TANYAKAN nama Tan Khoat Hauw kepada komunitas arsitektur di Yogyakarta. Percayalah, tak banyak yang mengenalnya. Tapi, sebut nama Eko Agus Prawoto, pasti akan banyak yang akan mengangkat jari. Nama Tan Khoat Hauw memang sudah lama menjadi sejarah. Terakhir, nama itu muncul di ijazah sekolah dasar Tan. Setelah itu, nama Eko Prawoto menjadi penggantinya. Kini nama itulah yang dikenal luas di Yogyakarta dan Jawa Tengah sebagai salah satu arsitek yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi lama.
Eko Prawoto lahir 46 tahun silam di Purworejo, sebuah kota kecil di barat Yogyakarta. Eko tak mau mengikuti jejak ayahnya, yang menekuni usaha perdagangan. Dia lebih memilih kuliah di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Pada waktu kuliah itulah Eko berkenalan dengan mendiang Romo Y.B. Mangunwijaya. Perkenalan dengan arsitek kawakan yang juga dosennya inilah yang kemudian memperkaya khazanah pengetahuan Eko tentang arsitektur.
Dari Romo Mangun, Eko belajar tentang berarsitektur dalam konteks Indonesia yang mengeksplorasi nilai-nilai tradisi. Ia juga mengembangkan pemikiran-pemikiran alternatif Mangunwijaya tentang arsitektur. Maka ia pun terlibat dalam proyek perumahan kampung di tepi Kali Code, Yogyakarta, dengan konstruksi bambu yang membawanya meraih gelar master untuk arsitektur di The Berlage Institute, Amsterdam, pada 1993.
Eko juga dikenal jago memadukan arsitektur dengan seni. Tak mengherankan, sebagian besar rumah seni (galeri) di Yogyakarta dan Jawa Tengah menggunakan rancangannya. Sebut saja Rumah Seni Cemeti (milik pasangan perupa Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma), Studio Kua Etnika (Djaduk Ferianto), dan Galeri Langgeng (Dedy Irianto) di Magelang. Ayah tiga anak ini juga merancang rumah seniman seperti Djaduk dan Butet Kertaradjasa.
Bahkan, di mata Butet, Eko bukan sekadar seorang arsitek, melainkan lebih dari itu: ia adalah seorang seniman seperti dirinya. "Rumah yang saya tempati itu adalah karya seni Eko," ujar Butet. Lihat juga Rumah Seni Cemeti yang memadukan rumah joglo bekas (rumah tradisional Jawa) berdinding anyaman bambu sebagai bangunan depan galeri dengan bangunan modern untuk ruang pamer.
Bagi Eko, dunia arsitektur memang tak ubahnya dunia seni: orang jauh lebih penting ketimbang material yang mahal. "Biarlah bujet diinvestasikan untuk pekerja, bukan untuk kemahalan material yang berujung ke industri," katanya.
Pergaulannya dengan para seniman itulah yang membuat Eko tidak kikuk bergaul dengan mereka yang berasal dari etnis lain. "Saya tak pernah mengalami kesulitan dengan kodrat saya sebagai etnis Tionghoa," ungkapnya. Eko sangat sadar ada sikap apriori terhadap keturunan Tionghoa. Untuk itu perlu pergaulan yang intensif dalam posisi yang setara. "Etnis Tionghoa di Indonesia harus menunjukkan ikatan sosial yang lebih tulus," kata pria yang fasih berbahasa Jawa tinggi (kromo inggil) ini.
Jangan pula kaget, rumah Eko yang berada di tengah persawahan di Bener, Tegalrejo, Yogyakarta, sering disinggahi petani yang berteduh. Dekan Fakultas Teknik Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta ini juga sering mengobrol dengan mereka ketika menunggui panen. Para petani itu, kata Eko, "Justru sering bertanya mengapa saya kok bisa berbahasa Jawa. Mereka juga bertanya mengapa saya mau ngobrol dengan mereka."
Semua itu makin melecut Eko untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa orang Tionghoa itu eksklusif. Sebuah niat yang tak mudah diwujudkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini