Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pergaulan Jodjana luas di antara perupa Belanda.
Menjadi model para perupa Belanda untuk karya mereka.
Sebagai penari, ia pernah tampil di hadapan Ratu Wilhelmina.
DALAM dua pameran yang kini tengah berlangsung di Amsterdam dan Den Haag, Raden Mas Jodjana (pelafalan: yojana) pada dasarnya tampil dalam situasi yang sama: model para seniman Belanda. Di Amsterdam, Jodjana tampil empat kali sebagai model para seniman anggota Amsterdamse School (Sekolah Amsterdam). Sedangkan di Den Haag, dalam satu lukisan cat minyak, Jodjana menjadi model bagi perupa Isaac Israëls, anggota kelompok perupa aliran impresionis yang tergabung dalam Haagse School (Sekolah Den Haag). Bagaimana sebenarnya hubungan RM Jodjana dengan kalangan seniman Belanda, melulu sebagai model atau lebih akrab?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menjadi model lukisan atau patung, Jodjana tampil dalam sebuah film. Film berjudul God Shiva ini digarap pada 1955 oleh sutradara Bert Haanstra. Para kritikus film Belanda tidak begitu antusias terhadap film yang hanya menampilkan Jodjana (sudah berusia 62 tahun) membawakan tarian Batara Siwa ini, seperti juga pengamat seni Indonesia. Pada salah satu edisi tahun 1956 majalah Konfrontasi, terbit artikel Bernard IJzerdraat berjudul “Tari Jodjana”. Artikel itu menguraikan tanggapan beberapa seniman atau cendekiawan zaman itu atas bagaimana Jodjana mementaskan tarian Siwa. Kebanyakan tidak bersuara positif. Bagaimana sebenarnya persahabatan Haanstra dengan Jodjana? Ternyata tidak begitu akrab. Dalam biografi Haanstra, nama Jodjana hanya muncul satu kali, dalam perkara film God Shiva yang didanai oleh Sticusa (yayasan kerja sama budaya Belanda-Indonesia) itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persahabatan erat Jodjana dengan beberapa seniman Belanda diuraikan cukup rinci oleh Trisno Sumardjo dalam artikel berjudul “Sedikit tentang Jodjana” yang terbit di Indonesia edisi 1951. Mencakup 14 halaman, uraian itu antara lain menjabarkan persahabatan erat Jodjana terutama dengan dua perupa: Isaac Israëls dan Chris Lebeau. Sayangnya, Trisno, yang menemui Jodjana di Amsterdam, tidak menjelaskan asal-usul bagaimana dia sampai bisa akrab dengan perupa Belanda tersebut. Untuk bisa mengetahuinya, orang harus mencari di pelbagai sumber berbahasa Belanda yang dapat dirujuk di perpustakaan Universiteit van Amsterdam. Di sana ada yang disebut sebagai het Jodjana archief alias arsip Jodjana.
Titik awal persahabatan itu adalah apa yang disebut “soiré artistique”. Istilah dalam bahasa Prancis (bahasa kalangan atas Belanda zaman itu) ini berarti malam kesenian. Pada awal 1916, bencana banjir melanda beberapa bagian Pulau Jawa. Para mahasiswa dan warga Nusantara lain yang waktu itu menetap di Belanda dan berhimpun dalam Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) memutuskan untuk menyelenggarakan malam amal, menghimpun dana bagi korban. Tapi apa yang mesti mereka tampilkan, sementara tidak cukup waktu untuk berlatih?
Akhirnya diputuskan untuk mementaskan gamelan dan beberapa tarian Jawa yang sering dipertunjukkan di keraton. Sebagian besar mahasiswa Hindia yang waktu itu menuntut ilmu di negeri penjajah adalah bangsawan yang dari kecil sudah memperoleh latihan kesenian Jawa di keraton, baik menabuh gamelan maupun menari. Jadi tidak dibutuhkan waktu lama untuk melakukan persiapan. Sebagai Sekretaris Perhimpunan Hindia, Jodjana memperoleh tugas khusus membawakan tari solo. Untuk itu, dia memilih tari Kelono.
Tarian tunggal ini melejitkan nama Jodjana. Malam itu dia tampil sebagai bintang pertunjukan yang berlangsung di Koninklijk Schouwburg (gedung kesenian kerajaan), Den Haag. Hadirin, termasuk Ratu Wilhelmina dan suaminya, Pangeran Hendrik, menyambut dengan sangat antusias. Begitu pula para kritikus seni Belanda. Salah satunya Henri Borel, yang menulis dalam harian Het Vaderland, “Di Eropa tidak pernah saya mengalami kenikmatan rohani yang begitu murni di bidang musik, tari, dan drama”. Antusiasme publik ini membuat pertunjukan yang berlangsung dua malam itu diulang, semula di Kota Utrecht dengan tajuk "Indische avond" (malam Hindia), kemudian di kota-kota Belanda lain.
Lukisan Raden Mas Jodjana karya Isaac Israëls, pada 1916. Wikipedia
Bagi Jodjana, penampilannya pada akhir musim dingin 1916 itu merupakan titik balik dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya muncul kesadaran dalam dirinya bahwa dalam perjalanan hidupnya ia tidak harus menjadi pegawai negeri, sebagaimana keturunan bangsawan Jawa lain. Juga, pada malam itu dia berkenalan dengan Isaac Israëls, perupa Belanda yang sudah punya nama sebagai anggota kelompok impresionis Amsterdam. Persahabatan ini bermakna bagi kedua pihak. Bagi Israëls, Jodjana adalah model. Beberapa lukisannya menampilkan Jodjana sebagai penari. Sedangkan bagi Jodjana, Israëls adalah guru yang tak hanya memperkenalkan seni rupa Eropa aliran mutakhir kepadanya, tapi juga, sesudah perkenalan itu, mengajarinya melukis.
“Isaac Israëls yang kagum pada seni gerak serta pakaian penari Jawa ingin melukis saya sebagai penari,” ujar Jodjana dalam salah satu wawancara di koran Belanda, Haagsche Courant. Ternyata bukan hanya satu lukisan yang dibuat, melainkan beberapa lukisan. Dia juga sering mendatangi Israëls yang waktu itu sudah pindah ke Den Haag, walau tidak sebagai model. Dalam perjumpaan di atelir ini, Israëls menuntun Jodjana untuk memahami dan menghargai seni rupa modern yang waktu itu berjaya di Eropa. Jodjana mengaku harus mati-matian membiasakan diri pada deretan warna-warni seni rupa aliran impresionis itu.
“Pada awalnya saya juga tidak bisa menghargai karya Isaac Israëls,” kata Jodjana. “Di negeri saya, orang tidak pernah kenal sosok atau obyek yang bentuknya disusun oleh warna.” Semula lukisan-lukisan Israëls yang menampilkannya sebagai model juga dianggapnya tidak bagus. “Saya tidak melihat bahwa wajah seseorang bisa dilukis berdasarkan gabungan warna dan nuansa. Faktor-faktor ini tidak saya temukan dalam kenyataan sehari-hari,” Jodjana melanjutkan. Wajah seorang Jawa, menurut dia, hanya akan dilukis menggunakan warna cokelat. “Berkat Isaac Israëls, saya belajar mengenal pelbagai warna dalam kombinasi dan efeknya sehingga saya juga bisa memperdalam perasaan saya terhadap pelbagai aspek warna.”
Jodjana juga bertutur tentang pengalamannya melihat lukisan Vincent van Gogh (kemungkinan besar lukisan bunga matahari) yang waktu itu dipinjam Israëls untuk dipajang di atelirnya. “Harus saya akui bahwa saya merasa aneh dan tidak paham di mana letak keindahan lukisan itu,” Jodjana berterus-terang. Sempat pula dia khawatir bahwa Israëls akan melukisnya seperti lukisan Van Gogh dengan warna-warni sibuk dan belang-blonteng: kuning, hijau, biru, dan lembayung. Begitu Jodjana bertutur kepada Trisno Sumardjo. Betapa akhirnya ia merasa lega ketika mendapati bahwa hasil lukisan Israëls tidak mengandung banyak warna seperti karya Van Gogh, walau dia belum juga paham akan corak lukisan impresionis itu.
Anehnya, Jodjana merasa lukisan Van Gogh itu mempunyai daya tarik gaib terhadapnya. Demikian ia menuturkan kepada Trisno, sastrawan Angkatan 1945 yang menemuinya di Amsterdam pada 1951. Memandangi lukisan Van Gogh, Jodjana mengaku, “Lambat laun lenyaplah perasaan tak enak dan tak tenang. Antipati bergeser menjadi simpati. Dari simpati itu tumbuhlah penghargaan sebesar-besarnya.” Sejak saat itu, Jodjana mengakui bahwa minatnya terhadap seni rupa modern Eropa mulai tergelitik sehingga pada suatu hari ia meminta Israëls mengajarinya melukis.
Jodjana dianjurkan mulai menggambar sketsa. Setelah beberapa waktu, ia kembali menemui Israëls, kali ini sebagai guru, dengan membawa lebih dari 40 sketsa buatannya. Semua itu ternyata tidak dianggap baik oleh Israëls. Tapi ada satu lukisan yang dikomentarinya: “Hanya tanda tanganmu yang baik pada sketsa ini.” Jodjana disarankan terus membuat sketsa, dan baru kembali menemuinya kalau sudah berhasil menyelesaikan beberapa ratus sketsa. Supaya Jodjana tidak patah semangat, Israëls berkisah bagaimana dia pernah mendapat pengajaran yang keras dan kritik tanpa ampun dari ayahnya sendiri, pelukis ternama Jozef Israëls. Pertama-tama, dia harus menggambar satu kotak korek api. Setelah dinilai bagus, dia harus melukis dua kotak korek api. Dari sini Jodjana belajar untuk tidak merasa terhambat oleh kritik tajam.
Kepada Trisno, Jodjana bertutur bahwa sebenarnya Israëls tidak banyak berbicara. Tidak pernah mengoreksi, Israëls cuma menganjurkannya membuat sketsa sebanyak mungkin. Dia juga diminta tidak menggunakan arang. Sebab, lukisan dengan arang sering dianggap bagus dan itu akan memperdaya si pelukis, seolah-olah ia sudah ahli menggambar. Untuk menghindari hal ini, Jodjana menggambar dengan pensil yang paling keras. Hasilnya lebih mirip dan lebih natural atau alami. Sesudah itu, Israëls menganjurkan dia menggunakan pensil berwarna, dengan mencontoh warna-warna obyek alami. Setelah membuat sangat banyak sketsa, Jodjana disarankan mulai melukis menggunakan cat air.
Artikel Trisno Sumardjo tentang Raden Mas Jodjana di majalah "Indonesia" pada September 1952.
Dalam melukis, Israëls tidak pernah meminta Jodjana meniru gayanya. “Berusahalah melukis sesuai dengan kesadaran diri sendiri,” Jodjana mengulang ucapan gurunya. Itulah sebabnya, menurut Jodjana, gayanya tidak menjadi Barat, melainkan tetap setia pada asalnya di dunia Timur. Jodjana juga merasa beruntung karena tidak pernah resmi belajar melukis. Dengan begitu, caranya melukis tidak akademis.
Persahabatan Israëls dengan Jodjana tidak hanya berhenti dalam soal seni rupa. Sebagai orang yang tertarik pada seni dan kebudayaan Hindia, Israëls tidak puas hanya melukis Jodjana atau warga Nusantara lain yang waktu itu berada di Belanda. Ketertarikannya pada wilayah jajahan ini demikian besar sampai akhirnya Israëls memutuskan untuk berangkat ke Hindia. Lawatan itu dilakukannya pada akhir 1921. Menggunakan kapal laut, dia berangkat ke Hindia membawa surat Jodjana sebagai perantara untuk mengunjungi Keraton Yogyakarta.
Surat lain yang dibawanya, yang ditulis oleh Noto Soeroto, teman Jodjana, mengantar Israëls ke Keraton Mangkunegaran di Solo, Jawa Tengah. Selain mendatangi Jawa, Israëls berkunjung ke Bali. Ternyata keberadaannya di Hindia ini tidak menghasilkan lukisan sebanyak yang diharapkan. Walau demikian, lukisan-lukisan bertema Nusantara ternyata cukup laku di Belanda. Akibatnya, keinginan Israëls mengadakan pameran karya yang hanya terdiri atas lukisan Nusantara batal. Yang jelas, sebagai pelukis impresionis Belanda, Israëls berhasil menyelesaikan banyak lukisan Hindia. Dalam bahasa Belanda, ada yang disebut De Indische Israëls, berisi pelbagai lukisan tentang kehidupan biasa ataupun kehidupan seni Hindia Belanda.
Di sisi lain, Jodjana sendiri suatu saat sadar bahwa melukis memang bukan bidangnya. Sejauh itu, ia sudah menghasilkan beberapa lukisan, termasuk sejumlah ilustrasi yang antara lain menghiasi kumpulan puisi Noto Soeroto, sesama bangsawan Jawa yang juga menuntut ilmu di Belanda. Pada saat itu, sekitar 1919, Jodjana menemui Chris Lebeau, seniman aliran kiri, untuk belajar mengukir kayu. Berkat Lebeau, Jodjana berhasil menciptakan beberapa patung ukiran yang indah, dalam gaya gurunya. Sebaliknya, Lebeau juga menghasilkan karya dengan Jodjana sebagai model. Berawal dengan mengukir kayu, Lebeau kemudian memoleskan tinta pada ukiran itu untuk selanjutnya mencetaknya di atas kertas. Karya ini terpampang dalam pameran di Amsterdam, di sudut yang khusus dirancang untuk Jodjana. Di situ karya Lebeau ini bersanding dengan karya W.O.J. Nieuwenkamp yang merupakan lukisan cat minyak dengan warna begitu terang.
Perlu ditegaskan bahwa kesibukan Jodjana melukis atau mengukir hanya dilakukannya kalau ada waktu senggang di tengah pekerjaannya sebagai penari. Selain berguru kepada Lebeau, Jodjana belajar mematung kepada seniman pematung Johan Coenraad Altorf. Seperti Israëls, dan Lebeau, Altorf juga meminta Jodjana menjadi model. Hasilnya, paling sedikit, sebuah masker dan patung wajah Jodjana. Patung berwarna hitam ini sekarang juga bisa dilihat di Amsterdam dalam pameran di museum Het Schip.
Walau Jodjana sempat berteman dengan banyak seniman, pengamat seni Belanda menilai temannya yang paling akrab adalah Isaac Israëls. Hal itu tidak semata-mata terlihat dari banyaknya lukisan yang menampilkan penari Jawa ini sebagai model. Bagi para pengamat seni rupa Belanda, keakraban keduanya bukan soal kuantitas, melainkan kualitas karya Israëls. Mereka menunjuk satu lukisan diri Israëls yang berlatar belakang lukisannya sendiri dengan Jodjana sebagai model. Lukisan ini dihadiahkan Israëls kepada Jodjana. Anak perempuan Jodjana, Parvati, membawa lukisan itu ke Den Haag pada 2002 dengan tujuan dihibahkan kepada Museum Mesdag, salah satu museum di kota pemerintahan Belanda tersebut. Sampai sejauh itu, orang tidak tahu-menahu tentang keberadaan lukisan ini.
Berkat hadiah lukisan ini, Kota Den Haag pada musim panas 2005 menyelenggarakan pameran bertajuk “Isaac Israëls en Raden Mas Jodjana: een Indische vriendschap” (Isaac Israëls dan Raden Mas Jodjana: persahabatan Hindia). Sebenarnya bukan hanya pameran, di Den Haag selama musim panas tahun itu juga berlangsung apa yang disebut “Indische zomer” alias musim panas Hindia. Selama empat bulan khalayak Belanda tak hanya dapat menyaksikan pameran lukisan karya Israëls dengan tema Hindia Belanda, tapi juga menikmati musik, pentas sastra, film, dan teater, bahkan pertandingan sepak bola dengan tema Hindia. Dengan begitu, pada abad ke-21 ini, Jodjana paling sedikit sudah tampil dalam tiga pameran di Belanda, dua kali untuk tahun ini dan sekali pada 2005.
Belakangan, lukisan bermodel Jodjana yang dibuat dalam potret diri Israëls itu muncul dalam sebuah lelang yang berlangsung pada 2019 (juga tahun Parvati Jodjana berpulang, saat berusia 93 tahun). Biro lelang Venduhuis mengiklankan lukisan itu dengan lebih dulu menuturkan awal persahabatan Israëls dengan Jodjana. Diperkirakan Israëls menyelesaikan lukisan itu pada 1916, tidak lama setelah berkenalan dengan Jodjana. Venduhuis menawarkan lukisan itu seharga € 200 ribu, tapi pada akhir lelang laku seharga € 483 ribu (sekitar Rp 7,8 miliar). Memang lukisan yang sangat mahal, mungkinkah semahal persahabatan keduanya? Yang jelas, sampai sekarang lukisan Israëls tetap digemari dan karena itu dicari orang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "Model untuk Isaac Israëls"