Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Mangu Putra.
Mengeksplorasi keindahan lanskap.
Disusun dari ingatan, citraan, dan teknik desain.
ALAM menyediakan keindahan yang beragam dan terhampar di berbagai tempat. Tak hanya dalam keindahan pemandangan seperti diwujudkan dalam sepotong lukisan layaknya lukisan Mooi Indie. Keindahan hadir di berbagai sudut, bahkan dalam hamparan solid bebatuan dan jajaran jurang sekalipun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Mangu Putra, keindahan pemandangan bukan hanya gunung yang cantik dan gagah menjulang yang diabadikan di kanvasnya. Ia menampilkan keindahan dari sisi yang lebih detail. Punggung gunung menampakkan jalur-jalur jajaran lembah, jurang yang merekah dan menganga disaput kabut, awan, serta hijaunya vegetasi yang menyelimutinya dan tumbuhan yang tegak di sela-selanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu terlihat pula pada cekungan di puncak gunung. Dinding-dinding gunung yang memperlihatkan cadas dan bebatuan mempertajam lekukan relief bumi dari kejauhan. Atau kokohnya batu-batu lava hitam yang terhampar menyelipkan kengerian di antaranya. Inilah yang justru menjadi keindahan yang dipilih oleh seniman kelahiran Desa Selat, Sangeh, Bali, pada 11 Mei 1963, itu.
Tonjolan-tonjolan bebatuan yang menghitam disaput kabut, lumut, dan vegetasi tipis serta jalur lelehan lava dan padang rumput yang menghijau di sela-sela lanskap bebatuan juga tak lepas dari obyek yang dipilih Mangu. Dia menghadirkan lanskap sejauh mata memandang dalam detail dari dekat, juga keindahan sabana di ujung Pulau Dewata di kejauhan.
Mangu Putra, sebagai seniman yang telah menjelajahi sejumlah pameran tunggal dan grup di dalam serta luar negeri, menghadirkan keindahan yang berserakan. Lanskap dalam karya berjudul Serenity 1-4 menjadi karya utama dalam pameran Mangu Putra bertajuk "Serenity" di Can’s Gallery, Jakarta Pusat, pada 15 April-15 Mei 2023. Selain itu, ia menampilkan obyek pepohonan dalam kehidupan simbiosis mutualisme di antara lebatnya hutan belantara.
Serenity di Cans Galery, Jakarta, 5 Mei 2023. Tempo/ Febri Angga Palguna
Selama ini Mangu Putra menekuni empat hal dalam perjalanan berkaryanya, yakni alam, budaya, sejarah, dan abstrak. Menurut Arief Bagus Prasetyo, kurator pameran ini, dalam lukisan lanskap Mangu periode lama, alam kerap berasosiasi kuat dengan religiositas dan spiritualitas. Yang ditampilkan bukan hanya panorama alam, tapi juga figur manusia yang digambarkan minor di tengah kebesaran alam. Pesan ekologis yang nyaring tersampaikan, misalnya, adalah pemanasan global.
Dalam karya sebelumnya, Mangu menghadirkan obyek manusia, alam, bangunan, serta flora dan fauna. Ia mendaki gunung, merambah hutan mangrove, dan menghampiri padang rumput sebagai sumber inspirasi seninya.
Sementara itu, dalam karya-karya yang baru, Mangu Putra menghadirkan alam secara polos, jujur, dan tanpa menyimpan pretensi, asosiasi, atau pesan di baliknya. Pemandangan lembah, gunung, tanah batu, pepohonan, dan sebagainya tampil dengan sepenuh kekayaan bentuk warnanya, hampir hiper-realistis tanpa dibebani pemikiran tertentu. Tak ada obyek "hidup" seperti manusia atau fauna dalam karya yang dipamerkan kali ini. Namun ia menampilkan obyek kehidupan yang lain.
Untuk membangun komposisi karyanya, ia berjuang mewujudkan harmoni alam melalui desain yang dikonstruksi secara sadar. Contohnya, ia menggunakan teknik cropping, montase, atau mencari angle tertentu yang cukup bagus. Hal itulah yang menuntunnya untuk mengkomposisi lanskap imajiner atau tumbuhan fiktif dari nukilan-nukilan citra lanskap nyata atau yang sesungguhnya. Ada unsur kesadaran memasukkan unsur desain yang kental.
Ia rajin memotret alam, tapi bukan buat dijiplak untuk lukisannya. Dia menggunakannya sebagai bahan dasar mengkonstruksi obyek lukisan. Ia memakainya sebagai pemantik ingatan dan merekonstruksi apa yang akan digoreskan di kanvas. Tak hanya berbekal ingatan, kadang-kadang ia memadukan citra fotografis, ingatan, dan fantasinya.
Tak hanya hamparan punggung gunung, lihatlah bagaimana ia menampilkan sebatang pohon ara dan batang-batang pohon lain di hutan. Sebatang pohon yang perkasa dirambati lumut dan tanaman lain. Buah dan bunga ara berwarna oranye menggerombol terlihat menempel di beberapa bagian batang.
Ia pun menorehkan cat minyak guna mewujudkan detail-detail pohon dan batang yang terlihat hidup. Karyanya juga memperlihatkan bagaimana tanaman merambat yang ikut menumpang hidup, tanaman paku-pakuan atau monstera yang beberapa waktu lalu sempat menjadi viral, dan batang pohon yang kokoh hitam keabu-abuan dengan detail kulit kayu yang sebagian ditumbuhi lumut di antara pohon-pohon lain. Ada kesan sunyi dan sepi, tapi ada kehidupan lain dalam obyek yang digarap.
Black Lava karya Mangu Putra dalam pameran Serenity di Can's Gallery, Jakarta. Dok. Can's Gallery
“Alam terkesan sepi, tapi sesungguhnya ia bercerita. Kita melihat bunga liar, batu, lumut, pasir seperti tertata. Tapi komposisi alaminya itu yang membuat kita merenung,” tutur Mangu.
Obyek yang dilukisnya dari perjalanan di alam kemudian menghadirkan rasa yang menggerakkan Mangu berkarya. “Saya mendahulukan rasa,” ujarnya. Ia menghadirkan ruang-ruang gelap di antara pepohonan atau kekaguman dan kengerian dari apa yang dilihatnya.
Karya Mangu memuaskan pengunjung dengan karya-karya berukuran besar di bidang-bidang dinding Can’s Gallery. Tak hanya melalui medium kanvas, ia pun menorehkan cat minyaknya di linen. Karya Mangu memperlihatkan kedalaman dan keintiman sang seniman dalam mengeksplorasi alam yang ia jelajahi dan direkonstruksi ulang. Karya Mangu, menurut Arief Bagus, sudah melampaui presentasi lukisan lanskap itu.
“Karya Mangu menggemakan pandangan Barry Schwabsky dalam Landscape Painting Now (2019) bahwa lukisan lanskap tidak mesti representasi lanskap,” katanya. Ia memadukan dan membangun potongan representasi serta menghadirkan pengalaman tersendiri yang mirip dengan pengalaman tentang alam.
Lukisannya pada obyek di kejauhan dalam seri judul Serenity seperti membawa pengunjung menikmati lanskap relief punggung-punggung pegunungan dengan menggunakan drone. Sementara itu, ketika melihat pepohonan, kita seperti diajak bertualang di antara lebatnya hutan. Ada imaji yang berbeda dari hasil rekonstruksi lanskap yang disuguhkan seniman lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo