LURAH Nuraksi, 64, di Desa Ampenan Selatan, Lombok Barat, NTB,
cukup repot. Bukan mengawasi maling, "tapi direpotkan para
pemuda yang suka ngapelin janda." Lebih susah lagi karena para
aparat keamanan desa suka bertindak kelewat tegas: setiap ada
yang tertangkap tangan langsung dipaksa kawin. Risikonya bagi
Nuraksi adalah biaya perkawinan ditanggung kas desa. "Setiap
minggu disibukkan dengan urusan kawin, saya bosan," kata
Nuraksi.
Lurah mencari akal, sekitar 300 pemuda dikumpulkan. Dibentuklah
"arisan kawin". Setiap ada pcrkawinan, mendadak atau terencana,
tiap pemuda harus mengeluarkan uang Rp 500. Hasilnya, kas desa
tak lagi digerogoti urusan itu.
Tapi urusan kawin cerai yang serba mendadak tidak menurun.
Nuraksi, yang sudah 12 tahun menjadi lurah, mengadakan sensus
khusus belum lama ini. Dari 10.500 jiwa penduduk desanya,
diketahui bahwa jumlah janda lebih dari seratus orang. "Bukan
pemudanya yang brengsek, tapi jandanya itu," kata Nuraksi.
Mereka suka memancing laki-laki, tertawa terbahak-bahak dan
pesolek. "Siapa yang tak kepingin lihat janda genit. Saya pun
kadang tergoda," katanya terus terang.
Adapun penyebab perceraian itu sudah diselidiki lurah yang kini
sudah pensiun dari kepolisian itu. "Setelah jadi istri resmi,
jangankan bersolek, mandi pun amat jarang Suaminya jadi tak
doyan lagi," kata Nuraksn "Kawin cerai di sini paling tinggi di
Lombok Barat," katanya tanpa menyebutkan angka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini