Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tentang sosok pangeran dan penari Jawa di Belanda.
Kebesaran namanya membuat dua museum menggelar pameran.
Bukan hanya sebagai ilmuwan tapi juga seniman ternama.
SENIN pagi di awal April lalu, pengunjung tampak berdatangan ke museum Het Schip di bilangan Westerpark, Amsterdam barat. Walau tidak begitu ramai, terlihat sebagian besar pengunjung adalah kalangan pensiunan. Kedatangan mereka tak cuma bertujuan menyaksikan pameran tetap museum bertema arsitektur gaya Amsterdamse School atau Sekolah Amsterdam—aliran arsitektur yang berpengaruh di Belanda sejak 1919. Sampai akhir Agustus 2023, berlangsung pameran tidak tetap bertajuk "Indonesië en de Amsterdamse school" alias Indonesia dan sekolah Amsterdam. Dibuka sejak 1 Desember 2022, pameran sementara ini mengulik bagaimana aliran Amsterdam dapat dipengaruhi oleh budaya dan gaya arsitektur tradisional Indonesia. Salah seorang pengunjung mengaku datang bersama beberapa temannya khusus untuk menyaksikan pameran tidak tetap ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran yang mendapat resensi positif pers Belanda ini memang segera terlihat beberapa tokoh terkenal Indonesia, seperti Soewardi Soerjaningrat (kelak berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara) dan istrinya, Soetartinah. Maklum, mereka berdua menetap di pembuangan di Belanda sejak 1913 sampai 1919. Selain itu, terlihat Noto Soeroto, sepupu Soewardi, sama-sama cucu Paku Alam V (bertakhta 1878-1900), yang melanjutkan pendidikan di Leiden, Belanda. Wajah mereka bertiga ditampilkan dalam lukisan karya perupa Chris Lebeau yang dipasang di dekat pintu masuk lokasi pameran sementara ini. Di dalam, terlihat seorang Indonesia lain yang juga memperoleh perlakuan istimewa. Untuknya bahkan tersedia satu sudut khusus pameran dengan beberapa karya seni. Tokoh ini adalah Raden Mas Jodjana. Siapakah R.M Jodjana ini dan bagaimana mungkin dia dapat memperoleh perlakuan khusus begini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terlihat paling sedikit empat karya seni yang menampilkan Jodjana di sudut khusus ini. Di atas terpampang foto besar karya Studio Van Berssenbrugge bertarikh 1919. Terlihat Jodjana yang bertelanjang dada membawakan tarian Prabu Kelono dari cerita Panji. Di tengah, terdapat dua lukisan yang sama besar, yakni Jodjana tengah menari dalam lukisan cat minyak berwarna terang di atas kanvas karya W.O.J. Nieuwenkamp yang dibuat pada 1932. Kemudian terlihat wajah Jodjana hasil pencetakan pola kayu pahatan yang diberi tinta hitam yang dicetak di atas kertas. Karya Chris Lebeau ini dibuat pada 1919. Terakhir, pada bagian bawah, dekat lantai, terdapat patung wajah Jodjana yang terbuat dari kuningan. Pematung Johan Coenraad Altorf menghasilkan karya ini pada 1924. Altorf, Lebeau, dan Nieuwenkamp adalah seniman anggota Amsterdamse School. Mereka melakukan pelbagai pembaruan dalam dunia seni Belanda awal abad ke-20.
Sudut yang memamerkan R.aden Mas Jodjana pada pameran "Koloniaal Den Haag: Een onvoltooid verleden" di Haags Historisch Museum, Den Haag. Dok. Joss Wibisono
Suasana sedikit berbeda di Haags Historisch Museum (Museum Sejarah Den Haag) pada Jumat pagi yang diwarnai hujan rintik-rintik di akhir Maret lalu. Di dalam museum yang terletak di jantung kota pemerintahan Belanda ini terlihat beberapa orang mendatangi pameran tidak tetap berjudul “Koloniaal Den Haag: een onvoltooid verleden” (Den Haag kolonial: masa lampau yang belum sempurna). Seperti di Amsterdam, di tengah pameran di Den Haag ini terdapat satu sudut khusus yang dipusatkan pada Jodjana. Wajahnya tampil pada tiga obyek.
Obyek pertama adalah spanduk yang dipasang vertikal. Di situ terlihat wajah Jodjana di bawah potret Alexander Idenburg, menteri koloni Belanda. Sewaktu menjabat pada awal abad ke-20, Idenburg bertanggung jawab atas Politik Etis, corak kolonialisme yang antara lain bertujuan memberi kesempatan bagi peningkatan martabat bumiputra Hindia Belanda. Caranya antara lain membuka sekolah. Maka kaum inlander tidak hanya diberi kesempatan bersekolah, tapi juga melanjutkan pendidikan ke Belanda. Salah satunya adalah RM Jodjana, yang tiba di Belanda pada 1914 untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi niaga Rotterdam.
Potret penari Raden Mas Jodjana oleh Eduard Wasow, antara 1926-1927. Wikipedia
Obyek kedua adalah lukisan cat minyak di atas kanvas dari tahun 1916 karya Isaac Israëls, perupa Belanda terkenal dari zaman impresionis, dengan model Jodjana dalam pakaian tari Jawa. Poster berwarna kuning tua, obyek ketiga yang berada di sebelah kanan lukisan, merupakan pengumuman tentang pementasan tari Jodjana di Hilversum pada musim panas 1928. Mungkin karena pameran di Den Haag ini baru dibuka pada 25 Maret lalu, pengunjungnya tidak seramai di Amsterdam—bisa jadi lantaran pers juga belum menulis tentangnya. Berlangsung sampai 3 September 2023, pameran ini berkisah tentang peran Den Haag pada zaman kolonialisme, baik dalam penjajahan terhadap Indonesia maupun Suriname.
Faktor kebetulan bisa saja berperan di balik penampilan Jodjana dalam dua pameran sekaligus, di Amsterdam ataupun di Den Haag. Marieke Bloembergen, guru besar warisan kolonial Indonesia di Universiteit Leiden, melihat Jodjana memang cocok untuk kedua pameran itu. Yang tidak kalah penting, tersedia bahan yang cukup untuk dipamerkan. Bloembergen juga melihat kecenderungan akhir-akhir ini di Belanda yang selalu ingin menunjukkan bukan hanya orang, tapi juga sudut pandang Indonesia, dalam pelbagai pameran.
“Sebagai penari dan inspirator seni, Jodjana menampilkan riwayat hidup yang inspiratif dan indah secara visual,” ujarnya. Bloembergen juga menunjuk kenyataan bahwa Jodjana fasih berbahasa Belanda. “Semua ini berarti bahwa Jodjana merupakan contoh yang tepat bagi seseorang yang hidup pada zaman tatkala orang Belanda begitu meminati kebudayaan dan kesenian Jawa." Di pihak lain, pada sisi Jodjana sendiri, Bloembergen melihat dia berhasil memanfaatkan minat khalayak Belanda itu bagi kemajuan sendiri. “Di sini terlihat dan karena itu bisa dipamerkan bahwa Jodjana memiliki perspektif sendiri,” tutur Bloembergen, yang mengaku sedang mempelajari riwayat hidup Jodjana.
•••
RADEN Mas Jodjana dilahirkan di Yogyakarta pada 6 Februari 1893 sebagai Raden Mas Joedjono (pelafalan: yujono). Ayahnya, Kanjeng Raden Tumenggung Soerahadiningrat, memangku jabatan tinggi sebagai regent patih di keraton sultan. Seusai pendidikan dasar Europeesche Lagere School—sekolah dasar untuk anak-anak Eropa—Jodjana menyelesaikan pendidikan sekolah untuk pegawai negeri inlander atau OSVIA pada 1910. Pada 1914, ketika berusia 21 tahun, ia memperoleh beasiswa ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi niaga di Rotterdam. Dua tahun kemudian, pada 1916, Jodjana memutuskan keluar untuk berfokus menari.
Pada 1920, dia pindah ke Paris. Waktu itu kariernya sebagai penari mulai menanjak. Pada 1923, di Den Haag, Jodjana menikahi Elisabeth Pop, yang dikenal sebagai Moes, pianis Belanda yang kemudian mengiringinya menari. Pasangan ini dikaruniai dua anak: Bhimo (meninggal di kamp konsentrasi Buchenwald pada 1944) dan Parvati. Pada 1936, keluarga Jodjana pindah ke Vergoignan di Prancis barat daya untuk mendirikan Centre Jodjana, tempat pendidikan tari yang terpaksa tutup sewaktu pecah Perang Dunia II. Seusai perang, pada 1947, Jodjana dan istrinya pindah ke Amsterdam untuk mengajar di Academie voor Dramatische Kunst (Akademi Seni Drama). Setelah pensiun, keduanya pindah lagi ke Prancis, konon karena cuacanya lebih cocok bagi Jodjana. Kali ini mereka menetap di La Réole, juga di kawasan barat daya, tempat Jodjana berpulang pada 20 September 1972, saat berusia 79 tahun.
Sudut yang memamerkan Raden Mas Jodjana pada pameran "Indonesië en de Amsterdamse school" di Museum Het Schip, Amsterdam. Dok. Joss Wibisono
Sebagai penari Jawa pada masa interbellum (periode antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II), Jodjana praktis sudah menjelajahi seantero Eropa. Dari Milano, Torino, Firenze, dan kota-kota Italia lain di Eropa Selatan sampai Oslo di Norwegia serta kota-kota Skandinavia lain di Eropa Utara. Berlin, Hamburg, Leipzig, Stettin, Hannover, Essen, Königsberg, dan Frankfurt adalah kota-kota Jerman yang pernah mementaskan tariannya. Selain itu, dia berpentas di Inggris, Cekoslowakia, Austria, dan Swiss.
Tak ketinggalan Polandia juga menyambut hangat Jodjana. Koran setempat menyebut pentas tarinya sebagai “salah satu peristiwa besar seni Eropa”. Harian Haagsche Courant menurunkan kisah menarik tentang salah satu pementasan Jodjana di Warsawa. Aktor besar Polandia, Julius Kaden Brandowski, tampil di panggung pada akhir penampilan Jodjana untuk menyapanya dalam bahasa Polandia. Hal itu dilakukan bukan karena Jodjana fasih berbahasa Polandia, melainkan lantaran Brandowski ingin meyakinkan publik negerinya bahwa mereka baru saja menikmati sebuah peristiwa kesenian yang besar.
Tampaknya keberhasilan atau bahkan kebesaran nama Jodjana inilah yang menyebabkan kedua museum Belanda di Amsterdam dan Den Haag terdorong untuk menampilkannya 50 tahun lebih setelah ia tutup usia. Tapi, dalam setengah abad ini, nasib Jodjana di negeri kelahirannya tidak berubah. Sejak dulu dia tidak begitu dikenal di Indonesia. Hanya sedikit orang Indonesia yang tahu siapa dia, seperti juga tidak banyak publikasi tentangnya dalam bahasa Indonesia. Hanya dua sastrawan yang pernah menulis tentang Jodjana, yakni Trisno Sumardjo dan Sitor Situmorang. Selain itu, ada artikel Bernard IJzerdraat (ketika menjadi warga negara Indonesia berganti nama menjadi Suryadarma) yang terbit di Konfrontasi. Jodjana lebih diperhatikan di dunia akademis. Beberapa kajian ilmiah tentangnya terbit dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan tentunya Indonesia.
Pada zaman interbellum itu, nama Jodjana tampil bersama nama-nama besar lain dalam dunia seni tari Eropa. Di Eropa, periode di antara dua Perang Dunia ini memang dikenal sebagai periode pembaruan seni. Dalam kehidupan sehari-hari, orang juga lebih kritis dan mulai peduli pada keadilan, kejujuran, dan sikap antipenindasan. Di sinilah muncul kesempatan bagi kesenian dari wilayah koloni yang selama ini tidak diketahui orang.
Spanduk Alexander Idenburg (menteri koloni Belanda) dan penari Raden Mas Jodjana, pada pameran "Koloniaal Den Haag: Een onvoltooid verleden" di Haags Historisch Museum, Den Haag. Dok. Joss Wibisono
Pada edisi 12 April 1935, Haagsche Courant menyebut Jodjana sebagai penari yang sudah memiliki makna Eropa, berada di antara penari-penari ternama seperti Tamara Karsavina dan Anna Pavlova (balerina alias penari balet terkenal Rusia), La Argentina (penari wanita Spanyol yang lahir di Argentina), dan Vicente Escudero (penari pria Spanyol). Jodjana juga disebut bersama tokoh terkemuka tari modern Eropa seperti Gret Palucca (penari modern Jerman), Mary Wigman (koreografer Jerman), dan Sent M’Ahesa (penari Swedia). Tatkala kemudian tampil tokoh-tokoh lain dalam dunia tari Eropa seperti Kurt Jooss dan Trudi Schoop, Jodjana, menurut harian Haagsche Courant, tetap dalam posisi sendiri, tak tergoyahkan.
Selain didukung kehidupan seni Eropa yang menguntungkan pada periode interbellum itu, untuk mencapai semua ini, Jodjana harus benar-benar banting tulang, menari untuk sedikit penonton, bahkan berjuang melawan kalangan yang berpegang teguh pada tradisi. Penulis Belanda, J.W.F. Werumeus Buning, yang menaruh perhatian khusus pada seni tari, dalam resensinya yang dimuat mingguan de Groene Amsterdammer edisi 31 Oktober 1925 berpendapat bahwa, dalam menari, Jodjana lebih mementingkan kepribadiannya ketimbang tradisi Jawa. Menurut dia, penampilan Jodjana tetap didasari tari Jawa, tapi dia tidak berhenti di situ. Di atas tradisi itu, menurut Buning, Jodjana berupaya menyusun cara menari baru sehingga tariannya menjadi lebih pribadi. Pada saat itu, hadirin sudah lupa bahwa Jodjana adalah seorang penari Jawa. Penampilannya lebih menekankan aspek kemanusiaan.
Membenarkan pendapat Buning, Jodjana, dalam sebuah naskah ceramahnya, berpendapat bahwa penulis yang sudah mengadakan penelitian mendasar pada bidang seni tari itu telah benar-benar memahaminya. Naskah ceramah dalam bahasa Belanda dan ditulis tangan ini berjudul “Het standpunt van een modern Javaans danskunstenaar en acteur” (pendirian seorang seniman tari dan aktor Jawa modern). Sayangnya, tidak jelas kapan naskah itu ditulis dan dalam rangka apa ceramah diselenggarakan. Yang jelas, Jodjana menegaskan, dalam menari, dia juga selalu mencari aspek-aspek universal yang dialami oleh setiap manusia.
Jodjana mengawali ceramahnya dengan penegasan bahwa dia tahu ada kalangan yang mencibir tariannya sebagai bukan tarian Jawa asli. “Tapi,” ia menyanggah, “pernyataan seperti ini baru akan punya makna jika pihak yang menyatakannya juga datang dengan bukti bahwa tari Jawa ratusan tahun silam berbeda dengan tari Jawa sekarang."
Karena bukti itu tidak ada, Jodjana menantang dengan pertanyaan: “Haruskah penari Jawa zaman sekarang terus berpegang teguh pada aturan tetap itu walaupun dia punya pandangan baru yang lebih segar?” Dengan kata lain, Jodjana melanjutkan, “Haruskah dia terus membiarkan diri terikat pada pemahaman tradisional walaupun hal itu tidak sanggup lagi dirasanya karena dia sebenarnya sudah punya perasaan dan pemikiran yang lain dari pendirian nenek moyangnya?”
“Bagi diri sendiri, saya berpendapat bahwa seniman modern tari Jawa tidak boleh ragu-ragu lagi seandainya dia sudah memiliki wawasan pribadi untuk mengemukakan hal ini, bahkan jika ini bertentangan dengan peraturan konvensional negerinya.” Demikian Jodjana menegaskan sikapnya dalam naskah ceramahnya. “Dalam keadaan seperti itu, seharusnya dia menerapkan gerakan-gerakan dan isyarat-isyarat tradisional itu jika dia sudah benar-benar merasanya—seperti desakan terdalam pada perasaan yang dialami ketika mendengar irama tertentu, kalau tidak, gerakan seperti itu akan percuma saja.”
Dari penjelasannya terbaca bahwa, dalam berkreasi, Jodjana melakukan semacam pemilahan unsur-unsur Jawa dari unsur-unsur universal. Ihwal unsur Jawa, dia berusaha taat pada tradisi, tidak terlalu berkreasi. Kreasi baru dilakukannya pada hal-hal yang bagi dia adalah sesuatu yang universal.
Raden Mas Jodjana di Frankfurt, 1927. KITLV
Jodjana mengambil contoh tarian Batara Wisnu karena sedikit-banyak, menurut pengakuannya, dia telah melakukan pelanggaran tradisi. Batara Wisnu, seperti dikenal dari wayang orang, selalu ditampilkan sebagai tokoh penari halus. Artinya, siapa saja yang tampil sebagai Batara Wisnu tidak boleh mengangkat kaki tinggi-tinggi. Demikian pula gerakan-gerakan tangannya, tidak boleh meninggi di atas bahu. Sampai batas tertentu, Jodjana mengaku taat pada tradisi ini. Tapi, pada bagian kedua tarian, dia melakukan pembaruan. Pada bagian ini, Wisnu bersiap-siap menghadapi hingga akhirnya benar-benar melawan angkara murka. Di sini Jodjana menerapkan gerakan-gerakan kuat pada lengan dan kaki.
Dalam tari-tarian hanjali (sesaji) dan mirudho (kebangkitan), Jodjana sepenuhnya melakukan pembaruan. Dia mengaku benar-benar bebas, lebih bebas daripada ketika menampilkan tarian Wisnu atau tarian klasik Jawa lain yang pernah dibawakannya. Dia tidak merasa melanggar tradisi karena memang kedua tarian itu tidak ada dalam tradisi Jawa. Dia juga merasa bebas karena konsep kebangkitan memiliki makna universal sehingga tidak merasa harus taat pada gerakan-gerakan Jawa murni. Walaupun mirudho adalah kata dalam bahasa Jawa, maknanya universal. Karena itu, tatkala menggubah tarian ini, Jodjana semata-mata menggunakan wawasan pribadinya.
Dengan pendirian seperti itu, tidaklah mengherankan jika Jodjana juga berpaling pada tradisi non-Jawa dalam menciptakan tariannya. Salah satu tarian (terbarunya) berjudul Wroeging, kata Belanda yang kira-kira berarti penyesalan. Dia mengatakan tarian ini tercipta setelah ia membaca cerita rakyat Dayak tentang seorang kesatria yang merasa bersalah setelah mengalahkan adiknya yang dianggap sebagai musuh. Perasaan bersalah seperti itu, Jodjana mengungkapkan dalam naskah ceramahnya, adalah sesuatu yang manusiawi dan universal, bisa terjadi pada siapa saja. Menurut dia, dalam tarian, rasa bersalah seperti itu pertama-tama harus mampu membawakan nilai kemanusiaan secara umum. Penyesalan seperti itu harus terlihat dalam nuansa gerak-gerik tarian.
Pada bagian akhir ceramahnya ini, Jodjana berbicara tentang iringan yang tampil bersama tariannya. Dia sepenuhnya sadar bahwa iringan piano yang dimainkan oleh istrinya, Moes, yang menyebut diri Raden Ayou Jodjana, sering mendapat kritik. “Pertama-tama, dengan penyesalan besar, harus saya akui bahwa iringan piano ini tidak sempurna,” demikian ia menulis. “Tapi ada alasan-alasan mendasar mengapa saya harus berpaling pada instrumen musik Barat ini.”
“Pertama-tama,” ucap Jodjana, “Saya tidak selalu bisa mengerahkan gamelan dan lebih dari itu, iringan gamelan membutuhkan biaya yang tidak kecil.” Kalaupun di tempat Jodjana berpentas tersedia gamelan, dibutuhkan pemain gamelan yang tangkas dan cekatan sehingga dapat memenuhi kebutuhannya. Jodjana menegaskan bahwa piano yang mengiringinya menari tetap merupakan instrumen pembantu. Tapi, menurut dia, piano merupakan instrumen musik Barat yang paling pas memainkan melodi-melodi tembang Jawa. Piano dapat dengan baik membunyikan titi nada pélog. Sedangkan titi nada sléndro, menurut Jodjana, tidak dapat dimainkan oleh instrumen musik Barat mana pun.
•••
DALAM naskah ceramah lain yang ditulis dalam bahasa Prancis, Raden Mas Jodjana langsung menukik pada soal universalisme tarian. Naskah ketikan berjudul “Introduction à la dance pure” (perkenalan pada tarian murni) ini sama sekali tidak menyinggung tari Jawa lagi. Jelas ditujukan kepada khalayak Prancis, Jodjana menyebutkan tiga sastrawan Prancis terkenal: Marcel Proust, Victor Hugo, dan Arthur Rimbaud. Walaupun Proust umum diketahui berhasil menulis dalam bahasa yang halus bahkan terlalu luwes, menurut Jodjana, bahasa penulis besar Prancis awal abad ke-20 ini “presque mort en même temps” (pada saat yang bersamaan hampir tak bernyawa). Hugo, penulis besar Prancis abad ke-19, adalah pendahulu Proust yang dikenal kaya dalam penggunaan verba alias kata kerja. Tapi, menurut Jodjana, kekayaan kata kerja itu membangkitkan kesan “tameng besi” yang pada gilirannya akan mencekiknya. Tatkala Rimbaud menulis tentang huruf hidup yang berwarna, Jodjana mengatakan, penyair pembaru tradisi puisi Prancis abad ke-19 ini tahu bahwa dia menyentuh “une vérité fuyante” alias satu kebenaran yang cepat berlalu.
Dengan menunjuk pada pelbagai keterbatasan sastra seperti tertuang dalam karya-karya Proust, Hugo, ataupun Rimbaud, Jodjana bermaksud menyatakan bahwa umat manusia lewat indra, hati, jiwa, sikap ragu, detak jantung, dan air mata, semua itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari. Kalau seseorang kemudian memberi kebebasan pada setiap gerakan batinnya, akan lahir gerakan yang sesuai dengan denyut tubuh orang, itulah yang menurut Jodjana merupakan seni tari, bahkan tari murni. Tari seperti ini dikomunikasikan secara langsung dan secara tak terlukiskan. Bukan karena alasan primitif bahwa tarian ini tidak menggunakan huruf-huruf alfabet, melainkan lantaran dia mengungkap kebenaran yang kita sendiri tak tahu bagaimana mengatakannya, sebuah kalimat yang lahir dari ruang untuk kabur ke dalam ruang.
Berlainan dengan tari Jawa yang dibawakannya, pementasan tari murni yang lahir karena manusia pada dasarnya perlu mengekspresikan diri tidak membutuhkan iringan. Untuk menjelaskan alasannya, Jodjana, dalam naskah ceramah ini, mengemukakan pertanyaan retoris: “Apakah kita memainkan musik dalam pameran karya-karya para pelukis dan pematung? Haruskah kita mendukung keberadaan patung-patung ini dengan musik?” Jodjana langsung menjawabnya sendiri: “Tentu saja tidak."
Untuk lebih meyakinkan hadirin yang menyimak ceramahnya, Jodjana mengutip pendapat Alexander Sakharoff, penari balet dan koreografer terkenal Rusia yang mengungsi ke Prancis ketika pecah revolusi komunisme di Rusia. Pada 1922, Sakharoff menulis, “Dalam pertunjukan-pertunjukan awal kami, kami menari tanpa musik, tapi kami dengan cepat sadar bahwa belum waktunya bagi momen semacam ini; walau begitu, kami tetap yakin bahwa suatu hari hal ini pasti bisa dilakukan. Tari tanpa musik adalah tahap terakhir yang mesti kami tuju.”
Jodjana setuju dengan seniman tari Rusia ini bahwa “kita harus membuat musik lahir langsung dari tari, dengan demikian akhirnya akan tercapai tari tanpa musik”. Ia tahu dan mengakui bahwa Sakharoff tidak pernah mencapai tahap tersebut. Namun hal ini tidak membuat Jodjana patah semangat. Ia tetap percaya bahwa di masa depan akan tiba saatnya seniman tari bisa naik panggung tanpa iringan musik.
Di balik gagasan mendalam tentang seni tari yang begitu avant-garde dan universal ini, Perang Dunia II merupakan titik balik dalam karier Jodjana. Walaupun pasangan suami-istri Jodjana berhasil memperoleh pekerjaan sebagai dosen di akademi seni drama Amsterdam, mereka tidak bisa lagi tampil dalam pelbagai pentas Eropa. Tapi mereka tidak sendirian. Banyak seniman atau artis yang sukses pada masa interbellum gagal mengulang kesuksesan seusai Perang Dunia II.
Raden Mas Jodjanan (kelima dari kiri) saat acara organisasi persatuan pemuda Indonesia-Belanda di Hotel 'De Twee Steden', Den Haag, Belanda, 1926. KITLV
Keadaan Jodjana yang selalu mendukung Indonesia merdeka pun lebih berat. Waktu itu Belanda mengirim pasukan ke Indonesia, ingin merebut kembali bekas jajahannya. Tidak ada biro impresariat yang bersedia mengundang Jodjana tampil. Sebab, orang Indonesia dianggap sebagai musuh. Jodjana, yang dalam lawatan ke mana-mana sebelum Perang Dunia II menggunakan paspor Belanda, akhirnya, setelah pada 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia. Pada 1956, di Den Haag, Jodjana mengulang janji pernikahan dengan istrinya di hadapan penghulu Indonesia. Mungkin dia orang Indonesia pertama yang menjadi dosen di Belanda selepas perang. Berkali-kali Jodjana menulis surat kepada Jakarta supaya diberi kedudukan dalam pemerintahan. Kepada Trisno Sumardjo, dia mengaku memperoleh janji dijadikan atase kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma. Ketika kabinet berganti, janji itu tinggal janji, Jodjana tidak pernah menduduki jabatan apa pun.
Untunglah dua museum Belanda tidak melupakan Jodjana yang pernah begitu sukses di Eropa. Dua pameran yang kini berlangsung di Amsterdam dan Den Haag itu jelas berhasil menyelamatkannya dari pengabaian. Namun akankah orang Indonesia juga ikut mengenang tokoh yang selalu diingat oleh Belanda, si bekas penjajah, tersebut?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "RM Jodjana, Eropa, dan Universalisme Tari Jawa"