Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi (bukan nama sebenarnya), 23 tahun, kini hanya bisa meratapi nasib. Buruh migran asal Desa Sumber Pucung, Blitar, Jawa Timur ini kini kehilangan sepotong rumah dan tanah seluas 800 meter persegi. Kepemilikan rumah yang masih ditempati orang tua dan tiga adiknya itu kini telah berpindah tangan. "Sertifikatnya sudah diambil calo yang memberangkatkan saya ke Jepang," ujar Dewi kepada TEMPO.
Kisah Dewi ini bermula dari keinginan gadis lulusan SMP ini untuk mengubah nasib. Dengan modal tenaga dan kemauan keras, Dewi berniat bekerja di Jepang. Seorang calo tenaga kerja bernama Supriyati bersedia membantu. Dewi dijanjikan bisa bekerja di sebuah pabrik pulp dengan gaji Rp 5 juta per bulan. Sebagai imbalan, Dewi diminta membayar tiket dan biaya administrasi Rp 20 juta. Karena tak punya uang, "Calo itu mengambil surat rumah dan tanah kami," ujar Dewi.
Awalnya Dewi tak menganggap pengambilan surat rumah itu sebagai masalah besar. Toh, jika ia sudah bergaji, surat tanah itu bisa ditebus. Maka pada 30 Maret 2003, bersama sembilan perempuan lainnya, Dewi berangkat ke Jepang. Tapi di bandara malapeta itu datang: Dewi disodori sebuah surat perjanjian kerja yang harus segera ditandatangani. "Sudahlah, tak usah dibaca. Kamu ndak usah banyak pikiran," ujar sang calo, seperti ditirukan Dewi.
Malang. Surat perjanjian tersebut justru menjebloskan ke sumur tanpa dasar. Sesampainya di Jepang, Dewi dan sembilan temannya baru sadar bahwa surat tersebut berisi pengakuan utang sebesar 5 juta yen atau setara dengan Rp 350 juta. Menurut majikan Dewi di Negeri Sakura, uang sebesar itu merupakan total biaya yang harus dibayar Dewi untuk menjadi TKW di Jepang.
Celakanya, untuk membayar utangnya itu, Dewi dipaksa menjual tubuhnya. Dewi, yang kemudian berganti nama menjadi Michiko, ditempatkan di Bar Hotaru Snac, Ibaraki—sekitar 100 kilometer utara Tokyo. Setiap malam Dewi dipaksa memuaskan nafsu para tamu bar. "Semua gaji hanya habis untuk membayar utang," ujar Dewi sambil menahan tangis.
Beruntung, pada Agustus lalu, Dewi berhasil kabur. Kemudian, dengan bantuan kepolisian Jepang, Dewi yang malang itu datang ke Kantor Kedutaan Besar RI di Tokyo.
Eddy Purwanto, aktivis Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), mengaku tak heran dengan kasus pemerasan dan penipuan yang menimpa Dewi. Eddy mengungkap jalur pemerasan TKI berlangsung mulai dari hulu hingga hilir. Setiap tahun, Kopbumi menerima ratusan laporan dari para tenaga kerja Indonesia yang bermasalah. "Sebagian besar adalah korban pemerasan dan penipuan," ujar Eddy Purwanto.
Eddy tak asal bicara. Untuk dapat berangkat, se-orang calon TKI harus melengkapi pelbagai dokumen—pengantar lurah, kesehatan, visa, paspor, premi asuransi, dan tiket pesawat. Pengadaan semua dokumen membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Celakanya, pemerasan juga terjadi saat para buruh migran pulang ke Tanah Air. Jalur khusus TKI di Bandar Udara Soekarno- Hatta, yang dibangun untuk melindungi TKI, justru acap menjadi jalur pemerasan TKI. Setelah keluar dari Bandara, TKI yang umumnya tak mengenal Kota Jakarta menjadi sasaran empuk para penipu.
Muhamad Sofyan, misalnya. Pada Oktober 2003 ia kehilangan seluruh hasil kerjanya di Malaysia selama dua tahun. TKI nahas asal Purworejo, Jawa Tengah, ini dicekoki minuman yang telah dicampur dengan obat bius. Selama dua hari, Sofyan tak sadarkan diri. "Uang Rp 20 juta di tas mereka ambil," ujar Sofyan kepada polisi.
Masita Sardi, TKI yang pulang dari Arab Saudi, punya kisah lain. Pada April 2002, ia bersama sepuluh rekannya dipaksa membayar mahal ongkos bus dari Bandara Soekarno-Hatta ke kampung halamannya di Sumbawa. Oleh sebuah perusahaan bus antarkota, setiap TKI yang baru mendarat ini diminta membayar ongkos Rp 3 juta. Padahal, tarif normal bus menuju Sumbawa cuma Rp 750 ribu.
Pelbagai penipuan dan pemerasan TKI sebenarnya adalah lagu lawas yang sumbang. Pemerintah seperti tak berdaya menghadapi ulah para penjahat yang makin pintar dan berani. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea sempat mengaku tak bisa berbuat banyak. "Saya bukan malaikat, yang bisa melindungi semua TKI," katanya.
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo