Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membangun Sekolah tanpa 'Pembatas'

Berbekal pengalaman semasa kecil, Sofyan Tan merintis pembauran lewat dunia pendidikan. Pola orang tua asuh dinilai membantu proses pembauran.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu saya pikir warga keturunan Cina itu semuanya kaya!" kata Mona, seorang siswi kelas V sekolah dasar di Kota Medan, dua pekan lalu kepada TEMPO. Maggie, kawan sekelasnya, menimpali. "Di kampung, abang saya sering dimintai uang. Saya jadi takut sama mereka," ujar gadis kecil bermata sipit itu mengenang. Tapi tentu saja itu cerita lampau. Sejak kedua gadis kecil berdarah Batak dan Cina itu bersekolah di Perguruan Sultan Iskandar Muda di kawasan kampung Sunggal, Medan, mereka tahu pandangan khas mereka terhadap hubungan sosial warga keturunan Tionghoa dan etnis lain—yang selalu tampak kikuk itu—tidaklah demikian benar kenyataannya. Kini mereka bisa bermain bersama; tak ada rasa canggung, juga rasa takut. "Bahkan di sini kami bisa saling ejek," kata Maggie. Dan tak jarang mereka pun saling mengunjungi. Adalah Sofyan Tan, pria keturunan Tionghoa, yang berhasil membangun kebersamaan di Sunggal. Dialah perintis pembauran di perguruan itu, sehingga guru dan siswa dari berbagai suku, etnis, serta agama duduk berdampingan, dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah umum. Suku Jawa, Batak, Melayu, serta keturunan Tionghoa dan Tamil melebur dan bergaul akrab. Memang, sejak kecil, pria yang lahir 44 tahun silam ini telah menyatu dengan warga "pribumi" lainnya di Sunggal, di sebelah utara pusat kota Medan. Ayahnyalah, seorang penjahit biasa, yang banyak mendorongnya agar mau membaur-lebur dengan etnis lain sebagai sesama warga, kala itu. "Pembauran adalah sama rasa dan sama hati dari dua pihak, bukan sepihak saja," ujarnya. Ia juga percaya benar, hanya dengan saling menghormati, saling percaya, dan saling membutuhkan, hidup akan bisa berjalan berdampingan dengan baik tanpa curiga-mencurigai. Bapak empat anak yang sudah lama bercita-cita mendirikan sekolah pembauran ini telah memulai kegiatannya pada 1987, ketika dia masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist, Medan. Dalam kesederhanaan antara kuliah dan menjadi pengajar almamaternya di SMU Sutomo, Medan, Sofyan merintis sekolah pembauran itu dengan sungguh-sungguh. Dari gedung sekolah yang menempati bangunan reyot hingga kegiatan belajar di tengah genangan banjir. Setamat kuliah, Sofyan muda memutuskan untuk tidak membuka praktek dokter. Malah, bersama kawannya, Soekirman, ia berhasrat melanjutkan buah karyanya tadi: sekolah pembauran. Sejak itu pula, di Medan, Sofyan dikenal sebagai tokoh pembauran antar-etnis. Dari usaha merintis sekolah ini, ia dianugerahi penghargaan oleh pemerintah sebagai Pemuda Pelopor Nasional Tahun 1990 di Bidang Kesetiakawanan Sosial dan Fellowship Ashoka tahun 1989. Di perkampungan Sunggal yang kumuh, Perguruan Sultan Iskandar Muda berdiri menyatu dengan permukiman warga berbagai etnis. Perguruan itu kini memiliki sebuah gedung induk berlantai empat di area seluas 8.000 meter persegi. Ada 32 kelas di sekolah itu: sembilan kelas untuk SMU, 8 kelas SMP, 12 kelas SD, dan 3 kelas SMK. Di belakang gedung itu ada masjid, gereja, dan wihara yang dibangun berhadapan. Di tengah-tengahnya dibangun prasasti yang diapit dua pohon buah mentega sebagai tanda simpul erat kesatuan tanpa membedakan satu sama lain. Perguruan itu kini menampung 1.017 siswa pribumi dan 483 siswa keturunan Tionghoa dan Tamil. Karena di antara siswa yang kurang mampu banyak pula yang beretnis Tionghoa, Sofyan menerapkan sistem orang tua asuh silang. Orang tua pribumi yang mampu wajib mengambil anak asuh keturunan Tionghoa, begitu pula sebaliknya. "Ini salah satu upaya pembauran yang kami lakukan," kata bekas Ketua Gemabudhi Sumatera Utara itu. Pencampuran posisi duduk siswa pun mampu menjauhkan kesenjangan. Guru sekolah yang terdiri atas 93 warga pribumi dan 16 warga keturunan pun tak jauh berbeda dengan murid. Sofyan pun menerapkannya di keluarga. Adiknya menikah dengan orang Jawa, sementara sepupu istrinya mempersunting gadis Sunda. Sofyan mengakui, hingga kini, masih banyak warga Cina yang tak mau menyekolahkan anaknya di sekolah pembauran itu dengan berbagai alasan. Ada yang menganggap lebih baik menyekolahkan anaknya di komunitas tertentu dan ada yang telanjur mengalami trauma. "Tugas saya mengubah pola pikir skeptis dan stereotipe itu melalui sekolah ini," ujarnya. Ia sadar hal itu perlu waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus