Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saatnya Kembali Jujur

Budi lim menilai bangsa ini harus belajar menghargai keragaman. berniat mendirikan museum yang merekam andil semua etnis dalam membentuk jakarta.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cinta Budi Lim jatuh mendalam pada gedung kuno. Hatinya patah berkeping-keping setiap menyaksikan bangunan bersejarah yang dibongkar serampangan. Arsitek senior ini tidak segan terjun langsung berpanas-panas di tengah lokasi pembongkaran, berupaya sebisa mungkin menyelamatkan potongan sejarah gedung yang rontok dilibas roda buldoser. "Wah, saya udah kayak pemulung aja," kata lelaki 50 tahun ini.

Maka lihatlah rumah Budi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Dinding ruang tamunya dihiasi ornamen kayu berbentuk tulisan "PT Olimo". "Saya ambil sewaktu Olimo dibongkar, tahun 1990-an," katanya. Olimo adalah nama toko minyak pelumas terkenal, berlokasi di kawasan Jalan Hayam Wuruk Mangga Besar, yang pernah menjadi penanda (landmark) Kota Jakarta zaman dulu atau jadoel kata anak muda sekarang.

Masih di rumah Budi Lim, kita bisa menjumpai potongan puncak sebuah gedung sisa reruntuhan kawasan Segi Tiga Senen yang dibongkar habis pada masa Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Ada pula gerbang kayu berukir yang didapatkan Budi dari bongkaran sebuah kelenteng tua. "Konon, umurnya lebih dari tiga abad," kata Budi, penerima UNESCO Asia Pacific Heritage Award tahun 2001 untuk karyanya merenovasi Gedung Arsip Nasional.

Aneka rupa barang dari gedung kuno itu tidak sekadar ditumpuk. Budi Lim punya sebuah obsesi: mendirikan museum Jakarta. "Benda kuno yang saya kumpulkan akan saya pajang di situ," katanya. Museum idaman Budi diniatkan untuk merekam peran serta semua etnis—Betawi, Sunda, Jawa, Bugis, Arab, dan juga Tionghoa—dalam perjalanan panjang membentuk Jakarta. Ini berbeda dengan konsep museum yang selama ini hanya mengandalkan arsip dari zaman Belanda—akibatnya, terbangun citra bahwa Batavia seolah cuma didirikan oleh Belanda. Peran dan andil rakyat biasa dari berbagai etnis tereduksi begitu hebat hingga hanya menjadi sekadar pelengkap.

Selain menghapus citra sejarah yang melulu "Belanda-oriented", museum impian Budi akan mendorong orang menghargai keragaman, bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk hidup mulus berdampingan dan saling memperkaya jiwa. Rumah ibadah bersejarah, masjid dan gereja, misalnya, tidak sedikit yang beratmosfer arsitektur Cina seperti yang telah diteliti oleh Pater Adolf Heuken, S.J.

Budi menyodorkan bukti lain dari kemampuan kita untuk bisa hidup harmonis, tanpa memandang perbedaan etnis. Kawasan Segi Tiga Senen, pada 1970-an dan 1980-an, adalah kawasan penuh semangat yang ada di Jakarta. Gedung pertunjukan Miss Tjitjih dan Gedung Wayang Orang Bharata berada di sini. Begitu pula berbagai macam kedai tempat para seniman mengobrol sampai pagi. Di kawasan ini pula terdapat perkampungan etnis Arab, Cina, dan Betawi yang amat rapat. Orang dari bermacam etnis ini mengobrol, tertawa, dan bertukar gosip—tanda bahwa tak ada hambatan dalam pergaulan. Sa-yang sekali, Segi Tiga Senen yang vibrant dan berjiwa ini dibongkar dan diganti dengan toko-toko menjulang yang semrawut.

Menghargai keragaman etnis dan budaya, Budi menekankan, adalah salah satu sarana untuk menumbuhkan kejujuran. "Ini penting sekali bagi sebuah bangsa," katanya. Selama berpuluh tahun pada masa Orde Baru, seluruh masyarakat dipaksa bersikap dan berpikir tidak jujur. Nama asli orang Cina dikubur dalam-dalam dan diganti dengan nama Indonesia. Bahasa dan seluruh rangkaian budaya Cina juga dipendam dalam-dalam. "Banyak di antara kami yang mengalami split personality, pecah kepribadian, karena hidup dalam topeng-topeng," kata Budi.

Budi melanjutkan, penolakan identitas kecinaan tersebut tidak hanya berdampak pada orang Cina semata. Seluruh bangsa juga membayar dengan harga yang teramat tinggi. Kemampuan menghargai keragaman, saling toleran, jadi amat tipis. Sedikit saja berbeda dianggap keliru. Sedikit saja perbedaan bisa membuat orang meradang dan marah. Benteng antara "kita" dan "mereka" begitu gampang terbentuk dan setiap saat berisiko terjadi korsleting kerusuhan sosial.

Kini, pada masa reformasi, bangsa ini harus kembali belajar untuk jujur agar bisa melangkah menjadi bangsa yang besar. Jujur menerima dan menghargai perbedaan. Jika tidak, Budi melanjutkan, kita hanya akan senantiasa terpisah dalam kotak-kotak yang sama sekali tidak perlu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus