Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rintihan dari Balik Ruang Depresi

Dari balik Ruang Depresi Rumah Sakit Kramatjati, Jakarta, kabar itu terdengar seperti kidung yang menyayat. Ratusan buruh migran perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan ketika bekerja di luar negeri. Mereka disiksa, diperkosa, dan dirampok ketika kembali ke Tanah Air. Tak sedikit yang kembali ke kampung halaman dalam peti mati. Pemerintah dituding tak mampu melindungi warga negara yang justru bekerja untuk mendatangkan devisa buat Republik. Pemerintah menuduh negara penerima tenaga kerja Indonesia yang tak mau bekerja sama. Sementara itu, para calo tenaga kerja dan birokrat yang lapar terus mengintai para pembantu rumah tangga itu untuk melucuti uang hasil kerja para wanita tak berdaya tersebut. Inilah kisah duka yang melarat-larat.

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sebuah ruang berukuran sedang dengan nama yang menyeramkan: Ruang Depresi. Tak seperti kamar lainnya, ruang ini dilapisi terali besi yang kukuh, juga berjeruji seperti sel penjara. Di balik terali di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Pusat Sukanto Kramatjati, Jakarta, November lalu, Lina terdampar. Ia bekas tenaga kerja wanita yang baru kembali dari Timur Tengah dan mengalami depresi hebat.

Lina menutup mukanya yang putih dan cantik itu dengan kedua tangan. Berkali-kali ia menggelengkan kepala, menolak tatapan iba dari orang-orang yang lewat. Sambil memekik tak jelas, tangan kanannya mengulurkan tutup botol air mineral, tangan kirinya menunjuk gigi: ia membutuhkan sikat untuk menggosok gigi.

Wajah ketakutan tersirat setiap melihat lelaki yang mendekatinya. "Buka! Endi kuncine (mana kuncinya)?" katanya dengan suara yang tak jelas. Tangan kanannya mengibas-ngibas ke depan wajah tanda ia menyuruh orang lain pergi.

Lina adalah satu dari 15 tenaga kerja wanita yang baru kembali Oktober lalu dari luar negeri dan dirawat di rumah sakit polisi itu. Sebelas di antara teman-temannya mengalami depresi setelah mengalami tragedi memilukan seperti penipuan, penyiksaan fisik, dan kekerasan seksual. Lina adalah pasien tergawat sehingga dokter memutuskan mengisolasinya untuk beberapa lama. Menurut salah seorang suster di ruang depresi itu, belum jelas mengapa ia mengalami deprasi hebat. "Kemungkinan ia diperkosa hingga takut melihat sosok laki-laki," kata perawat itu.

Lina hanyalah contoh kecil tentang nasib buruk yang dialami tenaga kerja wanita (TKW) kita. Hingga akhir tahun ini, dari sekitar 1,8 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, 21 ribu orang di antaranya tergolong bermasalah. Mereka disiksa, diperkosa, bahkan dibunuh. Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian pada buruh migran, menyebutkan hingga September 2003, 94 TKW mati di tempat tugas dan puluhan lainnya hilang tak berbekas.

Kondisi buruk inilah yang membuat aktivis buruh migran menggelar seminar besar di Jakarta pekan lalu. Berbagai persoalan buruh migran dibahas. Lalu, untuk mengingatkan publik akan persoalan ini, seminar ditutup dengan demonstrasi massal.

Tak mudah, memang, mengobati luka TKW kita dengan demonstrasi dan sebuah seminar. Luka telanjur menganga dan terus mengucurkan darah.

Di Rumah Sakit Kramatjati, Lina tak sendiri. Sebelum Lina datang, ada pula Halimah, kita sebut saja namanya begitu. Perempuan asal Blitar itu berteriak-teriak terus tak keruan. Ia melolong meminta tolong orang yang menghampirinya agar memberi kabar suami dan anaknya. Ia mengaku tak mengetahui di mana saat itu ia berada.

Ia meracau: menyebut suami, anak, alamat rumahnya, dan kota terakhir tempatnya bekerja, Oman, Saudi Arabia. Tapi ingatannya hanya sampai di situ. Ia dipindahkan ke kamar isolasi karena ia hampir membakar tempat tidur ketika masih disatukan dengan TKW lain.

Kini Halimah sudah lebih baik. Menurut ibu dari dua anak ini, ia baru bekerja di Oman dua bulan. Sebelumnya, ia sempat berpindah-pindah majikan. Dan tak pernah lama. "Saya tak tahan. Tiap hari dipukul terus, apalagi majikan laki-laki maunya mencium saya terus," kata Halimah. Karena acap kali berpindah majikan, praktis hanya dua bulan ia bekerja di satu tempat. Karena itu pula, tak sesen pun yang dikirimkan ke kampung. Gaji dua bulan pertama selalu dipotong perusahaan yang memberangkatkannya.

Di sudut ruangan, meringkuk Mila, gadis asal Cianjur yang bungkam sejak tiba di Indonesia. Kata dokter, saat pertama kali datang suhu badannya tinggi. Selang infus menancap di tubuhnya. Perempuan itu sama sekali tak bereaksi atas pertanyaan atau sekadar sapaan. Kata ibunya, di Madinah, Arab Saudi, tempatnya bekerja, majikannya telah memperkosa Mila.

Empat tenaga kerja wanita lainnya dirawat di bagian dalam rumah sakit karena mengalami kekerasan fisik oleh majikannya. Ada yang mengalami patah paha dan kaki karena mencoba kabur dari rumah majikan. Ada pula yang sekujur tubuhnya luka-luka karena berkali-kali dipukul dengan benda tumpul hingga mengakibatkan cacat seumur hidup.

Seorang di antaranya bahkan mengalami kebutaan karena ditusuk dengan garpu oleh majikannya. Penderitaannya itu semakin lengkap ketika ia kemudian diperas di Tanah Air. Dua tahun bekerja di Arab Saudi, Laila, nama tenaga kerja itu, membawa US$ 600 (sekitar Rp 4,8 juta). Tapi semuanya ludes di Bandara Soekarno Hatta. "Semua bawaan saya diambil orang bandara. Katanya saya sakit, jadi barang mereka bawakan. Tapi semuanya enggak pernah balik lagi," tuturnya. Bahkan perhiasan emas seperti kalung, gelang, cincin ludes dipereteli orang tak jelas.

Farida, 18 tahun, asal Kalimantan Barat, juga menderita depresi mental. Diduga ia diperkosa oleh agennya di Sarawak, Malaysia Timur. Sementara itu, 20 kawan Farida lainnya diintimidasi dan disiksa karena mereka tak bersedia dijadikan wanita tuna susila.

Tak hanya mendapat perlakuan buruk dari majikan dan penyalur tenaga kerja, perlakuan jahat terkadang diterima TKW justru oleh aparat keamanan negeri tempat mereka bekerja.

Indriani, seorang buruh migran lainnya, mengisahkan bagaimana jika mereka mengadukan nasib buruk mereka ke polisi, kerap kali justru aparatlah yang "menangguk untung". Dalam perjalanan dari penjara kecil ke penjara besar di Kuwait, untuk "mengamankan" para buruh itu polisi tak jarang membelokkan mobil yang membawa para buruh perempuan itu ke hotel, lalu menggilir TKW satu per satu. "Saya nyaris diperkosa. Tapi, karena berontak, saya berhasil melarikan diri dan masuk ke dalam lift. Beruntung ada petugas hotel yang melihat saya menangis, sehingga polisi itu tidak berani berbuat macam-macam," kata Indriani ketika ditemui TEMPO.

Penderitaan buruh migran itu sesungguhnya bukan cerita baru. Tahun 1990-an lembaga swadaya masyarakat Solidaritas Perempuan mengungkapkan adanya masalah serius dalam pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Mereka, misalnya, mensinyalir kematian misterius para TKW. Tapi ketika itu pemerintah tak bergerak.

Selain lemahnya perlindungan TKW oleh pemerintah, hal lain yang ditunjuk sebagai biang keladi penderitaan buruh migran kita adalah ulah agen penyalur tenaga kerja.

Secara bisnis, mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri memang menggiurkan. Sebuah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) bisa mengantongi sekitar Rp 3 juta hanya dari pengurusan dokumen perjalanan seorang tenaga kerja. Di Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, biaya resmi pembuatan paspor cuma Rp 115 ribu. Tetapi para calon tenaga kerja yang akan masuk Malaysia dipungut hingga 1.400 ringgit atau sekitar Rp 3,2 juta. Uang inilah yang harus dicicil oleh TKI selama 2-3 tahun lewat pemotongan gaji.

Jadi, PJTKI bisa untung dua kali dengan jumlah yang berlipat ganda. Para TKW di Taiwan, meski dengan penghasilan di atas Rp 3 juta sebulan, selama dua tahun tak mendapat utuh penghasilan mereka karena harus melunasi utang mereka kepada para agen.

Ketika mengunjungi Ruang Depresi Rumah Sakit Pusat Polri, Jakarta, Cendekiawan Islam Nurcholish Madjid meminta pemerintah menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Tetapi, kata Sekretaris Eksekutif Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi) Indonesia, Wahyu Susilo, usulan ini justru akan menambah persoalan pengangguran dan penyediaan lapangan pekerjaan di dalam negeri.

"Ini bukan lagi tanggung jawab Departemen Tenaga Kerja, Kedutaan Indonesia di luar negeri, atau agen, melainkan tanggung jawab presiden. Soalnya, ini menyangkut rentetan sistem yang tidak benar. Untuk mengatasi persoalan ini, perlu menunjuk spesial agen untuk melakukan monitoring kekerasan yang terjadi pada TKW di luar negeri," kata sosiolog Imam Prasodjo. Imam kini mengetuai Yayasan Nurani Dunia, yang salah satu aktivitasnya adalah menampung para TKW asal Kuwait.

Pemerintah sebetulnya bukan tak berbuat. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea, misalnya, pernah menghentikan pengiriman TKI ke beberapa negara di Timur Tengah untuk sementara waktu. Ia juga mengganti pejabat eselon I dan II di departemennya, yang menurut istilahnya sendiri telah menjadi sarang pemerasan TKI. Ia juga membatasi masa berlaku paspor bagi TKI, yang tujuannya membedakan TKI dengan pelancong lain sehingga mudah dimonitor. Ia juga pernah berjanji menindak sejumlah PJTKI yang dipandangnya nakal.

"Yang paling mendesak dilakukan adalah membersihkan seluruh aparat, baik di Depnakertrans maupun departemen lain, yang melahirkan persoalan dalam penempatan TKI termasuk PJTKI," kata Jacob.

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Dana Pembangunan PBB untuk Perempuan (United Nations Development Fund for Woman) di Jakarta awal Desember lalu, Jacob mengatakan bahwa perlindungan terhadap buruh migran mestinya tidak hanya dilakukan negara pengirim, tetapi juga negara penerima. Karena itu, perlu ada nota kesepahaman antara negara pengirim dan penerima. Namun, selama ini, tuturnya, banyak negara—terutama di Timur Tengah—yang tidak mau meneken nota tersebut. Di Arab Saudi sendiri, kata Jacob, pemerintah sulit melakukan perlindungan terhadap TKI karena soal pembantu dianggap urusan rumah tangga keluarga masing-masing.

Sulit, memang, menata soal pembantu ini. Sementara itu, di Rumah Sakit Kramatjati, Jakarta, pembantu yang bernasib sial terus berdatangan. "Buka! Endi kuncine?" kata Lina berulang-ulang. Seperti nasib buruh migran lainnya, ia kini terkurung persoalan. Mimpi mendapat gemerincing uang kini lenyap bersama tangis dan derita.

I G.G. Maha Adi, Fitri O., Andi Dewanto, Istiqomatul, Fasabeni (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus