Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Alarm Dini dari Pesisir Jakarta

Studi Greenpeace terbaru memprediksi Jakarta Tenggelam pada 2030. Dampak kenaikan permukaan air laut akibat produksi emisi karbon dioksida.

24 Juli 2021 | 00.00 WIB

Nelayan melewati tanggul laut penahan banjir rob di daerah Marunda, Jakarta Utara, Juli 2018./Dok TEMPO/Fakhri Hermansyah
Perbesar
Nelayan melewati tanggul laut penahan banjir rob di daerah Marunda, Jakarta Utara, Juli 2018./Dok TEMPO/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Greenpeace merilis studi dampak kenaikan permukaan air laut terhadap tujuh kota besar di Asia, termasuk Jakarta.

  • Kenaikan muka air laut bisa menyebabkan 1,8 juta warga Jakarta perlu mengungsi karena banjir 10 tahunan pada 2030.

  • Peringatan dini agar pemerintah dan swasta bertindak lebih nyata untuk mengurangi emisi.

TIAROM, 45 tahun, lahir dan besar di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masa kecil ia nikmati di rumah orang tuanya yang berada dua kilometer ke utara dari tempat tinggalnya saat ini di Jalan Pinggir Dermaga Muara, Kanal Banjir Timur, Kampung Marunda Kepu. Ia dan keluarganya pergi dari rumah lamanya itu pada 1995 saat kawasan tersebut diterjang banjir yang dipicu abrasi parah. "Rumah lama kami sudah jadi laut," kata Tiarom melalui pesan WhatsApp sembari mengirim foto suasana laut Marunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sehari-hari Tiarom bekerja sebagai nelayan keramba jaring tancap, membudidayakan kerang hijau, dan sesekali mengantar orang mancing. Karena menikah muda, ia kini punya enam anak dan lima cucu. Tiarom juga tidak asing dengan informasi tentang dampak lingkungan terhadap Jakarta, termasuk kemungkinan Jakarta tenggelam pada 2050 seperti prediksi sejumlah ahli. "Kalau (perkiraan) saya, sih, enggak 2050. Sebelum 2050 mulai tenggelam," ujarnya, Rabu, 21 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut pria yang akrab disapa Bang Arom itu, dalam 20 tahun terakhir ini saja kenaikan muka air laut sebesar 50-60 sentimeter. Kalau dihitung sampai 2050, kenaikannya bisa 1,5 meter. "Kalau setinggi itu, masyarakat di pesisir yang tidak meninggikan rumahnya terancam tenggelam," ucapnya. Namun ancaman itu tidak membuatnya berpikir untuk pindah. Selain tidak mampu membeli lahan, dia mengaku sulit beralih dari profesinya sebagai nelayan.

Banyak prediksi para ahli tentang nasib Jakarta. Pada 2018, peneliti dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, memprediksi 95 persen wilayah Jakarta Utara akan terendam air laut pada 2050. Pemicunya adalah penurunan tanah sebesar 2,5 meter dalam 10 tahun (1-15 sentimeter per tahun). Pada 12 Mei lalu, firma konsultan risiko Verisk Maplecroft memasukkan Jakarta ke daftar 100 kota yang menghadapi risiko besar lingkungan, dari banjir hingga kerentanan terhadap krisis iklim.

Studi terbaru adalah yang dilakukan Greenpeace East Asia, yang dirilis pada 24 Juni lalu, tentang ancaman yang dihadapi tujuh ibu kota negara di Asia Timur, termasuk Jakarta, pada 2030. Kajian itu menyitir sejumlah studi serupa yang menyatakan bahwa ibu kota Indonesia yang memiliki ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut dan dialiri 13 sungai tersebut rawan banjir karena masalah drainase. Setiap tahun Jakarta juga diterjang banjir akibat hujan lebat, debit sungai yang tinggi, dan rob. Pengambilan air tanah yang berlebihan berkontribusi terhadap penurunan muka tanah.

Menurut Greenpeace, berdasarkan analisis data spasial dan skenario terburuk, hampir 17 persen dari total luas daratan Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut akan terendam bila terjadi banjir 10 tahunan pada 2030. Jakarta bagian utara adalah daerah yang akan paling terkena dampak, termasuk Monumen Nasional dan Balai Kota Jakarta, yang berada di Jakarta Pusat. Kenaikan air laut yang ekstrem itu berdampak pada 1,8 juta orang dan dapat membahayakan sebesar US$ 68,2 miliar dari total produk domestik regional bruto (PDRB) Jakarta.

Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan temuan terbaru ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan semata soal lingkungan. Implikasinya juga langsung ke manusia dan ekonomi. "Yang lebih mengerikan dari proyeksi ini, ada 1,8 juta saudara kita yang mungkin akan mengungsi karena rumah mereka terendam oleh kenaikan permukaan air laut," kata Tata, Selasa, 13 Juli lalu.

Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan hampir seluruh pesisir Jakarta akan terkena dampak kenaikan air laut. Dia menyebutkan, tenggelamnya Masjid Wall Adhuna di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, yang kini berada di luar tanggul pantai Jakarta, adalah salah satu contoh nyata. Tubagus menyatakan banyak faktor yang menenggelamkan Jakarta. "Meningginya permukaan air laut, turunnya permukaan tanah, tutupan lahan di pesisir yang dibebani kawasan industri, itu mempengaruhi," ucapnya, Jumat, 16 Juli lalu.

Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Laely Nurhidayah, menilai kenaikan muka air laut adalah masalah yang dihadapi Jakarta. Dia menyitir studi Intergovernmental Panel on Climate Change 2019 bahwa kenaikan permukaan laut akhir dekade berkisar 0,29-1 meter itu masih kategori moderat. "Jakarta sama seperti Semarang, punya masalah penurunan permukaan tanah. Hal ini memperberat dampak dari kenaikan permukaan laut," katanya, Rabu, 21 Juli lalu.

Menurut Laely, banyak industri di Jakarta yang mengambil air tanah dan penegakan hukumnya kurang. Pada saat yang sama, penyediaan air dari permukaan sangat tidak memadai untuk kebutuhan industri dan rumah tangga. Solusi yang dilakukan melalui pembangunan tanggul pantai raksasa (giant sea wall) juga banyak dikritik. "Banyak akademikus mengatakan itu hanya menangani naiknya permukaan air laut, tidak menyelesaikan soal penurunan tanah," tuturnya.

Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan DKI Jakarta, Irvan Pulungan, mengatakan semua studi yang berkaitan dengan kenaikan permukaan laut dan penurunan tanah itu bagian dari bahan untuk menentukan kebijakan. Salah satu kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah membangun tanggul pantai, yang dilakukan sejak 2007. “Kami perlu memastikan tanggul itu memiliki bukaan dermaga nelayan kecil agar nelayan tidak terganggu,” katanya, Kamis, 22 Juli lalu. "Kami tak mau menyelesaikan masalah lingkungannya tapi masyarakat kehilangan mata pencarian.”

SUMBER: THE PROJECTED ECONOMIC IMPACT OF EXTREME SEA-LEVEL RISE IN SEVEN ASIA CITIES IN 2030, GREENPEACE, JUNI 2021


Jakarta juga akan menggalakkan penanaman mangrove. Menurut Irvan, saat ini Pemerintah Provinsi Jakarta tengah menyusun peraturan gubernur tentang pengelolaan wilayah pesisir. Salah satu isinya adalah mendorong pengelolaan bakau karena ada penelitian LIPI yang menyebutkan bahwa pesisir Jakarta sudah tercemar logam berat sehingga pohon bakaunya kerdil. "Kita dorong penanaman mangrove. Harus ada rekayasa teknologi untuk memastikan enggak kerdil," ujarnya.

Salah satu hutan bakau di Bekasi, Jawa Barat, berada di Muara Gembong. Menurut pendiri komunitas Muara Gembong Kita, Yusuf Maulana, abrasi sangat berdampak besar bagi penduduk dan petambak. "Abrasinya sampai dua kilometer," katanya, Selasa, 20 Juli lalu. Itulah yang membuat sejumlah kampung, seperti Kampung Bungin, Kampung Beting, dan Muara Kuntul, tidak lagi ditempati masyarakat karena sudah menjadi lautan. "Konservasi mangrove mulai digalakkan lagi pada 2010-2011," ucap pria yang akrab disapa Ucie itu.

Menurut Tubagus Soleh Ahmadi, menanam mangrove adalah bagian dari upaya pemulihan ekosistem di Jakarta, selain menghentikan proyek reklamasi. "Ya, memang tidak besar kontribusinya, tapi bisa mengurangi. Karena ini persoalan global," ujarnya. Tubagus juga mengusulkan ada upaya adaptasi terhadap masyarakat yang terkena dampak kenaikan permukaan air laut. Seperti apa bentuknya, menurut dia, perlu didiskusikan dengan penduduk, ahli, dan kelompok masyarakat sipil yang punya perhatian soal topik ini.

Greenpeace, kata Tata Mustasya, menilai banjir akibat kenaikan air laut ini efek dari produksi emisi yang membuat pemanasan global sehingga peran kebijakan pemerintah pusat sangat besar. Ia mendesak pemerintah dan perusahaan mengatasi krisis iklim, antara lain dengan menghentikan pemakaian batu bara dan melakukan transisi ke energi terbarukan. "Paradigma lama yang menyebut jika ekonomi tumbuh secara otomatis akan memperbaiki lingkungan harus ditinggalkan. Studi ini juga menunjukkan, kalau mengabaikan lingkungan, dampaknya sangat dekat dengan kita," ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus