Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT paripurna itu semula akan dipimpin Presiden Joko Widodo. Tapi, pada hari yang sudah ditentukan, Presiden batal datang. Bertempat di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, rapat Satuan Tugas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi pada 29 Juni itu akhirnya dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dalam rapat itu, Jusuf Kalla mengukuhkan tim gugus tugas paket deregulasi. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution ditunjuk sebagai ketua satuan tugas. Adapun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Staf Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi diangkat sebagai wakil ketua I, II, dan III.
Mereka dibagi dalam empat kelompok kerja, yakni diseminasi dan kampanye kebijakan, percepatan dan penuntasan regulasi, evaluasi dan analisis dampak, serta penanganan dan penyelesaian kasus.
Dari sejumlah satuan tugas yang pernah dibentuk pemerintah, Satgas Paket Deregulasi ini merupakan yang terbesar. Jumlah anggotanya tak kurang dari 130 orang dari beragam lembaga dan kementerian. Setiap Selasa, semua anggota satgas berencana menggelar rapat paripurna mingguan. "Tim ini tak boleh menjadi superbody," kata Kalla.
Pembentukan satuan tugas itu menyusul banyaknya keluhan sejak pemerintah meluncurkan paket deregulasi sembilan bulan lalu. Satgas dibentuk untuk merespons keluhan-keluhan itu. Salah satunya memperbaiki koordinasi kebijakan ekonomi yang tertulis di dalam paket. "Kami sadar kurang koordinasi sehingga membentuk sejumlah tim," kata Kalla di kantornya pada Kamis dua pekan lalu. Inilah rapat perdana yang melibatkan sejumlah tim.
Menurut Kalla, kalangan pengusaha dan jajaran internal pemerintah mendesak agar paket I-XII dievaluasi. Itu sebabnya pemerintah tidak akan memproduksi paket deregulasi baru—meski masalah di sektor logistik, misalnya, masih menggunung. "Stop dulu. Jalankan reformasi yang penting-penting saja," ujar Kalla. Tujuannya, kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, agar paket yang sudah ada bisa lebih efektif.
Dari September tahun lalu sampai Maret kemarin, pemerintah Joko Widodo menerbitkan selusin paket kebijakan. Tak kurang dari 203 peraturan dideregulasi. Hingga akhir Juli lalu, pemerintah telah mengeluarkan 201 (99 persen) peraturan baru, terdiri atas 48 peraturan tingkat presiden serta 153 peraturan tingkat kementerian dan lembaga. Menteri Darmin mengatakan tinggal dua peraturan presiden dalam finalisasi. "Selain itu, ada 17 peraturan turunan belum rampung," kata Darmin di kantornya.
Bila semua paket kebijakan ekonomi dapat diimplementasikan, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop, memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh 5,1 persen pada 2016 dan 5,3 persen pada 2017. Tapi, hingga paruh pertama 2016, paket deregulasi itu dinilai belum berpengaruh signifikan terhadap perekonomian.
Direktur Eksekutif Institut Ekonomika Pembangunan dan Keuangan (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, meski sudah banyak deregulasi, indikator easy doing business masih bermasalah. Data easy doing business Bank Dunia mencatat posisi Indonesia di peringkat ke-114, jauh di bawah Malaysia, Vietnam, dan Filipina.
Angka komitmen investasi naik pesat mencapai Rp 1.852 triliun tahun lalu. Tapi yang terealisasi hanya Rp 545 triliun, tak sampai 30 persen. Angka realisasi ini malah lebih rendah dari tahun sebelumnya. "Berarti paket belum memberikan garansi kemudahan investasi," kata Enny. Hal itu tergambar juga dari rilis lembaga pemeringkat S&P yang masih menempatkan Indonesia di BB+ atau sama dengan tahun lalu.
Penanaman modal tetap bruto (PMTB) memang tumbuh 5,5 persen. Namun, kata Enny, impor bahan baku dan bahan penolong serta barang modal justru turun. Sedangkan impor konsumsi meledak. "Ini menunjukkan tidak ada peningkatan produksi industri di dalam negeri," ujar Enny.
Bukan hanya pemerintah, para pelaku ekonomi pun berharap paket kebijakan dapat berjalan. Sejak awal diluncurkan, paket-paket ini ditargetkan menopang pergerakan ekonomi nasional. Sejumlah deregulasi itu dilakukan dengan mempermudah perizinan, mendorong ekspor, dan membuka peluang arus masuk investasi baru dalam skala besar. "Ada juga deregulasi kecil-kecil untuk mendorong permintaan, seperti KUR, PPh 21," kata Darmin.
Deputi Perdagangan dan Perindustrian Kementerian Koordinator Perekonomian Eddy Putra Irawady menambahkan, perekonomian Indonesia tengah menghadapi persoalan akut. Hal itu tampak pada pertumbuhan ekonomi yang kian lambat. Pertumbuhan tahun lalu hanya 4,8 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang 5,2 persen. "Pertumbuhan kian turun karena daya beli masyarakat terus digerogoti," kata Eddy.
Sepanjang 2011-2014, Indeks Harga Konsumen naik 20 persen, mencapai 120,14. Namun ekspor melambat. Volume ekspor itu menurun drastis dalam 10 tahun terakhir, dari US$ 386 miliar menjadi US$ 192 miliar. Nilai ekspor Indonesia tidak pernah lebih dari 1 persen porsi perdagangan dunia. Komposisi ekspor hanya bergantung pada sumber daya alam. "Tidak ada barang penemuan dan manufaktur," kata Eddy.
Dalam 20 tahun terakhir, kinerja industri terus merosot. Sejak 1994, sektor industri sempat tumbuh 10,87 persen. Namun pertumbuhan itu menurun tajam pada 2004 menjadi 6,68 persen. Industri pengolahan hanya tumbuh 4,86 persen. Penyerapan tenaga kerja turun dari 279.099 pada 2012 menjadi hanya 124.135 pada 2014.
Di sisi global, pertumbuhan ekonomi terus melambat. Meski ekonomi Amerika Serikat telah pulih, perekonomian di sejumlah negara maju belum bergairah sehingga investor mengalihkan pundi-pundinya ke negara berkembang. Pada 2014, Indonesia berada di peringkat ke-14 foreign direct investment (FDI) global—nomor dua setelah Singapura di ASEAN—dengan porsi investasi sekitar US$ 23 miliar atau 1,86 persen dari perputaran FDI global. Pada tahun yang sama FDI global turun 16,4 persen menjadi US$ 1,23 triliun. Melihat kondisi tadi, kata Eddy, Indonesia perlu kebijakan khusus untuk merebut sumber investasi tersebut.
Karena itu, kata Eddy, sejumlah paket deregulasi diluncurkan untuk menjawab tantangan tadi. Kebanyakan substansi dari paket kebijakan itu, menurut Eddy, berupa rasionalisasi regulasi dan debirokratisasi. "Keadaan akan semakin buruk kalau tidak melakukan sesuatu," ujarnya.
Anton Joenoes Supit, Ketua Asosiasi Perusahaan Sepatu, mengakui sejumlah paket membantu dunia usaha. "Ada manfaat tapi kebutuhan kami lebih besar dari itu," kata Anton. Ia mengkritik lemahnya konsistensi pemerintah. Masalah lain adalah kepastian hukum, tata ruang, dan pengadaan tanah. "Harus ada lembaga ad hoc yang menampung semua keluhan itu," tutur Anton.
Indonesia, menurut dia, harus mencontoh Malaysia, yang membentuk National Economic Action Council pada krisis 1998. Konsul itu langsung berada di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Tugasnya menyelesaikan setiap ada hambatan investasi.
Darmin Nasution mengakui banyak paket belum efektif. Kebanyakan masalah justru datang dari dalam instansi pemerintah sendiri. Ia mencontohkan insentif sektor energi yang menyebutkan pemakaian setelah pukul 12 malam memperoleh diskon 30 persen. Faktanya, hanya tambahan konsumsinya yang didiskon. "Itu kan menyimpang dari aturan," kata Darmin.
Kasus lain, ada sejumlah rapat untuk menyepakati aturan dirombak tapi revisinya tidak kunjung keluar. Setelah diusut, pejabat eselon di kementerian teknis ternyata tidak mau kewenangannya dikurangi sehingga membuat beragam alasan yang menyebabkan deregulasi tidak jalan. Hal-hal semacam itu, menurut Darmin, bisa mengurangi kredibilitas paket kebijakan. "Nanti dikira pemerintah main-main," katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan tak semua isi paket deregulasi membikin senang pengusaha. Sebab, menurut dia, pemerintah tak melibatkan semua pemangku kebijakan. Ia mencontohkan paket pembukaan daftar negatif investasi untuk menarik investor asing justru berpotensi mematikan pengusaha dalam negeri. "Hotel bintang 1-2 kok investor asing boleh menjadi pemilik mayoritas," kata pemilik Grup Sahid itu.
Enny Sri Hartati menilai tidak efektifnya paket deregulasi lantaran pemerintah gagal menentukan fokus sejak awal. Ia menilai paket pertama sudah nyaris benar. Paket itu menunjukkan pemerintah ingin berfokus pada produktivitas nasional dan daya saing. Namun setelah itu banyak paket yang malah tidak jelas isinya. "Kayak Jaka Sembung, banyak yang tidak nyambung," kata Enny.
Menurut dia, isi 12 paket itu terlalu meluas ke mana-mana. Setidaknya ada sembilan sektor yang disinggung, antara lain industri dan daya saing; usaha mikro, kecil, dan menengah; ketenagakerjaan; energi; pangan; infrastruktur; perbankan dan moneter; logistik; serta properti. "Pengusaha itu tidak butuh banyak paket. Satu saja asalkan menyelesaikan persoalan mereka," kata Enny.
Pemerintah, kata Enny, seharusnya menyiapkan lebih dulu strategi induk sebelum diturunkan dalam bentuk kebijakan. Seorang pejabat di Kementerian Koordinator Perekonomian mengakui penyusunan paket kebijakan sejak awal tidak terstruktur rapi. Ini terlihat dari paket listrik yang digabung dengan urusan daging dan dwelling time yang digabung dengan farmasi.
Darmin membantah anggapan bahwa pemerintah gagal menentukan fokus. Menurut dia, semua kebijakan yang dibuat itu masih relevan. Namun ia mengakui masih banyak yang bolong di sana-sini. Ia membenarkan pemerintah tak menyiapkan blueprint lebih dulu. "Ibarat melempar batu, tutup mata saja pasti kena," kata Darmin. Bila kemudian ada masalah, baru diselesaikan. AGUS SUPRIYANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo