilot 10-20 persen dari gaji pokok. “Ada pilot yang gajinya Rp 7 juta per bulan sekarang,” tutur Vincent.
Carolina Lestari Sirait, Corporate Communication Super Air Jet, mengatakan saat ini pemberitaan mengenai Super Air Jet akan disampaikan melalui siaran pers. Sebelumnya, Direktur Utama Super Air Jet Ari Azhari mengungkapkan dalam siaran pers tertanggal 20 Juli 2021 bahwa fokus utama perusahaannya adalah menawarkan konsep berbiaya rendah dengan penerbangan langsung antarkota secara point-to-point di pasar domestik. “Nantinya dapat merambah ke rute-rute internasional,” kata Ari.
Dua orang yang mengetahui proses perekrutan penerbang Super Air Jet mengatakan sejumlah penerbang muda di Lion Air dan Batik Air ditawari menyeberang ke perusahaan baru itu. Syaratnya, standar gaji mereka disesuaikan dengan batas gaji Super Air Jet. “Mereka rata-rata ditawari belasan juta per bulan. Itu take home pay, bukan gaji pokok,” ujar dua sumber ini. “Rata-rata pada diambil, daripada jualan cilok atau mi ayam.”
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo